Khotbah Minggu, 1 Oktober 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.
8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!
9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.
10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.
11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.
Salah satu pokok keprihatinan Yakobus dalam suratnya ini adalah adanya semacam perpecahan di dalam jemaat, terutama antara jemaat Kristen yang kaya dan yang miskin. Ancaman perpecahan ini dipicu oleh adanya sikap pilih kasih terhadap anggota jemaat yang kaya (2:1-9), fitnah (3:1-12), keserakahan, kekerasan dan penipuan (4:1-3; 5:1-5). Semua peringatan ini, ditujukan kepada semua orang dalam jemaat, dan secara khusus ditujukan kepada orang “kaya” yang mengandalkan kekayaannya dan dengan kekayaannya itu menindas orang lain (5:1-6). Sekarang, Yakobus beralih secara khusus kepada mereka yang “miskin” (jemaat biasa) untuk “bersabar” menghadapi dan menjalani situasi yang untuk sementara waktu tidak berpihak kepada mereka (5:7).
Dengan kata lain, Yakobus, pada satu sisi menyampaikan peringatan kepada orang-orang kaya (yang menyalahgunakan kekayaannya), dan pada sisi lain mendorong kelompok yang miskin untuk bersabar (moguna so wanaha tödö). Nasihat Yakobus ini, dapat saja disalahartikan seolah-olah membiarkan penindasan yang kaya atas yang miskin berkelanjutan, sebab orang miskin hanya didorong bersabar tanpa berbuat apa-apa. Sebenarnya, Yakobus tidak bermaksud seperti itu; Yakobus sendiri “mengecam” kelompok yang kaya itu, dan terlebih dahulu dia menyatakan penghakiman Allah atas keserakahan dan penghisapan yang mereka lakukan. Setelah itu, Yakobus menyemangati mereka yang menderita, dengan janji bahwa “hari Tuhan sudah dekat” (5:8), penghakiman itu pasti datang, dan tidak akan ada seorang pun yang dapat menghindar dari Hakim yang telah berdiri di ambang pintu (5:9). Maka, senjata ampuh untuk menghadapi kelompok kaya yang menindas adalah kesabaran (fanaha tödö).
Apa itu “kesabaran?” Ini merupakan sebuah alternatif terhadap kehidupan yang penuh nafsu dan eksploitasi yang dikecam oleh Yakobus dalam 5:1-6. Kesabaran memungkinkan kita mampu hidup dalam “kepuasan yang tertunda,” sama seperti petani yang (dengan sabar) menantikan buah tanamannya matang sebelum dipanen. Harus diakui bahwa “kesabaran” yang diminta oleh Yakobus di sini memang sulit diterapkan dalam masyarakat kita yang sudah hidup dalam budaya yang materialistis dan serba cepat. Kita masih mengingat, misalnya, berapa banyak jemaat kita yang terjebak dalam judi online, atau investasi yang katanya dapat melipatgandakan dana kita sebanyak mungkin dalam waktu yang relatif singkat, pokoknya cepat kaya. Hasilnya? Silakan ditanya mereka yang terlibat dalam “investasi bodong” itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya adalah karena semakin banyak orang yang “tidak sabar” menjalani proses kehidupan yang kadang-kadang sulit, dan ingin mendapatkan hasil yang banyak dengan cara yang serba cepat (instant). Kesabaran menuntut adanya kesediaan dan kerelaan menanti hasil yang baik dalam proses yang mungkin saja panjang.
Persoalannya ialah kita hidup, bahkan mungkin sedang menjalani kehidupan yang “serba tidak sabar, serba instant”. Dampak dari ketidaksabaran kita sangat besar, mulai dari kerakusan dan keserakahan kita terhadap sumber daya alam, bahkan sampai merusak lingkungan hidup, hingga terjadinya kesenjangan radikal antara yang kaya dan miskin. Ketidaksabaran kita membuat kita “saling memangsa”, hidup dalam “kompetisi yang saling menelan”; orang kuat/kaya memangsa yang lemah/miskin (i’a nawönia, ibali’ö femangamangania nawönia), bahkan mungkin ada orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya (i’a zi tenga önia). Hari ini, Yakobus menasihati kita untuk “bersabar”, jangan kemudian malah mempersulit diri sendiri dengan ketidaksabaran kita. Yakobus begitu peduli kepada jemaat Tuhan yang hidup dalam kekurangan dengan menyemangati kita untuk “bertahan” dalam situasi sulit itu.
Dalam konteks itu, Yakobus menasihati kita untuk tidak “bersungut-sungut dan saling mempersalahkan,” sebab hal itu justru akan membuat kita “dihukum” oleh Hakim Agung (5:9). Jangan membiarkan diri hidup dalam “sungut-sungut” yang tidak henti dan tanpa arti, lebih baik melakukan sesuatu yang bermakna dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari usaha kita tersebut. Ketika kita sedang mengalami masa-masa sulit, kita bisa saja menjadi getir dan saling menghakimi, atau bahkan berhenti datang ke persekutuan gereja. Ada orang yang semakin lama menjauhkan diri dari persekutuan dengan Tuhan dan sesama, oleh karena berbagai beban hidup yang menghimpit. Mestinya, dalam segala situasi, entah kaya atau pun miskin, entah kemarau atau pun hujan, entah panas atau pun dingin, entah berkecukupan atau pun berkekurangan, kita tetap tekun melakukan kehendak Allah.
Untuk meyakinkan kita tentang betapa pentingnya “bersabar” menjalan hidup ini, Yakobus mengajak kita meneladani para nabi, juga Ayub, yang rela menderita, dengan tekun tekun dalam melakukan kehendak Allah, dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari Tuhan. Dengan menyinggung para nabi dan Ayub, Yakobus hendak mengatakan bahwa perihal “sabar” menjalani kehidupan yang serba sulit, sebenarnya bukan sesuatu yang baru, sudah ada para pendahulu kita yang telah memberikan contoh yang baik. Para nabi, termasuk Yesaya, berhadapan dengan para penguasa dan orang-orang “besar” yang tegar tengkuk, tetapi dia dengan sabar menjalaninya, dan dengan penuh keyakinan dia menjawab panggilan Tuhan: “Ini aku, utuslah aku.” Demikian dengan Ayub, tokoh terkenal yang seringkali kita jadikan contoh dalam kisah hidup yang penuh penderitaan, tetapi kemudian menerima hasil yang luar biasa setelah dia memilih untuk “bertahan dalam situasi sulit”, itulah buah dari kesabarannya. Kalau mereka bisa “bersabar”, mengapa kita tidak?