Saturday, July 6, 2013

Menghidupi dan Mengamalkan secara Nyata Doa atau Spiritualitas Kristen (Kolose 4:1-4)


Pokok Pikiran Khotbah Minggu, 7 Juli 2013
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
 
4:1    Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga.
4:2   Bertekunlah dalam doa dan dalam pada itu berjaga-jagalah sambil mengucap syukur.
4:3   Berdoa jugalah untuk kami, supaya Allah membuka pintu untuk pemberitaan kami, sehingga kami dapat berbicara tentang rahasia Kristus, yang karenanya aku dipenjarakan.
4:4   Dengan demikian aku dapat menyatakannya, sebagaimana seharusnya.
4:5   Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada.
4:6   Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.

Teks ini menyoroti dua hal, yaitu (1) tentang kehidupan spiritual (doa) yang sehat (ay. 2-4); dan (2) tentang pengamalan (wujud nyata) kehidupan spiritual (doa) itu dalam sikap dan perbuatan sehari-hari (ay. 1, 5-6). Konteks seperti ini sebenarnya terlihat mulai dari pasal 3:5 sampai pasal 4:6, yaitu upaya menghubungkan pengetahuan dan spiritualitas dengan perbuatan. Barclay dan Tenney melihat bahwa salah satu persoalan serius di Kolose adalah adanya kaum intelektual kosong yang membual tentang misteri, pengetahuan rahasia, dan hikmat, ketika melecehkan Kristus dengan filsafatnya yang palsu. Demikian juga adanya kaum beragama yang “sok moralis”, sok spiritualis, tentu dilatarbelakangi oleh pengalaman religius mereka yang bersifat emosional dan mistis.

Menanggapi kedua tantangan dan ancaman ini, Paulus mengajak jemaat untuk tidak terlena dengan intelektualitas kosong dan kehidupan spiritualitas semu itu, sebaliknya orang Kristen harus dengan menempatkan kehidupan berimannya itu dalam kesadaran penuh. Pada saat yang sama, Paulus mengkritik kecenderungan orang-orang yang menempatkan kehidupan intelektual dan spiritual terpisah dengan kehidupan nyata atau perbuatan sehari-hari. Bagi Paulus intelektualitas dan spiritualitas yang sehat pasti teramalkan atau terwujudnyatakan dalam kehidupan dan perbuatan sehari-hari (tenga huohuo manö wa’atuatua ba famatinia).

Di sini Paulus menegaskan bahwa orang Kristen pertama-tama haruslah memiliki kehidupan spiritualitas (doa) yang baik, teguh, tekun, dan terus menerus. Kehidupan dia orang Kristen bukanlah sesuatu yang musiman, nyata bukan hanya ketika merasa terjepit, dilakukan bukan dalam sebagai ajang pamer-pameran (iklan doa), dan bukan sebagai kegiatan rutinitas saja, tenga ha fa’ato’ölö manö (hadia lawaö dania si fatambai omo na lö mangandrö ita). Bagi Paulus, doa haruslah menjadi bagian integral kehidupan orang Kristen, dilakukan secara terus menerus (tekun), baik atau tidak baik waktunya, sehat atau pun sakit, makmur atau pun miskin, kemarau atau pun hujan, kenyang atau pun lapar, dll. Doa dilakukan sebagai bagian ibadah kepada Tuhan, dilakukan dengan tulus dan dalam kerendahan hati. Selain itu, Paulus mengajak orang Kristen untuk berdoa tidak hanya bagi dirinya sendiri,  tetapi juga untuk Paulus sendiri, bagi para pelayan, sehingga pemberitaan Injil, pekerjaan Tuhan dapat berjalan dengan lancar sekali pun ada banyak hambatannya. Di sini orang Kristen diajak untuk berdoa bagi dirinya sendiri dan bagi sesamanya, bahkan bagi musuh sekali pun (bnd. Matius 5:44b “... berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”, mi’angandrö salahi zolohi ya’ami).

Para misionaris yang dulu bekerja di Indonesia (termasuk di Nias) sungguh-sungguh memelihara kehidupan doa, baik secara pribadi maupun persekutuan. Di beberapa tempat, dulu lonceng gereja dibunyikan pada jam-jam tertentu untuk mengingatkan orang Kristen berdoa. Tambahan lagi, setiap keluarga mengadakan ibadah keluarga pada waktu pagi atau malam hari. Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan itu seirama dengan kehidupan ibadah.

Pada saat ini, ada kesan berkurangnya waktu yang disediakan oleh orang-orang Kristen untuk beribadah, berdoa, bernyanyi, membaca dan merenungkan firman Tuhan setiap hari. Tragisnya lagi adalah semakin banyak orang Kristen, termasuk para pelayan, yang enggan bersekutu dengan sesamanya di gereja atau PA karena memilih mendengarkan siaran agama Kristen di media elektronik (RRI, TV, dll). Dalam hal ini perlu dipikirkan kembali bagaimana supaya orang-orang Kristen sungguh-sungguh meluangkan waktunya untuk beribadah, baik ibadah personal maupun persekutuan dengan sesama. Sesungguhnya, semakin kita melatih diri untuk meluangkan waktu dengan Allah, semakin kita mengenal penyertaan Tuhan di segala tempat dan waktu, dan kita pun akan dapat mengenali-Nya bahkan di tengah-tengah kehidupan yang serba sibuk dan sulit. Kehidupan doa seperti ini tentu melibatkan secara sadar pikiran dan perasaan, intelektualitas dan spiritualitas, bahkan kehidupan seutuhnya.

Hal yang kedua yang ditegaskan Paulus di sini adalah tentang pentingnya hubungan antara kehidupan spiritualitas (doa) yang baik, teguh, tekun, dan terus menerus dengan kehidupan dan perbuatan ril setiap hari. Itulah yang disoroti oleh Paulus dari pasal 3:5 hingga pasl 4:6. Orang Kristen yang memiliki kehidupan spiritualitas (doa) yang benar pasti mampu memperlakukan sesamanya dengan adil dan jujur, bahkan sekali pun sesamanya itu berstatus hamba (baca 4:1). Selanjutnya, Paulus mendorong orang Kristen untuk bijak menjalani kehidupannya sehari-hari, terutama dalam relasi dengan orang-orang yang belum mengenal Kristus sepenuhnya. Di sini Paulus mengingatkan orang-orang Kristen untuk bertingkah laku dengan penuh hikmat dan bijaksana terhadap orang lain, jangan menjadi batu sandungan bagi mereka. Orang Kristen tidak perlu menyusahkan diri memengaruhi orang lain untuk menjadi Kristen atau untuk mengikut Kristus, yang lebih penting adalah hidup bijak, menjadi teladan, berbuat baik, dll, seiring dengan kehidupan spiritualitasnya (doa). Maka, orang Kristen haruslah bijak mempergunakan waktu atau kesempatan yang ada untuk menyaksikan Kristus bagi sesamanya, terutama dalam tindakan nyata, yaitu “kata-kata yang senantiasa penuh kasih, tidak hambar, dan mampun memberi jawab kepada setiap orang” (ay. 6). Artinya, orang Kristen harus mampu menciptakan daya tarik tersendiri melalui kehidupannya, baik yang nyata maupun yang abstrak.

Pada zaman sekarang, banyak orang yang pintar (intelek) dan terlihat sangat rohani. Saking pintar dan rohaninya, mereka bisa menghadirkan surga di antara kita. (Ato niha ba ginötö andre zi so fa’atuatua ba fangata’ufi Lowalangi dali wamaigi niha. Na tola, möi la’ohe ba gotaluada zorugo niwaö zangalahi mbalazi wa’atuatuara ba balazi wa hulö niha “rohani” ia. Tola asoso zi lö asoso). Persoalannya adalah bahwa itu dilakukan secara sporadis (modesao) dan tidak tercermin dalam kehidupan dan perbuatan sehari-hari, justru mereka menjadi batu sandungan bagi yang lain. (Asese ha folimo manö da’ö khöra, fa’atuatua si falimo, famati si falimo). Di sinilah Paulus mengajak kita untuk menyadari bahwa kehidupan doa dan spiritualitas Kristen haruslah dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari dalam ketulusan (bukan kebohongan). Kekristenan kita “dipuji” karena secara sedar kita mampu menghidupi doa dan spiritualitas Kristen dengan baik, dan pada saat yang sama kita secara sedar mampu mengamalkan kehidupan doa dan spiritualitas Kristen itu dalam relasi kita dengan sesama dan orang lain.

3 comments:

  1. Wah, terbantu deh buat memahami khotbah besok, thanks for postingannya ya pak. GBU

    ReplyDelete
  2. Tersentuh hatiku dgn ulasan Bapak....
    Trimakasih... :D

    ReplyDelete

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...