Sunday, July 28, 2013

Menjadi Sesama Bagi Siapapun (Lukas 10:25-37)


Bahan Khotbah Minggu, 28 Juli 2013
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si


10:25    Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: "Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
10:26   Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?"
10:27    Jawab orang itu: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."
10:28   Kata Yesus kepadanya: "Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup."
10:29   Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: "Dan siapakah sesamaku manusia?"
10:30   Jawab Yesus: "Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati.
10:31    Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan.
10:32    Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
10:33    Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.
10:34   Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
10:35    Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
10:36   Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?"
10:37    Jawab orang itu: "Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya." Kata Yesus kepadanya: "Pergilah, dan perbuatlah demikian!"

Pengantar
Teks ini oleh LAI diberi judul “Orang Samaria yang murah hati”. Kita sudah sangat mengenal cerita ini, dan mungkin menarik sehingga kadang-kadang ada orang yang melihatnya bukan lagi sebagai perumpamaan melainkan kisah yang benar-benar terjadi. Bagi saya sendiri, teks ini menarik, tentu tetap dalam kesadaran dan atau pemahaman bahwa kisah panjangnya adalah perumpamaan, sedangkan kisah nyatanya ada di bagian awal dan akhir nas ini sendiri. Selain itu, teks ini tidak sekadar bicara tentang orang Samaria itu, tetapi sekaligus menyinggung orang-orang Yahudi, terutama para pemimpin atau pemuka agamanya.

Pendalaman Nas
Ada dua episode penting dari teks ini, keduanya memiliki struktur, pertanyaan, dan pernyataan dengan pola yang hampir sama. Diawali dengan sebuah pertanyaan ujian dari seorang ahli Taurat di ayat 25 tentang “yang harus dilakukan untuk memperoleh hidup yang kekal”, diikuti kemudian dengan pertanyaan balik Yesus kepadanya tentang “hukum yang pertama dan terutama” dalam hukum Yahudi. Setelah menjawab dengan benar pertanyaan Yesus itu, dilanjutkan kemudian dengan episode kedua, yaitu pertanyaan (kembali) ahli Taurat kepada Yesus tentang “siapakah sesamanya” (yang dituliskan sebagai upaya ahli Taurat tersebut untuk membenarnkan dirinya, ay. 29), dan tanggapan Yesus diungkapkan melalui perumpamaan ini. Perumpamaan ini diakhiri dengan sebuah pertanyaan Yesus kepada ahli Taurat tadi untuk menarik kesimpulan tentang “siapakah sesama” yang dimaksud. Dengan kata lain, melalui perumpamaan ini, Yesus membiarkan ahli Taurat untuk menjawab sendiri pertanyaannya sebelumnya kepada Yesus tentang siapakah sesamanya itu. Dan Yesus menutup dialog mereka itu dengan mengatakan: “Pergilah, dan perbuatlah demikian” (ay. 37b).

Namun, nampaknya target utama Lukas dalam dialog dan perumpamaan ini bukanlah “upaya memperoleh hidup yang kekal” sebagaimana ditanyakan oleh ahli Taurat tadi di awal dialog, dan dijawab sendiri serta diafirmasi oleh Yesus di akhir dialog mereka. Dengan tetap menghargai perhatian Yesus, ahli Taurat dan penulis teks ini akan “pertanyaan ahli Taurat itu”, Lukas sebenarnya mau menyampaikan sesuatu yang sangat penting melalui perumpamaan ini. Itulah sebabnya settingatau pun alur peristiwa perampokan tersebut dideskripsikan sedemikian rupa dengan cukup jelas dan sistematis. Demikian juga dengan orang-orang yang dilibatkan dalam kisah perumpamaan ini, digambarkan dengan ringkas tapi jelas. Episode orang Samaria merupakan cerita terpanjang dari seluruh perumpamaan itu.

Dua pihak yang sebenarnya memiliki hubungan yang sangat tidak harmonis, ditampilkan sekaligus dalam kisah ini, yaitu orang Yahudi (dalam hal ini imam dan orang Lewi), dan orang Samaria (dalam hal ini penolong orang yang dirampok tersebut). Dan, orang yang bertanya adalah orang Yahudi (ahli Taurat, unsur pimpinan dalam masyarakat/agama Yahudi). Kondisi geografis tempat peristiwa ini terjadi pun sangat mendukung perumpamaan Yesus ini, terutama pesan yang ada di baliknya. Maka, kita akan lihat sejenak gambaran geografis tempat peristiwa dalam perumpamaan ini terjadi, diikuti kemudian dengan gambaran ketegangan hubungan antara orang-orang Yahudi dengan orang-orang Samaria.

Pada zaman Yesus, terutama pada zaman pembaca tulisan Lukas, mereka tahu bahwa jalan ke Yerikho merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Pada abad pertama, jalan ke Yerikho terkenal sebagai jalan atau tempat yang paling berbahaya, karena karakternya seperti itu. Jaraknya cukup jauh, sekitar 17 mil (lebih dari 27 km). Tidak hanya itu, sepanjang jalan adalah hutan belantara (wilderness)dan gua-gua dimana orang dapat bersembunyi. Tidak ada perlindungan bagi siapa pun yang melewati jalan itu, tidak ada tenaga keamanan di jalan pada saat itu. Gerombolan perampok tinggal di gua-gua tersebut dan siapa pun yang melewati jalan itu adalah sasaran empuk mereka, dan umumnya si korban ditinggalkan begitu saja dalam kondisi terluka parah. Konteks geografis seperti inilah yang dipakai oleh Yesus dalam perumpamaannya untuk menggambarkan peristiwa perampokan dan bagaimana orang Yahudi maupun orang Samaria menunjukkan “perhatian” (care) terhadap si korban.

Dalam pandangan orang Yahudi, orang-orang Samaria merupakan orang yang murtad, pengkhianat, dan mereka adalah musuh utama. Mengapa? Sebenarnya, orang Samaria merupakan keturunan penduduk kerajaan utara yang ditaklukkan oleh Asyur sekitar 800 tahun sebelum Kristus, tepatnya tahun 722 SZB. Pada waktu itu, ada kebijakan Asyur dalam hal kawin-mengawini, yaitu mereka mengirim para pemudanya (laki-laki dan perempuan) ke kerajaan utara untuk kawin dengan orang-orang di sana, dan terjadilah perkawinan campur itu. Itulah sebabnya orang selatan (orang Yahudi) menyebut mereka sebagai “peranakan”, orang yang darahnya telah kotor dan bukan lagi asli Yahudi.

Yesus sendiri, dan pembaca Lukas tentu mengetahui sejarah panjang konflik Yahudi dan orang-orang Samaria ini. Tidak lama sebelum zaman Yesus, sekelompok pemuda Samaria merusak bait Allah dan membuang tulang-tulang di seluruh bait suci sehari sebelum perayaan paskah dan roti tidak beragi. Akibatnya orang-orang Yahudi harus membatalkan perayaan pada tahun itu. Hal ini tentunya sangat membuat geram orang-orang Yahudi, sehingga mereka secara “bergantian” berusaha menekan atau melakukan tindakan kekerasan satu terhadap yang lain, termasuk peningkatan ketidakamanan dalam perjalanan yang secara geografis dan karakteristik memang tidak aman. Bahkan, hubungan mereka tidak seharmonis hubungan orang-orang Yahudi dengan orang-orang Palestina yang secara kebetulan tinggal di tanah yang sama dengan orang-orang Samaria.

Lalu, apa yang terjadi?
Teman dialog Yesus tadi, dan tentunya orang-orang Yahudi, berharap bahwa imam dan orang Lewi itu akan melihat sesama orang Yahudi yang telah terluka dan akan menolongnya. Sayang sekali, imam dan orang Lewi tersebut sangatlah kaku dan terikat dengan hukum Taurat yang melarang mereka mendekati dan menyentuh orang yang tidak tahir. Mereka bisa saja memiliki kepedulian atau perhatian (care), tetapi kekakuan dan keterikatan mereka terhadap hukum Taurat telah mengalahkan kepekaan atau empati mereka terhadap orang yang membutuhkan. Kalau tidak, atau apabila mereka melanggarnya maka mereka akan didiskualifikasi dalam pelayanan bait Allah.

Sejauh ini teman dialog Yesus tadi, termasuk pembaca tulisan Lukas dari kaum Yahudi, memahami bahwa orang Samaria adalah musuh utama, orang yang harus dibenci, orang yang tidak mengindahkan hukum, orang yang paling berdosa. Namun, lihatlah, orang Samaria ini, ketika dia datang, justru menolong korban perampokan itu dengan kebaikan yang luar biasa, bahkan sampai membayar orang lain untuk merawat si korban tadi dan membayar kembali seluruh biaya pengobatannya. ini merupakan suatu kebaikan yang tidak pernah terpikirkan, khususnya bagi orang yang dirampok. Ternyata, orang Samaria ini telah menjadi sesama yang sangat luar biasa, bahkan kepada musuhnya. Dia tidak peduli dengan ketegangan hubungan mereka dengan orang Yahudi (yang akan ditolongnya itu), dia tidak peduli dengan berbagai aturan hukum yang berlaku (seperti diperhitungkan oleh imam dan orang Lewi), dia tidak peduli dengan segala risiko yang harus dia tanggung (mis. risiko keuangan). Baginya, “menjadi sesama” bagi orang lain dengan menyatakan kasih, kepedulian, kepekaan dan empati bagi yang membutuhkan, jauh lebih penting dari segala persoalan yang telah dan bakal terjadi. Saya kita, itulah berita Injil kerajaan Allah yang disampaikan kepada pembaca Lukas, tidak hanya kepada orang-orang Yahudi tetapi juga kepada orang lain (dalam hal ini diwakili oleh orang Samaria).

Akhirnya, Yesus mengajak ahli Taurat tadi melalui sebuah pertanyaan tentang “sesama manusia” (ay. 36) sebagaimana ditanyakannya sebelumnya (ay. 29), dan akhirnya juga ahli Taurat itu menemukannya (ay. 37a). Itulah inti jawaban Yesus atas pertanyaan cobaan dari ahli Taurat tadi (ay. 25), sekaligus inti dari perumpamaan ini, dan pesan utama yang disampaikan kepada para pembaca Lukas, yaitu “MENJADI SESAMA BAGI SIAPAPUN”.

Pokok-pokok Renungan:
·         Pada satu sisi teks ini berbicara tentang bagaimana seharusnya orang percaya mewujudnyatakan kepedulian atau perhatian bagi siapa pun yang membutuhkan, dengan tidak dibatasi oleh sekat-sekat apa pun, bahkan tidak boleh dikalahkan oleh berbagai aturan atau hukum yang sebenarnya diciptakan oleh manusia sendiri. Kasih, kepedulian, perhatian, kepekaan dan empati kepada mereka yang membutuhkan (those who are in need)haruslah menempati tempat yang penting dalam kehidupan orang percaya.
·         Pada sisi lain, melalui dialog dan perumpamaan ini, Lukas mengajak kita untuk merenungkan bahwa segala macam konflik, atau ketidakharmonisan hubungan, akan selesai ketika kita “menjadi sesama” bagi yang lain, lebih tepatnya: “Menjadi Sesama Bagi Siapapun”. Itulah berita penting yang disampaikan dalam teks ini.
·         Menjadi sesama bagi siapapun berarti siap dan mau menyatakan kasih dan kepedulian terhadap mereka, dengan tidak mempersoalkan latar belakang atau perbedaan yang dimiliki.
·         Menjadi sesama bagi siapapun berarti siap dan mau menerima dan melayani orang lain tanpa dibatasi oleh berbagai faktor atau alasan apa pun.
·         Konflik tidak akan pernah selesai, dendam dan kekerasan tidak akan pernah berhenti, dan damai tidak pernah kita nikamti kalau kita tidak pernah “menjadi sesama” bagi yang lain.
·         Sesama dalam bahasa Nias disebut sahatö, artinya orang dekat. Dalam bahasa Inggris dituliskan “neighbor” artinya tetangga. Jadi, “menjadi sesama” berarti memiliki atau menciptakan semacam ikatan “kedekatan” satu dengan yang lain, dengan tidak dihalangi oleh berbagai “gangguan” apa pun.
·         Hanya dengan “menjadi sesama” bagi yang lain, kita dapat memperoleh hidup yang kekal itu. Sangat logis dan realistis!


1 comment:

  1. Hada wobanuasa, Angowuloa Gereja sifabo'o denominasi, asese tobali ba'a-ba'ada bawamalua si sokhi bazifalazi omo khoda.

    ReplyDelete

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...