Tuesday, December 17, 2013

Biarlah Segala yang Bernapas Memuji Tuhan (Mazmur 150)


Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

 
150:1   Haleluya! Pujilah Allah dalam tempat kudus-Nya! Pujilah Dia dalam cakrawala-Nya yang kuat!
150:2   Pujilah Dia karena segala keperkasaan-Nya, pujilah Dia sesuai dengan kebesaran-Nya yang hebat!
150:3   Pujilah Dia dengan tiupan sangkakala, pujilah Dia dengan gambus dan kecapi!
150:4   Pujilah Dia dengan rebana dan tari-tarian, pujilah Dia dengan permainan kecapi dan seruling!
150:5   Pujilah Dia dengan ceracap yang berdenting, pujilah Dia dengan ceracap yang berdentang!
150:6   Biarlah segala yang bernafas memuji TUHAN! Haleluya!


Beberapa waktu yang lalu BPHMS BNKP menghimbau kepada seluruh jemaat BNKP untuk tidak melaksanakan perayaan Natal selama minggu-minggu advent. Bagaimana respon jemaat dan para pelayan? Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Sebagian orang yang setuju memiliki pemahaman yang boleh dikatakan lebih rasional dan teologis, tetapi ada juga yang setuju karena itu sudah himbauan dari pimpinan kita, katanya. Ketidaksetujuan beberapa pihak bukan tanpa alasan, antara lain: mereka sudah terbiasa merayakannya sebelum hari “H” Natal, mereka sudah terlanjur menetapkan perayaan Natal selama minggu-minggu advent, dan beberapa pertanyaan kelompok yang tidak setuju, antara lain: “Apakah dosa kalau merayakan Natal dalam minggu-minggu advent?”. Apakah ada referensi dalam Alkitab yang melarang perayaan Natal pada minggu-minggu advent? Bukankah kelahiran Yesus sesungguhnya bukan tgl 25 Desember?

Terlepas dari setuju atau tidak setuju, realitas ini menunjukkan bahwa kita sedang menggumuli bagaimana sebaiknya kita beribadah, baik pada hari Minggu biasa, maupun pada hari-hari besar gerejawi, termasuk pola hidup sehari-hari yang sesungguhnya merupakan cerminan ibadah kita kepada Tuhan.

Tim sendiri menamai kegiatan ini: “Workshop Musik dan Liturgi BNKP Tahun 2013”. Kalau berangkat dari hakikat dasar liturgi dalam pengertian yang luas, maka “musik” sebenarnya merupakan bagian dari liturgi itu sendiri. Namun, kita juga harus mengakui bahwa istilah “liturgi” seringkali dipahami dalam pengertian yang sempit sebagai “tata ibadah, agendre, dsb”. Tentu saya tidak sedang mempertanyakan nama kegiatan yang telah disepakati oleh tim ini. Pasti ada sesuatu yang hendak dicapai, dan itu tercermin dalam ToR yang sempat saya baca kemarin.

Baik dalam pengertian yang luas, maupun dalam pengertian yang sempit, sama-sama dimaksudkan untuk membangun ibadah yang hidup di tengah-tengah warga jemaat, ibadah yang mendatangkan damai sejahtera bagi semua, ibadah yang dihidupi oleh setiap jemaatnya. Dengan demikian, workshop ini sendiri dilakukan dalam rangka ibadah kepada Tuhan. Selagi kita bernapas, menurut pemazmur tadi, kita mestinya memuji Tuhan.

Bagi banyak orang Kristen, kitab Mazmur merupakan bagian yang paling kaya akan lagu-lagu pujian dalam PL, bahkan dalam seluruh Alkitab. Itulah sebabnya sangat tepat kalau kita menyimpulkan bahwa untaian kata dan kalimat di dalamnya, termasuk kata “haleluya”, secara utuh ditujukan untuk memuji Allah kita yang baik, Allah yang besar dan pemurah. Di bagian akhir dari teks bahkan kitab Mazmur ini, pemazmur berseru “biarlah segala yang bernapas memuji Tuhan” (ya. 6).

Mazmur 150 ini merupakan bagian akhir dari kitab Mazmur. Fungsinya semacam doksologi akhir. Kalau Mazmur 1 semacam pengantar, maka Mazmur 150 semacam kesimpulan. Pasal-pasal awal dari kitab Mazmur ini selalu diwarnai dengan ungkapan yang ada kaitannya dengan “kebahagiaan, atau diberkati”. Dan, pasal-pasal terakhir dari kitab Mazmur ini selalu diawali dan diakhiri dengan ungkapan “Haleluya” (Mzm. 146 – 150). Hal ini menunjukkan bahwa kitab Mazmur memang menyajikan sesuatu yang menggembirakan, atau mendatangkan damai sejahtera, dari awal sampai akhir. Secara eskatologis, hal ini menunjukkan bagaimana karya keselamatan dari Allah diakhiri dengan suatu pujian besar kepada-Nya.

Mazmur 150 ini lebih banyak dilukiskan sebagai himne, nyanyian, atau pujian akhir. Bersama dengan empat Mazmur sebelumnya yang mengekspresikan Haleluya (Mzm. 146 -150), mazmur ini membentuk semacam puncak doksologis dari kitab Mazmur ini sendiri. Teks ini menyajikan sepuluh ajakan pujian dari ayat 1b sampai ayat 6 “Pujilah Allah, Pujilah Dia”, disandingkan bersama dengan ungkapan “Haleluya” di awal dan di akhir teks ini (ya. 1a, 6b). Pengulangan pujian ini sebanyak sepuluh kali seringkali dikaitkan dengan sepuluh kata-kata penciptaan di Kejadian 1, atau sepuluh kata-kata dekalog dalam kitab Keluaran 20. Artinya, karakter Torah tercermin dalam teks ini. Pujian dengan karakter yang seperti ini menunjukkan ketaatan penuh kepada Tuhan. Memuji Tuhan dalam teks dan karakter seperti ini berarti menyatakan ketaatan penuh terhadap Torah.

Bahasa mazmur ini dapat dihubungkan dengan tradisi kultis di Israel dan komunitas pemujaannya. Bentuk dan isi dari pujiannya (ya. 1-6), bentuk liturgisnya (ya. 3, 5), terkait dengan tempat kudus (ay. 1b), atau instrumen/musik kultisnya (ya. 3-5), menunjukkan relasi dengan tradisi kultus di Israel. Teks ini sangatlah liturgi, paling tidak memberikan kita gambaran atau iklim doksologi dari Haleluya akhir.

Isinya, mengajak kita untuk memuji Allah (El) dalam tempat kudus dan dalam cakrawala-Nya yang kuat. Kedua tempat pemujaan Allah ini menunjukkan pemerintahan Allah atas seluruh ruang dan bidang kehidupan. Hal ini kemudian ditegaskan kembali dengan pengungkapan alasan pemujaan terhadap Allah di ayat 2, yang menunjukkan superioritas Allah atas seluruh kosmos dan sejarah. Maka, teks ini hendak menyatakan eksistensi Allah dan apa yang telah Allah lakukan dalam seluruh kosmos dan sejarahnya.

Sehubungan dengan workshop kita dalam beberapa hari ini, hal yang menarik adalah ajakan pujian dengan berbagai metode, alat atau instrumen musik di ayat 3-5, yang semuanya dipakai dan ditempatkan secara liturgis dalam rangka memuji Allah tadi. Tentu, metode dan instrumen musik ini sudah sangat dikenal pada zaman kuno, sangat budayawi dan ilahi.

Dalam kitab Mazmur ini kita juga dapat melihat bahwa ibadah atau puji-pujian itu bersifat universal dan ditujukan hanya kepada Allah. Di dalam puji-pujian itu terkandung suatu pengakuan akan eksistensi Allah dan apa yang telah dilakukan-Nya, dan bagaimana seharusnya makhluk yang bernapas mengalami Allah yang besar itu. Bagian ini hendak mengajak kita untuk menyadari bahwa segala yang bernapas hidup dalam ketergantungan penuh kepada Allah, sumber kehidupan, penguasa atas seluruh kosmos dan pergerakan sejarah.

Memuji Tuhan haruslah mengubah kita, mentransformasi kehidupan kita. Seluruh hidup kita haruslah memuji Tuhan, sebab Dia itu perkasa, besar, dan hebat (ya.2). Paling tidak, itulah yang dialami oleh pemazmur seperti terekspresikan dalam teks renungan kita pada hari ini. Itulah sebabnya pemazmur hendak memakai berbagai metode dan alat yang ada (dalam tempat kudus, cakrawala yang kuat, dengan sangkakala, gambus, kecapi, rebana, tari-tarian, seruling, dan ceracap) untuk kemuliaan nama Tuhan. Saya melihat bahwa metode dan alat puji-pujian yang disebutkan oleh pemazmur sangat tepat dengan konteks zamannya pada waktu itu.

Tentu, kita, di Nias, dan di mana saja, dalam konteks kita dewasa ini, mestinya mau dan mampu menemukan metode dan alat yang kontekstual untuk memuji Tuhan, untuk beribadah, dan untuk menolong kita sendiri mampu mengalami dan menghidupi kehidupan kita sebagai anugerah Allah. Pengalaman masing-masing berbeda, refleksi masing-masing juga berbeda, bahkan di dalam satu jemaat pun pasti berbeda antara yang satu dengan yang lain. Tetapi, intinya tetap sama, yaitu memuji Tuhan, beribadah kepada Tuhan, Sang Pemberi kehidupan bagi kita. Karena itu, kita datang ke sini bukan untuk mempersoalkan berbagai realitas yang terjadi saat ini seperti para pendebat perayaan Natal pada minggu-minggu advent tadi; kita juga datang bukan untuk menunjukkan superioritas teologi kita atas mereka yang mungkin kurang peduli dengan liturgi yang kontekstual. Mengapa? Karena yang “Super” itu hanyalah Allah, dan bagian kita adalah memuji Dia yang “Super” atas segala sesuatu.

Saya kira, para peserta workshop ini memiliki pengalaman dan refleksi yang sangat kaya, yang kalau dapat digali serta dikembangkan dengan baik, pasti menjadi berkat bagi jemaat kita, dan menjadi kemuliaan nama Tuhan. Dengan kekayaan itu, kita bisa menghasilkan suatu buah yang luar biasa. Sdra/i, mumpung kita masih hidup, mumpung kita masih bernapas, pujilah Tuhan. Pergunakanlah segala kesempatan, metode, dan alat yang ada, untuk kemuliaan namanya. Biarlah segala yang bernapas memuji Tuhan! Haleluya!




[1] Bahan khotbah pada Kegiatan Pembukaan Workshop Musik dan Liturgi BNKP Tahun 2013, Selasa, 17 Desember 2013, di Ruang Seminar STT BNKP Sundermann.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...