Saturday, December 7, 2013

Kedatangan Raja Sion yang Adil dan Jaya (Zakharia 9:9-10)

Pokok Pikiran Khotbah Minggu, 08 Desember 2013
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si

9:9       Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.
9:10     Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa. Wilayah kekuasaannya akan terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung bumi.

Situasi Yehuda pada Zaman Zakharia
Hampir dapat dipastikan bahwa zaman Zakharia adalah zaman pasca pembuangan. Zaman ini dipenuhi dengan ketidakpastian, zaman yang penuh dengan keragu-raguan, zaman kelemah-letih-lesuan di seluruh penjuru negeri Israel. Mengapa? Karena mereka baru saja mengalami masa-masa pahit, dibuang ke negeri orang, Babilonia, dengan demikian harus meninggalkan tanah perjanjian, tanah leluhur mereka selama kurang lebih 70 tahun lamanya.

Kita bisa membayangkan seperti apa tanah atau kampung halaman yang telah ditinggalkan dalam kurun waktu yang cukup lama itu! Tanah Yehuda berubah menjadi hutan, tanah yang seolah-olah tanpa kehidupan manusia di dalamnya. Dan, sekarang, mereka diberi kesempatan “pulang kampung”, antara suka dan tidak suka. Mengapa? Pada satu sisi, mereka tidak nyaman dan tidak merasakan kedamaian tinggal di negeri orang dengan status “orang-orang buangan”, sehingga sudah sangat wajar kalau mereka juga “sangat merindukan” kampung halamannya tersebut. Namun, pada sisi lain, mereka juga sudah dapat membayangkan seperti apa tanah atau kampung halaman mereka yang sudah lama ditinggalkan itu, sudah menjadi “kota sangat tua”. Dan, memang ternyata setelah mereka sampai di tanah leluhur mereka itu, mereka harus bekerja keras untuk membangun kembali kota mereka yang telah hancur dulu, kota mereka yang sudah usang karena ditinggalkan penduduknya, ibarat “kota mati”.

Mereka harus memulai hidup baru, usaha yang baru untuk kelangsungan hidup mereka, harus membangun kembali rumah-rumah mereka, dan yang tidak kalah pentingnya juga adalah harus membangun kembali bait Allah yang telah dihancurkan dulu, termasuk tembok-tembok kota Yerusalem, dan berbagai bangunan lain di negeri itu. Kita sudah dapat membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka.

Namun, masalahnya belum berhenti sampai di situ saja. Perasaan-perasaan gagal pasti menguasai mereka; mereka sangat kecewa dengan situasi mereka itu; dan banyak di antara mereka yang kehilangan semangat untuk membangun kembali negeri mereka itu, tentu dengan berbagai alasan, tentu dengan berbagai perasaan “negatif” yang terus menghantui mereka. Untuk apakah kita membangun? Untuk apa ini semua, kalau toh kemudian dihancurkan oleh peperangan? Untuk apa hidup ini kalau toh pada akhirnya selalu gagal/hancur? à bnd. masa-masa darurat pasca gempa bumi di Nias. Untuk apa? Untuk apa? Dan untuk apa? Galau.com, pesimis.com, depresi.com, enjel.com (enggak jelas).

Tuhan Mengingat Umat-Nya
Dalam situasi yang seperti itulah tampil nabi sekaligus imam Zakharia.[1] Zakharia berarti Tuhan mengingat. Pilihan nama ini memang sangat cocok dengan kitab ini sendiri karena menjelaskan bagaimana Tuhan mengingat umat pilihan-Nya, mengingat janji-janji-Nya, dan akan setia pada mereka.[2] Zakharia mulai melaksanakan tugasnya sebagai nabi dan imam di antara orang-orang Yahudi yang telah kembali dari pembuangan di Babilonia  dua bulan setelah Hagai melaksanakan tugasnya (1:1; 7:1; bnd. Neh. 12:10-16; Hag. 1:1). Dalam arti tertentu, pesan keduanya saling melengkapi, atau lebih tepatnya pemberitaan Zakharia melengkapi pemberitaan Hagai.

Zakharia melaksanakan tugasnya dalam rangka mendukung upaya restorasi komunitas Yahudi yang baru saja kembali dari pembuangan pada waktu itu, dia memotivasi mereka untuk menyelesaikan pembangunan bait Allah dan mempersembahkan kembali diri mereka bagi Tuhan dengan harapan akan berkat-berkat-Nya. Dengan demikian tema sentral kitab ini adalah “dorongan, motivasi dan pengharapan”. Kunci akan pengharapan terletak pada kedatangan Mesias dan penggulingan kekuasaan yang jahat, serta pendirian kerajaan-Nya di bumi.

Sang nabi sangat prihatin terhadap kondisi bangsa itu, sehingga dia mencoba membangkitkan semangat bangsanya yang telah melemah dan menjadi pesimis itu untuk membangun kembali Bait Allah dan komunitas mereka. Mengapa? Karena ternyata bangsa itu menjalani kehidupan mereka dalam kelesuan dan tanpa pengharapan. Maka, kedelapan penglihatan Zakharia pada pasal 1-8 menunjukkan aspek kekuasaan Allah yang menaklukkan si-apa pun yang bangsa itu takutkan, sekaligus memberikan harapan baru bagi mereka.

Kedatangan Raja Pengharapan
Teks renungan kita pada hari ini merupakan salah satu bagian yang paling penting dalam pengharapan bangsa itu. Pengharapan ini lazim disebut sebagai pengharapan mesianis, baik bagi tradisi orang-orang Yahudi maupun orang-orang Kristen. Orang Yahudi melihat bahwa di dalam teks ini terkandung dasar bagi pengharapan mesianis kerajaan secara politik, sementara Perjanjian Baru dan kekristenan melihatnya sebagai nubuatan akan kemenangan/kedatangan Yesus Kristus ke Yerusalem pada hari Minggu sebelum penyaliban-Nya (Mat. 25:5; Yoh. 12:15). Meskipun pemenuhan nubuatan ini masih dalam perdebatan, namun ada keyakinan pasti bahwa tokoh dari keturunan Daud digambarkan di sini, satu orang, yang rendah hati, mengendarai keledai muda, ibarat seorang pemenang yang masuk ke ibu kota Yerusalem. Maka, sangatlah wajar kalau bangsa itu diajak untuk bersukacita, sebab yang datang bukanlah sekadar raja seperti raja duniawi, melainkan seorang raja yang membawa kedamaian, keadilan, dan kejayaan.

Orang Israel haruslah “bersorak-sorak” sebab Raja mereka “datang” kepada mereka (bnd. Zef. 3:15). Mengapa? Karena raja yang datang ini merupakan raja yang adil yang membawa keselamatan bagi bangsa-Nya. Dengan demikian, bangsa Israel tidak perlu menjadi pesimis menyikapi kehidupan, tidak perlu lemas membangun negeri mereka, sebab ketakutan dan ancaman dari berbagai arah akan segera lenyap dengan kedatangan raja besar mereka, Mesias yang dinantikan. Itulah nanti yang ditegaskan di ayat 10, yaitu bahwa segala simbol peperangan, simbol yang mendatangkan ketakutan bagi manusia, akan dilenyapkan oleh kekuasaan sang raja damai itu. Refleksinya sederhana:
“Kalau kita tahu pasti bahwa Penolong/Penyelamat akan datang, mengapa kita tidak bersemangat membangun negeri? Kalau sudah pasti akan ada Raja yang mampu mengatasi masalah kita, untuk apa kita kuatir dan takut? Untuk apa kita menenggelamkan diri dalam ketakutan yang tiada hentinya, dalam mimpi buruk yang kita ciptakan sendiri?”

Namun, perlu disadari bahwa “raja” dimaksud, tidak seperti raja-raja dunia, tidak seperti raja Persia atau Babilonia, raja siapa pun di dunia ini yang selalu datang dalam kemegahan mereka. Raja damai yang datang ini datang dalam “kerendahan hati”, tidak angkuh, tidak sombong, dan tidak arogan. Itulah sebabnya Zakharia menggambarkan kerendahan hati raja ini dengan mengendarai “seekor keledai, keledai beban yang muda” (bnd. Kej. 49:11; Mat. 21:1-9; Mrk. 11:1-10; Luk. 19:28-38; Yoh. 12:12-15).

Di dunia Timur Dekat kuno, penguasa/raja umumnya mengendarai keledai apabila mereka datang dalam kedamaian (Hak. 5:10; 10:4; 12:14; 2 Sam. 16:2; 1 Raj. 1:33), dan sebaliknya mereka akan mengendarai kuda ketika berperang. Ayat ini memberikan alasan mengapa bangsa Israel harus bersorak-sorai, yaitu karena kedatangan raja mereka menandakan datangnya kedamaian di seluruh penjuru negeri. Raja-raja dunia pada dunia kuno pada waktu itu datang dengan membawa ketakutan, tetapi raja Israel dalam teks ini, yang dikenal dengan istilah Mesias, datang dengan membawa sukacita. Siapakah di antara kita yang tidak bergembira kalau ada kedamaian? Siapakah yang tidak bersukacita kalau kota yang kita diami ini bebas dari pencuri, koruptor, dll?

Ayat 10 memberikan alasan kedua mengapa bangsa Israel harus bersukacita, yaitu karena kedatangan sang raja menegaskan bahwa Dia segera mendirikan kerajaan-Nya yang penuh kedamaian, keadilan, dan kejayaan. Kereta pertempuran, kuda perang, busur perang, menandakan seluruh senjata yang dipakai dalam peperangan kuno; jadi ayat 10 ini menunjukkan penghancuran seluruh senjata dimaksud. Penulis kitab-kitab Injil percaya bahwa Yesus merupakan Raja yang akan datang (Mat. 21:5; Yoh. 12:15; bnd. Why. 19:11-16). Tuhan akan mengakhiri perang di Israel, dan akan membangun kedamaian di dunia, dengan proklamasi kekuasaan-Nya (bnd. Yes. 2:4; 9:5-7; 11:1-10; Mik. 5:10-15). Perlu dicatat bahwa kerajaan Mesias di sini dapat dipahami dalam pengertian yang luas, tidak hanya bagi bangsa Israel. Menegaskan kembali alasan sukacita kita di ayat 9, siapakah yang tidak bergembira kalau keluarga, lingkungan, jemaat, masyarakat, kota, bangsa dan negara yang didiaminya dipenuhi dengan kedamaian, keadilan, dan kejayaan?

Tuhan akan memerintah melalui Raja ini atas Israel, dan kekuasaan-Nya akan menjangkau seluruh dunia, dari sungai Efrat di Timur hingga ujung dunia (bnd. Mzm. 72:8-11; Yes. 66:18). Dalam kedua ayat ini, Mesias bertolak belakang dengan raja yang justru mendatangkan ketakutan/penderitaan bagi orang lain (misalnya di ayat 1-8). Demikianlah Raja yang akan datang itu, pasti datang membawa keselamatan bagi kita semua, segala ketakutan/penderitaan akan dilenyapkannya, karena itu sangatlah wajar kalau kita bersukacita menyambut kedatangan-Nya.


[1] Menurut pasal 1:1, Zakharia bernubuat pada bulan ke delapan tahun 520 SZB. Kedelapan penglihatan malamnya terjadi pada tahun ini (1:7), ketika dia masih muda (2:4). Dia menyampaikan pesan di pasal 7 – 8 pada tahun 518 SZB (7:1). Nehemia menyebutkan Zakharia sebagai kepala keluarga imam ketika Yoyakhim menggantikan Yosua, yang adalah imam besar (Neh. 12:12, 16). Hal ini mengindikasikan bahwa penguasa besar di negeri pembuangan pada waktu itu adalah raja Artaxerses I (465 – 424 SZB). Beberapa ahli menduga Nehemia yang menulis pasal 9 -14 pada masa kemudian kehidupannya, namun kita tidak sedang membahas itu sekarang.

[2] Zakharia ini merupakan putra Berekhya anak Dido (1:1, 7; bnd. Ezra 5:1; 6:14; Neh. 12:4, 16). Sama seperti Yeremia dan Yehezkiel, Zakharia merupakan seorang nabi sekaligus imam. Dia sangat familiar dengan hal-hal imam (bnd. psl. 3; 6:9-15; 9:8, 15; 14:16, 20, 21). Dia masih muda ketika menjadi nabi (2:4), kemungkinan besar dia lahir di Babilonia dan kembali ke tanah Yehuda sekitar tahun 536 SZB bersama dengan Zerubabel dan Yosua. Dia menjadi imam kepala dalam restorasi komunitas Yahudi pada waktu itu.

Selamat bersukacita dan berpengharapan di dalam Tuhan. Maranata, salam Advent.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...