Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
Sebelum mengaplikasikan teks ini, ada baiknya kita sejenak mengajukan pertanyaan: “apa sih yang dimaksudkan oleh pemazmur dengan kalimat ‘takkan kekurangan aku‘?“ Atau: “kekurangan seperti apa yang pemazmur maksudkan dalam teks ini?” Mengapa pertanyaan ini penting? Karena secara umum ketika mendengar kata “kekurangan” maka kita membayangkan semacam “kebutuhan materiil”. Nampaknya pemazmur tidak mau membatasi diri dengan kebutuhan semacam itu, bukan karena tidak penting, melainkan karena ada sesuatu kebutuhan utama yang hendak dia ungkapkan.
Paling tidak ada dua cara (selain cara yang lain, kalau ada) untuk mencari tahu maksud pemazmur dengan kalimatnya itu. Pertama adalah dengan melihat terjemahan lain dari kata itu, dan yang kedua adalah dengan melihat konteks teks ini sendiri. Yang pertama pasti berkaitan dengan yang kedua nantinya.
Dalam beberapa terjemahan Inggris kalimat “takkan kekurangan aku” (I shall not want) dituliskan “I have everything I need“ (saya memiliki apa pun yang saya butuhkan). Nah, dengan kalimat yang seperti ini kita diberi kesempatan untuk mendapatkan makna yang lebih luas sekaligus mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru membayangkannya sebagai “kebutuhan materiil”.
Mungkin kita malah semakin kesulitan dengan begitu luasnya makna “takkan kekurangan aku” ini, namun di ayat-ayat berikut kita akan ditolong untuk lebih fokus pada apa yang pemazmur maksudkan. Inilah yang saya sebut tadi melihat konteks teks ini. Di ayat 4 dia bicara soal “kekelaman dan bahaya”, dan di ayat 5 dia menyinggung soal “hidangan di hadapan lawan”. Ayat-ayat ini hendak memperkuat apa yang dia ungkapkan pada ayat 2, 3, dan 6. Saya membayangkan pemazmur tengah berada dalam “situasi yang kurang kondusif”, atau paling tidak pemazmur membayangkan dan atau mengandaikan dirinya berada dalam “situasi yang kurang kondusif itu”, maka dia menyatakan keyakinannya bahwa “TUHAN adalah gembalaku”. Artinya pemazmur sedang berhadapan dengan situasi yang sungguh mencekam, sedang berada dalam bahaya, dan secara spesifik sedang berhadapan dengan lawannya (entah si-apa). Dalam “situasi” yang seperti inilah pemazmur percaya bahwa “TUHAN adalah gembalaku”. Apa pun yang terjadi, situasi apa pun yang sedang dia hadapi, pemazmur percaya bahwa karena TUHAN adalah gembalanya, maka dia justru merasakan situasi yang nyaman dan menyegarkan, kepastian dan kelimpahan, serta jaminan hidup sepanjang masa (bnd. ay. 6). Pemazmur hendak mengatakan bahwa bersama TUHAN dia memiliki apa pun yang dia butuhkan dalam kondisi/situasi apa pun juga.
“Berada dalam situasi yang kurang kondusif” seperti pemazmur pasti sudah pernah kita alami, mungkin juga sedang kita alami, dan pasti akan kita alami. Berada dalam situasi yang tidak menentu (mungkin pemutasian yang kurang jelas, mungkin hasil alam yang menguatirkan, mungkin ancaman bencana alam, mungkin ancaman “lawan-lawan” kita, dst), situasi yang menggelisahkan, situasi yang menguatirkan, situasi yang mencekam dan menakutkan, tentu bukan hal yang menyenangkan. (Daftar ini masih bisa diuraikan sebanyak-banyaknya dan sejelas-jelasnya sesuai dengan konteks jemaat kita masing-masing). Apa pun dan bagaimana pun situasi yang terjadi, kenyamanan dan kesegaran, kepastian dan kelimpahan serta jaminan hidup hanya ada di dalam gembala yang sesungguhnya, yaitu TUHAN. Ini adalah sebuah pengakuan sekaligus kepasrahan kepada TUHAN, Sang Gembala, tapi bukan dalam pengertian “menyerah pada apa yang disebut ‘nasib’”. Ini adalah suatu perjuangan yang tidak mengandalkan kemampuan sendiri, tetapi lebih pada bimbingan TUHAN.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?