Friday, November 6, 2015

Nasihat untuk Hidup Bijak (Amsal 23:15-26)



Bahan Khotbah Minggu, 1 Nopember 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si [1]

23:15   Hai anakku, jika hatimu bijak, hatiku juga bersukacita.
23:16   Jiwaku bersukaria, kalau bibirmu mengatakan yang jujur.
23:17   Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa.
23:18   Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.
23:19   Hai anakku, dengarkanlah, dan jadilah bijak, tujukanlah hatimu ke jalan yang benar.
23:20  Janganlah engkau ada di antara peminum anggur dan pelahap daging.
23:21   Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin, dan kantuk membuat orang berpakaian compang-camping.
23:22   Dengarkanlah ayahmu yang memperanakkan engkau, dan janganlah menghina ibumu kalau ia sudah tua.
23:23   Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian.
23:24   Ayah seorang yang benar akan bersorak-sorak; yang memperanakkan orang-orang yang bijak akan bersukacita karena dia.
23:25   Biarlah ayahmu dan ibumu bersukacita, biarlah beria-ria dia yang melahirkan engkau.
23:26   Hai anakku, berikanlah hatimu kepadaku, biarlah matamu senang dengan jalan-jalanku.

Orangtua akan menjadi sangat bangga apabila anak-anaknya hidup dalam jalan kebenaran. Sukacita orangtua (ayah dan ibu) akan semakin besar apabila akan-anaknya hidup dengan bijak (berhikmat), terdidik dan berpengetahuan. Atau, siapakah orangtua yang tidak merasa bangga kalau anak-anaknya di sekolah misalnya berhasil atau berprestasi?

Sebaliknya, orangtua akan menjadi sangat kecewa apabila anak-anaknya hidup dalam jalan kesesatan, suka berfoya-foya, dan seringkali mendatangkan kesusahan bagi orang-orang di sekitarnya. Adakah orangtua yang merasa bangga dengan anak yang seperti itu? Saya kita tidak! Justru, orangtua akan merasa sangat sedih apabila anak-anaknya hanya mendatangkan aib bagi keluarga, dlsbg.

Lalu, apa yang harus dilakukan supaya anak-anak dapat mendatangkan sukacita bagi orangtuanya? Dalam konteks yang lebih luas, apa yang harus kita lakukan supaya hidup ini dapat menghadirkan sukacita di sekitar kita?

Pada hari ini, penulis amsal memberikan kita beberapa petunjuk penting dalam menjalani kehidupan ini, terutama supaya anak-anak dapat mendatangkan sukacita atau kegembiraan bagi orangtuanya. Namun, petunjuk-petunjuk dalam amsal ini sebenarnya tidak hanya ditujukan bagi anak-anak untuk berperilaku baik dan benar, tetapi sekaligus ajakan bagi orangtua bahkan bagi kita semua untuk mendidik dan mengarahkan mereka ke jalan kebenaran, hikmat, dan pengertian (lafahaö ba ladönisi ba lala satulö, ba lala wa’atuatua, fangenanö ba fa’aboto ba dödö).

Dalam teks renungan kita pada hari ini, penulis amsal mengingatkan kita bahwa baik buruknya perilaku seseorang, terutama anak-anak, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan (ay. 17-21), dan faktor keluarga itu sendiri (ay. 22-26).
(1)     Faktor lingkungan
Penulis amsal sadar bahwa kita hidup dalam dunia yang penuh dengan berbagai dinamika kehidupan, termasuk kejahatan, kenakalan, atau keburukan. Hidup manusia juga tidak pernah terlepas dari lingkungan luarnya itu, sehingga ancaman, tantangan, dan godaan yang dihadapi cukup besar. Lalu, bagaimana anak-anak seharusnya menyikapi dunia yang seperti itu?
·         Menurut amsal ini, kita tidak perlu iri kepada orang-orang yang berbuat dosa (ay. 17). Kita tidak perlu cemburu terhadap mereka yang berbuat jahat, kita tidak perlu menghabiskan energi dan waktu untuk memperbincangkan mereka, dan tentunya kita tidak perlu merencanakan pembalasan atas dosa atau kejahatan mereka tersebut. Mengapa? Karena hal itu hanya akan menghalangi kita untuk menatap ke depan, ke arah kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang penuh harapan (ay. 18). Banyak orang gagal melihat harapan atau peluang yang ada di hadapannya karena telah menghabiskan waktunya untuk “mengurus” mereka yang berbuat dosa tersebut. Anak-anak yang bijak pasti memahami hal ini!
·         Selanjutnya menurut amsal, kita harus menjaga diri ketika berelasi dengan orang-orang di sekitar kita. Dalam konteks ini, kita tidak dianjurkan untuk menutup diri dari yang lain, atau tidak peduli terhadap lingkungan di mana kita berada. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh/godaan dunia luar itu sangat kuat, apalagi terhadap anak-anak yang dalam berbagai hal sangat labil (mudah terpengaruh, suka meniru, dll). Karena itu, kita harus ekstra hati-hati, seperti dicontohkan oleh penulis amsal ini di ayat 20 dan 21 “Janganlah engkau ada di antara peminum anggur dan pelahap daging. Karena si peminum dan si pelahap menjadi miskin, dan kantuk membuat orang berpakaian compang-camping”. Artinya, pergaulan dengan orang-orang yang berbuat dosa, dapat merusak diri kita sendiri, dapat mendatangkan kesusahan bagi keluarga (orangtua), bahkan bagi masyarakat yang lebih luas. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:33 mengatakan: “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Kita boleh bergaul dengan siapa pun, namun harus diikuti pula dengan upaya untuk menyaring (filter) cara pergaulan itu sendiri, termasuk menyaring orang-orang (teman-teman) yang dianggap sebagai sahabat. Ada ungkapan terkenal orang tua kita di Nias, “Fao ita ba zatuatua ba atuatua ita, fao ita ba zowöhöwöhö ba owöhöwöhö göi ita”. Kalau teman atau sesama kita sudah mulai mengajak kita untuk melakukan sesuatu yang dapat merusak diri sendiri atau merusak keluarga, apalagi menjauhkan kita dari Tuhan, maka lebih baik kita membatasi diri dengan dia. Adalah lebih baik dianggap “kuper” namun selamat, daripada dianggap “gaul” tetapi hancur-hancuran.

(2)    Faktor keluarga
Keluarga memegang peranan penting dalam diri setiap orang, karena merupakan tempat pertama dan utama untuk membentuk dan mendidik anak-anak. Karena itu, penulis amsal mengingatkan anak-anak untuk tidak mengabaikan nasihat wejangan dari orangtua dalam keluarga, sekaligus memperingatkan anak-anak untuk menghormati orangtuanya, dan jangan sekali-sekali menghina mereka. Di zaman sekarang, dibutuhkan upaya ekstra untuk mengarahkan anak-anak ke jalan kebenaran, hikmat, didikan dan pengertian, kalau tidak maka anak-anak (terutama remaja-pemuda) akan terjerumus dalam berbagai jenis kenakalan, kejahatan, dan pergaulan yang tidak sehat, dan pada akhirnya perilaku mereka itu hanya mendatangkan kesusahan bagi kita semua. Karena itu, orangtua memiliki peran dan tanggung jawab yang besar untuk mendidik anak-anaknya, mengajak mereka untuk takut akan Tuhan, menghormati orangtua, dan berperilaku yang baik. Di bagian lain kita amsal ini dituliskan: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). Ungkapan Nias berkata: “Mamahaö Daromali, Mango’ou Dumaduma”. Pendidikan dan teladan yang baik dalam keluarga sangat ampuh dalam membentengi anak-anak kita dari berbagai pengaruh buruk di lingkungan kita.



[1] Bahan Khotbah Minggu, 01 Nopember 2015, di Jemaat BNKP Fodo Resort 2, Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...