Saturday, March 19, 2016

Hormat dan Pujian bagi Sang Raja dan Tuhan yang Agung (Lukas 19:28-40)

Bahan Khotbah Minggu, 20 Maret 2016
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

19:28 Dan setelah mengatakan semuanya itu Yesus mendahului mereka dan meneruskan perjalanan-Nya ke Yerusalem.
19:29 Ketika Ia telah dekat Betfage dan Betania, yang terletak di gunung yang bernama Bukit Zaitun, Yesus menyuruh dua orang murid-Nya
19:30 dengan pesan: “Pergilah ke kampung yang di depanmu itu: Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan mendapati seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskanlah keledai itu dan bawalah ke mari.
19:31 Dan jika ada orang bertanya kepadamu: Mengapa kamu melepaskannya? jawablah begini: Tuhan memerlukannya.”
19:32 Lalu pergilah mereka yang disuruh itu, dan mereka mendapati segala sesuatu seperti yang telah dikatakan Yesus.
19:33 Ketika mereka melepaskan keledai itu, berkatalah orang yang empunya keledai itu: “Mengapa kamu melepaskan keledai itu?”
19:34  Kata mereka: “Tuhan memerlukannya.”
19:35  Mereka membawa keledai itu kepada Yesus, lalu mengalasinya dengan pakaian mereka dan menolong Yesus naik ke atasnya.
19:36 Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan.
19:37 Ketika Ia dekat Yerusalem, di tempat jalan menurun dari Bukit Zaitun, mulailah semua murid yang mengiringi Dia bergembira dan memuji Allah dengan suara nyaring oleh karena segala mujizat yang telah mereka lihat.
19:38 Kata mereka: “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!”
19:39 Beberapa orang Farisi yang turut dengan orang banyak itu berkata kepada Yesus: “Guru, tegorlah murid-murid-Mu itu.”
19:40 Jawab-Nya: “Aku berkata kepadamu: Jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak.”


Pada zaman dahulu, sudah menjadi kebiasaan para raja untuk bepergian dengan menunggang kuda atau keledai. Di dunia Timur Dekat kuno, para raja umumnya mengendarai kuda ketika berperang, tentu dengan segala kemegahan dan pasukan perangnya; sebaliknya sang raja mengendarai keledai apabila datang dalam kedamaian atau membawa kabar baik ke daerah tertentu dalam wilayah kekuasaannya (bnd. Hak. 5:10; 10:4; 12:14; 2 Sam. 16:2; 1 Raj. 1:33). Pada teks khotbah hari ini, Yesus memilih keledai muda sebagai “kendaraan-Nya”. Hal ini menggambarkan kerendahan hari Sang Tuan/Raja Agung, yaitu Yesus; Dia datang dengan penuh “kerendahan hati”, tidak diiringi dengan kemegahan, keangkuhan, kesombongan dan arogansi, seperti yang biasa ditunjukkan oleh raja-raja atau para pemimpin dunia pada waktu itu.

Untuk menunjukkan rasa hormat mereka kepada Yesus, yang dipercaya sebagai Raja Agung itu, para murid menghamparkan pakaian mereka di jalan yang akan dilewati Yesus (dengan kendaraan keledai muda itu). Tradisi ini merupakan suatu bentuk penghormatan yang sangat mulia pada zaman itu, dan para murid melakukannya hanya untuk Yesus.

Tidak berhenti pada rasa hormat dengan menghamparkan pakaian tadi, para murid pun mengekspresikan sukacita mereka karena kedatangan Yesus tersebut; mereka menyambut kedatangan-Nya itu dengan kegembiraan dan pujian kepada Allah, bahkan pemilik keledai muda itu pun tidak lagi mempersoalkan pemakaian keledainya itu, toh Tuhan yang menggunakannya. Mereka bersukacita dan bersorak-sorai karena kedatangan Sang Raja tersebut menandakan datangnya kedamaian di seluruh penjuru negeri. Kalau sebelumnya, para pemimpin Yahudi atau pemimpin Romawi datang dengan membawa ketegangan, kecemasan dan ketakutan bagi rakyat, namun Sang Raja Agung dalam teks ini datang dengan membawa sukacita. Puncak dari kegembiraan dan pujian mereka ucapan mereka di ayat 38: “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi!” Jadi, siapakah di antara kita yang tidak bergembira kalau ada kedamaian? Siapakah yang tidak senang kalau kita kedatangan “tokoh besar” yang membawa berita sukacita?

Sayang sekali, tidak semua orang pada waktu itu senang dengan kedatangan Yesus. Orang-orang Farisi meminta Yesus untuk menegor murid-murid-Nya yang memuji Dia (ay. 39). Sebenarnya, melalui permintaan ini orang-orang Farisi tersebut hendak menegaskan kepada Yesus bahwa mereka tidak setuju dan tidak senang kalau Yesus disambut dengan segala penghormatan, pengakuan, dan pujian seperti yang dilakukan oleh para murid tersebut. Merekalah (orang-orang Farisi) yang seharusnya mendapatkan penghormatan dan pujian itu, bukan Yesus. Namun, di ayat 40 dengan tegas Yesus “menolak” permintaan mereka tersebut, dengan berkata: “Jika mereka (para murid) ini diam (seperti kamu, orang-orang Farisi), maka batu ini akan berteriak (untuk memuji Allah)”. Jadi, jauh lebih baik membiarkan mereka berteriak kalau untuk memuji Allah, daripada tampil “sok suci, sok alim, sok pietis” namun tidak mampu menggunakan hidupnya untuk menghormati dan memuji Allah dengan benar. Kalau membaca teks sebelum nas khotbah hari ini (Luk. 19:11-27), maka nampaknya tepatlah perumpamaan itu bagi orang-orang Farisi, yaitu hamba yang ketiga yang tidak memanfaatkan kesempatan dan potensi yang ada untuk “menyenangkan” tuannya, akhirnya dia “gigit jari”. Itulah orang-orang Farisi, mereka-mereka yang tidak mengisi kehidupannya untuk “menyenangkan” Tuhan, orang-orang yang tidak mengembangkan potensi yang ada untuk kemuliaan Tuhan, biasanya “sedih” atau “afökhö dödöra” kalau melihat orang lain berbuat sesuatu yang baik yang tidak bisa mereka lakukan. Akibatnya memang penghakiman, dan itulah yang terungkap di seluruh pasal 19, kehancuran di kota monumental mereka, Yerusalem (Luk. 19:41-44).

Hari ini adalah minggu palmarum, minggu dimana kita mengingat kembali peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem ketika Dia dielu-elukan oleh orang banyak sambil membawa daun-daun palem (lih. Yoh. 12:13). Peristiwa ini pada satu sisi menunjukkan ekspektasi orang banyak akan “pemerintahan” baru yang dipimpin oleh Raja Yesus, namun di sisi lain peristiwa ini merupakan persiapan menjelang penangkapan, penyiksaan, dan penyaliban Yesus. Yesus memang Raja, bahkan Raja Agung, namun tidak seperti harapan orang banyak yang sudah sangat lama menanti-nantikan datangnya raja yang membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Yesus adalah Raja Agung yang harus menderita, disalibkan, mati dan dikuburkan, dan justru di sinilah terletak kunci kemenangan dan kemuliaan itu.

Namun, minggu ini tidak sekadar peringatan akan peristiwa itu. Kita diajak untuk merenungkan bagaimana Yesus sesungguhnya adalah Raja Agung, Tuhan Pemilik kehidupan kita, sangat layak mendapatkan kehormatan, kemuliaan dan pujian, sebab penderitaan yang dialami-Nya adalah untuk kepentingan kita umat manusia. Jadi, sudah seharusnya kita mengarahkan segala puji-pujian bahkan kehidupan kita untuk kemuliaan Sang Raja dan Tuhan kita yang Agung itu.

Bagi orang percaya, kedatangan Yesus, secara khusus pada masa-masa penderitaan-Nya itu, sesungguhnya menjadi pengharapan akan datangnya kemenangan dan kemuliaan Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Atas dasar itulah orang percaya seharusnya menyambut kedatangan Tuhan itu dengan sukacita dan pujian bagi Allah. Sebaliknya, bagi mereka yang masuk dalam kelompok orang-orang Farisi, berita sukacita itu tersembunyi bagi mata mereka, tampil seperti orang yang mengerti namun sesungguhnya tidak mampu memahami dan menyelami makna penderitaan Tuhan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, sebagai orang percaya, marilah kita mengarahkan seluruh kehidupan kita menyambut dan memuji Tuhan Allah kita yang datang dalam kerendahan hati sekaligus membawa kedamaian, kemenangan, dan kemuliaan. “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan” (Luk. 19:38a). Diberkatilah mereka yang menyambut Raja yang datang dalam nama Tuhan itu!


[1] Khotbah Minggu, 20/03/2016, di BNKP Jemaat Hebron, Lölömoyo

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...