Khotbah Minggu, 13 Agustus 2017
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]
Bagaimana perasaan Bapak/Ibu/Sdr kalau sudah melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup ini, berupaya menolong orang lain atau berbuat kebajikan bagi orang banyak tetapi tidak diresponi dengan baik, tidak dihargai, kita dicemooh (ah, pencitraan, tebar pesona, cari muka, dll), dan bahkan mendapat ancaman pembunuhan? Adakah yang merasa senang dengan situasi seperti itu? Tidak bukan? Situasi seperti itu tentu amat menyakitkan, amat mengecewakan.
Perasaan yang amat menyakitkan dan mengecewakan itulah juga yang dialami oleh nabi Elia pada zamannya. Sebenarnya, Elia sudah berjuang melawan pengaruh allah-allah lain di Israel, dalam hal ini pengaruh baal dan nabi-nabinya. Tanpa kenal lelah dia berusaha menyadarkan raja Ahab dan bangsa Israel untuk segera kembali kepada TUHAN Allah, dan itulah sebabnya dia “bertarung habis-habisan” melawan nabi-nabi baal tersebut di gunung Karmel, dan dia berhasil mengalahkan dan menghukum mereka (lih. 1 Raj. 18:20-40). Tetapi usaha, perjuangan, pertarungan, hingga keberhasilan nabi Elia melawan nabi-nabi baal ini tidak mendatangkan sukacita bagi dirinya; sebaliknya dia merasa sakit hati, kecewa, putus asa, depresi, dan bahkan meminta TUHAN untuk segera mencabut nyawanya (ay. 4b). Mengapa?
Pertama, nabi Elia merasa sudah bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN (ay. 10a) dengan harapan bahwa raja Ahab beserta rakyat Israel kembali ke jalan yang benar dengan menyembah TUHAN dan meninggalkan baal-baal asing itu. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, raja Ahab dan bangsa Israel tidak mau bertobat dan tidak mau berbalik kepada TUHAN, walaupun mereka sudah melihat sendiri kehebatan TUHAN dalam mengalahkan kekuasaan baal-baal tersebut. Dengan penuh kekecewaan nabi Elia mengekspresikan situasi terakhir di Israel, yaitu bahwa mereka justru meninggalkan perjanjian dengan TUHAN, meruntuhkan mezbah-mezbah TUHAN, dan membunuh nabi-nabi TUHAN (ay. 10b). Jadi, walaupun tadi nabi Elia berhasil mengalahkan dan menyingkirkan nabi-nabi baal, tetapi dia merasa gagal karena hal itu tidak membuat raja Ahab dan bangsa Israel kembali ke jalan TUHAN. Itulah sebabnya dia amat kecewa, dan tidak bangga dengan usaha dan keberhasilannya mengalahkan nabi-nabi baal itu. Targetnya bukan sekadar mengalahkan nabi-nabi baal, melainkan membawa kembali raja Ahab dan bangsa Israel ke jalan yang benar, dan itu yang tidak tercapai, sehingga dia kecewa sekali. Kita pun akan sangat kecewa ketika usaha dan perjuangan kita tidak mencapai hasil atau target seperti yang kita harapkan, apalagi kalau orang lain tidak mengapresiasi sedikitpun usaha kita tersebut.
Kedua, ketidakmauan bangsa Israel kembali ke jalan yang benar, dan malah semakin terus meninggalkan TUHAN serta meruntuhkan mezbah-mezbah-Nya, menjadi beban dan pergumulan berat bagi nabi Elia. Dia amat prihatin dengan situasi di sekitarnya, amat sedih melihat kebobrokan bangsanya. Keprihatinan dan kesedihan ini semakin terasa ketika bangsa Israel tidak juga kembali kepada TUHAN sekalipun nabi Elia sudah berupaya keras mengajak mereka kembali menyembah TUHAN saja. Siapakah yang tidak terbeban dan bergumul dengan situasi seperti ini? Siapakah di antara kita yang tidak merasa prihatin ketika melihat situasi di sekitar kita amat bobrok? Siapakah yang tidak sedih ketika melihat masih banyak masyarakat kita yang sepertinya religius tetapi sesungguhnya suka memangsa sesamanya? Siapakah yang tidak kecewa ketika orang-orang baik disingkirkan sementara orang-orang jahat, para mafia, para koruptor semakin menjamur dan menggila? Ya, kita memang pantas kecewa, sedih, prihatin dan bergumul! Kadang-kadang situasi seperti ini membuat kita pesimis, patah semangat, menyerah, dan merasa tidak ada gunanya berbuat dan bekerja demi kebaikan lagi. Namun, sesungguhnya tanggung jawab kita adalah melakukan tugas yang telah dipercayakan TUHAN bagi kita masing-masing dengan benar, baik dan tulus, dan apabila orang lain tetap menunjukkan ketidaksetiaan mereka pada TUHAN, atau mereka malah tidak peduli dengan kebaikan, maka biarlah TUHAN yang mengurus apa yang tidak bisa kita urus itu lagi. Apakah kita harus berhenti melangkah maju dan tidak mau lagi melakukan yang terbaik hanya karena kita melihat orang lain tidak sungguh-sungguh dan bahkan semakin bobrok? Apakah kita harus berhenti melakukan tugas dan tanggung jawab kita (seperti Elia) hanya karena orang lain tidak peduli bahkan tidak meresponinya dengan baik? Tentu tidak bukan? Kita tetap harus semangat menekuni apa yang manjadi tugas dan tanggung jawab kita masing-masing.
Ketiga, ancaman serius yang dialami oleh nabi Elia, terutama ancaman dari istri raja Ahab, yaitu Izebel. Dalam situasi seperti ini, nabi Elia merasa sendirian dan amat takut sehingga dia melarikan diri, dan pelariannya itu pun tidak menyelesaikan persoalannya, malah seterusnya dia meminta TUHAN segera mencabut nyawanya (ay. 3-4). Memang, orang yang merasa sendirian, terancam atau takut, tidak dapat melihat dengan baik dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, dia hanya melihat bahwa dunia ini sudah gelap, tidak ada lagi jalan keluar, maka “mati” adalah jalan terbaik. Itulah yang terjadi dengan Elia, sehingga dia mau mati saja dan tidak meneruskan lagi perjalanan dan pekerjaannya bagi TUHAN. Tetapi, apakah nabi Elia memang hanya sendiri saja? Tidak! Di ayat 18 TUHAN berkata: “Tetapi Aku akan meninggalkan tujuh ribu orang di Israel, yakni semua orang yang tidak sujud menyembah Baal dan yang mulutnya tidak mencium dia.” Ternyata, TUHAN selalu melakukan sesuatu yang jauh melampaui perkiraan manusia, Elia merasa tinggal 1 orang yang percaya kepada TUHAN, tetapi TUHAN menunjukkan kepadanya bahwa masih ada 7000 lagi yang setia kepada-Nya.
Saya yakin bahwa kita pernah mengalami dan menghadapi berbagai persoalan, bahkan mungkin saat ini ada di antara kita yang memiliki pergumulan. Ada pergumulan seputar pekerjaan (relasi, tekanan kerja, tekanan atasan, dll), pergumulan di bidang usaha (bisnis), pergumulan studi, pergumulan keluarga, pergumulan finansial, sakit-penyakit, masa depan, dll. Dalam situasi yang sulit itu, ketika kita terjepit dari berbagai arah, apa pun bisa kita lakukan. Saya teringat kisah Daud ketika dia dikejar-kejar dan akan dibunuh oleh raja Saul; Daud melarikan diri ke mana-mana hingga dia tiba di negeri orang Filistin, musuh bebuyutan bangsa Israel (lih. 1 Sam. 21:1-15). Tetapi ternyata ada juga orang Filistin yang mengenal Daud sebagai orang yang dulu pernah mengalahkan dan membunuh Goliat, raksasa Filistin itu. Nah, Daud merasa terjepit, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Maka, dalam upaya menyelamatkan dirinya sendiri yang berada dalam kondisi terjepit seperti itu, Daud pun kehilangan akal sehat. Tekanan hidup yang luar biasa telah “menghilangkan” akal sehatnya, sehingga tanpa takut dia membohongi Ahimelekh, Imam Allah, bahkan di Bait Allah, demi mendapatkan makanan (roti) dan alat perang (pedang); Daud juga tanpa malu harus berpura-pura gila di hadapan raja Akhis, raja orang Filistin dan pegawai-pegawainya, sehingga orang-orang Filistin itu tidak menangkap dan membunuhnya, karena beranggapan dia orang gila.
Kita pun bisa saja melakukan tindakan “bodoh” ketika berada dalam situasi nabi Elia atau pun Daud tadi. Jangankan pura-pura gila (seperti Daud), gila benaran pun bisa saja terjadi; jangankan meminta TUHAN mencabut nyawa kita, bunuh diri pun sudah banyak terjadi. Dalam keadaan tertekan, kita kemungkinan mau melakukan apa pun, bahkan sekalipun hal itu salah. Dalam keadaan darurat, segala kemungkinan bisa saja kita lakukan, sekalipun mungkin membahayakan diri kita sendiri. Ketika kita diperhadapkan pada situasi yang sulit, bukan tidak mungkin kita bisa kehilangan pegangan dan harapan. Dalam situasi dan kondisi penyakit yang tidak menentu misalnya, kita bisa saja “kecewa” dengan Tuhan, dan mungkin berkata: “apa lagi Tuhan yang Engkau inginkan dariku? Katanya Engkau adalah Allah yang dahsyat, sumber mukjizat, tapi mana ….???”. Bukan tidak mungkin kita bisa saja alergi dengan hal-hal yang rohani, tidak mau didoakan lagi, selain karena kecewa pada Tuhan, juga karena takut mati (doa bisa mempercepat kematian??!!). Di bawah tekanan, di bawah ancaman, di dalam kesulitan, di dalam penderitaan, di dalam kesesakan, di dalam kekecewaan (patah hati), di dalam kebingungan, dan dalam situasi yang tidak menentu, kita bisa saja menghalalkan segala cara, berbohong, pura-pura gila, tidak mau makan, berontak, pesimis, bahkan menghujat Tuhan.
Marilah kita berefleksi sejenak, mengoreksi kembali hati, pikiran dan penglihatan kita. Sebenarnya, bukan “masalah” kecil atau besar yang sering membuat kita jatuh, tetapi “cara kita melihat dan menghadapinya” yang kurang tepat. Masalah yang kecil dapat membuat kita gagal apabila kita hanya fokus pada masalah itu dan cenderung membesar-besarkan masalah yang tadinya kecil itu, apalagi kalau masalahnya memang besar dan berat. Masalah yang besar dan berat juga, akan terasa tidak ada apa-apanya apabila kita fokus pada cara mengatasinya, apalagi kalau terus bersandar pada Tuhan yang selalu hadir dan menyertai kita. Ketika kita sedang “gegana” (gelisah, galau, merana), seperti yang dialami nabi Elia tadi, maka kita jangan menghabiskan tenaga dan pikiran untuk hal-hal yang tidak berguna hanya karena panik, takut dan putus asa. Firman Tuhan pada hari ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah tetap peduli, dengan cara:
(1) Menyediakan makanan, menguatkan secara fisik (ay. 5b-6, 7-8);
(2) Meneguhkan hati orang-orang yang setia kepada-Nya, dengan menyatakan kehadiran dan penyertaan-Nya dalam situasi sulit yang tengah dihadapi (ay. 11-13a, 18);
(3) Memberitahukan arah perjalaan yang harus ditempuh (ay. 15).
Bacalah Roma 8:35, 38-39 Ã tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?