Saturday, April 25, 2020

Pergumulan di Saat-saat Sulit (1 Samuel 21:1-15)

Refleksi yang disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo

1   Sampailah Daud ke Nob kepada Ahimelekh, imam itu. Dengan gemetar Ahimelekh pergi menemui Daud dan berkata kepadanya: “Mengapa engkau seorang diri dan tidak ada orang bersama-sama dengan engkau?”
2   Jawab Daud kepada imam Ahimelekh: Raja menugaskan sesuatu kepadaku, katanya kepadaku: Siapapun juga tidak boleh mengetahui sesuatu dari hal yang kusuruh kepadamu dan yang kutugaskan kepadamu ini. Sebab itu orang-orangku telah kusuruh pergi ke suatu tempat.
3    Maka sekarang, apa yang ada padamu? Berikanlah kepadaku lima roti atau apapun yang ada.”
4    Lalu jawab imam itu kepada Daud: “Tidak ada roti biasa padaku, hanya roti kudus yang ada; asal saja orang-orangmu itu menjaga diri terhadap perempuan.”
5   Daud menjawab imam itu, katanya kepadanya: “Memang, kami tidak diperbolehkan bergaul dengan perempuan, seperti sediakala apabila aku maju berperang. Tubuh orang-orangku itu tahir, sekalipun pada perjalanan biasa, apalagi pada hari ini, masing-masing mereka tahir tubuhnya.
6   Lalu imam itu memberikan kepadanya roti kudus itu, karena tidak ada roti di sana kecuali roti sajian; roti itu biasa diangkat orang dari hadapan TUHAN, supaya pada hari roti itu diambil, ditaruh lagi roti baru.
7   Maka pada hari itu juga ada di sana salah seorang pegawai Saul, yang dikhususkan melayani TUHAN; namanya Doeg, seorang Edom, pengawas atas gembala-gembala Saul.
Berkatalah Daud kepada Ahimelekh: “Tidak adakah padamu di sini tombak atau pedang? Sebab baik pedangku maupun senjataku, tidak dapat kubawa, karena perintah raja itu mendesak.
9    Kemudian berkatalah imam itu: “Pedang Goliat, orang Filistin, yang kaupukul kalah di Lembah Tarbantin, itulah yang ada di sini, terbungkus dalam kain di belakang efod itu. Jika engkau hendak mengambilnya, ambillah; yang lain tidak ada, hanya ini.” Kata Daud: “Tidak ada yang seperti itu; berikanlah itu kepadaku.”
10  Kemudian bersiaplah Daud dan larilah ia pada hari itu juga dari Saul; sampailah ia kepada Akhis, raja kota Gat.
11  Pegawai-pegawai Akhis berkata kepada tuannya: “Bukankah ini Daud raja negeri itu? Bukankah tentang dia orang-orang menyanyi berbalas-balasan sambil menari-nari, demikian: Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa?”
12  Daud memperhatikan perkataan itu, dan dia menjadi takut sekali kepada Akhis, raja kota Gat itu.
13 Sebab itu ia berlaku seperti orang yang sakit ingatan di depan mata mereka dan berbuat pura-pura gila di dekat mereka; ia menggores-gores pintu gerbang dan membiarkan ludahnya meleleh ke janggutnya.
14 Lalu berkatalah Akhis kepada para pegawainya: “Tidakkah kamu lihat, bahwa orang itu gila? Mengapa kamu membawa dia kepadaku?
15 Kekurangan orang gilakah aku, maka kamu bawa orang ini kepadaku supaya ia menunjukkan gilanya dekat aku? Patutkah orang yang demikian masuk ke rumahku?”


Kisah ini berkaitan dengan hubungan raja Saul dengan Daud yang semakin memburuk. Setelah Saul ditolak sebagai raja oleh TUHAN karena ketidaktaatannya pada perintah TUHAN, maka sejak itulah Saul dihinggapi oleh roh jahat yang daripada TUHAN, artinya roh jahat itu dibiarkan oleh TUHAN untuk mengganggu Saul. Untuk menenangkan roh jahat tersebut maka dipanggillah Daud untuk memainkan kecapi, dan hasilnya  memuaskan, sehingga raja Saul pun sangat mengasihi Daud. Dalam dunia konseling, apa yang dilakukan oleh Daud ini dapat dikategorikan sebagai “terapi musik”, suatu cara untuk membantu orang-orang yang bermasalah dengan menggunakan media musik.

Ketika Daud mengalahkan Goliat, bangsa Filistin itu, raja Saul pun bersukacita dan bahkan rela memberikan anaknya perempuan menjadi isteri Daud, yaitu Mikhal, sebagai hadiah atas kemenangan Daud itu. Tetapi, masalah mulai muncul ketika perempuan-perempuan dari segala kota Israel menari dan menyanyikan lagu kemenangan sebagai berikut: “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” (1 Sam. 18:7). Nyanyian kemenangan sebenarnya sangat politis, dan hal ini melahirkan kecemburuanbahkan kekuatiran di hati Saul, dan berubah menjadi amarah dan kedengkian yang luar biasa kepada Daud (1 Sam. 18:8-9). Lalu Saul melampiaskan kecemburuan, kekuatiran, amarah dan kedengkiannya ini dengan berupaya membunuh Daud, dan dia telah mencoba beberapa kali, tetapi tidak pernah berhasil. Setelah Daud mengetahui bahwa Saul sudah memutuskan untuk membunuhnya maka Daud pun melarikan diri untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman pembunuhan raja Saul. Nas renungan hari ini merupakan saat-saat awal di mana Daud menjadi buronan atau DPO (Daftar Pencarian Orang) raja Saul.

Pelarian Daud tentu sangat menyakitkan. Dia melarikan diri karena hendak dibunuh tanpa alasan yang jelas. Dia harus melarikan diri walaupun tidak bersalah kepada raja Saul. Orang yang tadinya berjasa bagi bangsa Israel kini harus melarikan diri dari ancaman pembunuhan Saul yang adalah ayah mertuanya sendiri. Orang yang tadinya menjadi pahlawan bagi Saul sendiri dan bangsa Israel kini menjadi buronan pemerintah, dalam hal ini raja Saul. Akibatnya, Daud pun harus berpisah dari isterinya; dia harus meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai raja Saul; dia harus berpisah dari sahabat karibnya Yonatan; dia harus meninggalkan ayah dan saudara-saudaranya; dia harus meninggalkan kambing domba yang biasa dia gembalakan; dia harus meninggalkan kampung halamannya dan semua orang yang dikasihi maupun yang mengasihi dia. Sangat menyakitkan, apalagi kepergiannya, perpisahan itu karena keterpaksaan “diusir dengan paksa, diusir tanpa alasan yang jelas”. Betapa menyakitkan!

Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan-perasaan Daud pada waktu itu; dia pasti tertekan, stress dan bisa jadi depresi. Maka, dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam kondisi yang terjepit, Daud pun kehilangan akal sehat. Tekanan hidup yang luar biasa telah “menghilangkan” akal sehatnya, sehingga tanpa takut dia membohongi Ahimelekh, Imam Allah, bahkan di Bait Allah, demi mendapatkan makanan (roti) dan alat perang (pedang); dia juga tanpa malu harus berpuran-pura gila di hadapan raja Akhis, raja orang Filistin dan pegawai-pegawainya, yang sebelumnya pernah dia taklukkan melalui kemenangan atas Goliat. Bahkan di ayat 12 digambarkan bagaimana situasi perasaan Daud pada waktu itu: “… dia menjadi takut sekali …”Tadinya Daud termasuk orang yang sangat jujur, tetapi kini terpaksa berbohong hanya demi makanan dan pedang. Tadinya dia termasuk orang yang sangat percaya dan mengandalkan TUHAN, tetapi kini dia mencari keselamatan dengan cara sendiri, yaitu mengandalkan pedang mantan musuhnya “Goliat”, bahkan mencari perlindungan ke negeri musuhnya itu, bangsa Filistin yang menyembah ilah-ilah lain. Semua ini terjadi pada Daud karena tekanan hidup yang hebat; tinggal di negeri sendiri bahaya mengancam; lari ke negeri orang lain ancaman datang. Pada saat-saat dan situasi yang sangat sulit inilah Daud bergumul luar biasa. Pergumulannya itu terungkap dalam nyanyiannya di Mazmur 56 dan Mazmur 34. Dalam nyanyiannya itu dia menggambarkan dirinya sebagai orang yang diinjak-injak, terimpit, tertindas, gentar, takut, patah hati, sangat malang, dlsbg. Pada akhirnya, sebagaimana terungkap dalam Mazmur 56 dan 34 itu, Daud menyadari bahwa ternyata dia sudah salah arah, dia sudah kehilangan pegangan dan kehilangan harapan (hopeless and helpless); dia sudah lari ke tempat atau ke negeri yang salah dan buruk, dia sadar betapa rapuhnya dirinya sebagai manusia. Dan melalui pengalaman buruk ini, pengalaman yang menyedihkan dan menyakitkan itu, dia belajar dan mengakui bahwa rupanya “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mzm. 34:19). Tidak dipugkiri bahwa “kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu” (Mzm. 34:20).

Saat ini kita berada pada masa-masa sulit: yang tadinya bebas pergi ke mana-mana, sekarang harus tetap tinggal di rumah – belajar dari rumah – bekerja dari rumah, demi “menyelamatkan” diri dari serangan makhluk super kecil, sang virus corona (Covid-19). Negara-negara yang tadinya begitu besar, spt Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Rusia, China, termasuk negara yang sedang berkembang menjadi besar Indonesia, tidak berdaya menghadapi virus yang ukurannya sangat kecil ini. Negara-negara mengunci diri (lockdown), bangsa-bangsa menjerit ketakutan, Indonesia melarang mudik, pelayaran dan penerbangan dihentikan. Betapa menyedihkannya situasi kita saat ini, begitu rapuhnya kehidupan kita sebagai manusia.

Kita yang tadinya selalu bersalaman, sebagian malah cipika-cipiki, sekarang harus jaga jarak, aturannya 1-2 meter, jangan dulu bersalaman, sampai ada sapaan “salam Corona” sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Betapa virus ini telah menggoncang segala kebiasaan kita, menggoncang “kedekatan” dan interaksi kita satu terhadap yang lain, dan ini berat sekali.

Pada masa-masa pandemi Covid-19 ini, banyak orang yang – entah disadari atau tidak – sebenarnya sedang mengalami “gangguan” emosional. Lihatlah di medsos, betapa banyak orang yang begitu cepat reaktif terhadap informasi atau postingan sesamanya yang belum tentu ditujukan kepadanya, kita menjadi sangat reaktif. Lihatlah dunia maya kita (medsos), betapa banyak orang yang dari hari ke hari memosting hal-hal yang tidak penting, bahkan cenderung provokatif. Lihatlah, betapa para “penjaga moral” kehidupan jemaat (terutama rohaniawan) malah menyuguhkan kita sikap, perbuatan, dan perkataan yang kurang santun, mereka mempertontonkan tingkah yang kekanak-kanakan. Lihat, betapa situasi sulit ini telah membuat kecerdasan emosi dan spiritual kita tergoncang sedemikian rupa.
Bagi para pasien, yang tadinya sehat kini harus terbaring di RS karena penyakit; yang tadinya datang ke RS hanya untuk chek-up biasa tetapi kini atas anjuran dokter harus menjalani perawatan; yang tadinya merawat pasien, tetapi kini dapat giliran dirawat; yang tadinya biasa mendoakan pasien, tapi kini giliran didoakan karena sakit; betapa menyedihkan harus terpisah dari keluarga, dari orangtua, dari anak-anak, dari pekerjaan, dari kegiatan sehari-hari, karena harus menjalani perawatan, mungkin tiga hari, satu minggu, berbulan-bulan, bahkan ada yang justru pulang ke rumah Bapa.
Dalam kondisi yang kritis, dalam keadaan terjepit, secara manusiawi apa pun bisa jadi dilakukan; jangankan pura-pura gila, gila benaran pun bisa saja terjadi. Pada saat-saat pencobaan, pada saat-saat adanya tekanan, kita biasanya merindukan terjadinya hal-hal yang dahsyat atau pun mukjizat. Dalam situasi yang terjepit, kita kemungkinan mau melakukan apa pun, bahkan sekalipun hal itu salah. Dalam keadaan darurat, segala kemungkinan bisa saja kita lakukan, sekalipun mungkin membahayakan diri kita sendiri. Ketika kita diperhadapkan pada situasi yang sulit, bukan tidak mungkin kita bisa kehilangan pegangan dan harapan. Dalam situasi dan kondisi penyakit yang tidak menentu, kita bisa saja “kecewa” dengan Tuhan, dan mungkin berkata: “apa lagi Tuhan yang Engkau inginkan dariku? Katanya Engkau adalah Allah yang dahsyat, sumber mukjizat, tapi mana ….???”. Bukan tidak mungkin kita bisa saja alergi dengan hal-hal yang berbaur rohani, tidak mau didoakan lagi, selain karena kecewa pada Tuhan, juga karena takut mati (doa bisa mempercepat kematian??!!).

Di bawah tekanan, di bawah ancaman, di dalam kesulitan, di dalam penderitaan, di dalam kesesakan, di dalam kekecewaan (patah hati), di dalam kebingungan, dan dalam situasi yang tidak menentu, kita bisa saja menghalalkan segala cara, berbohong, pura-pura gila, tidak mau makan, berontak, pesimis, bahkan menghujat Tuhan pun bisa saja terjadi. Jangankan kita sekarang ini, Daud saja mengalami pergumulan yang luar biasa itu. Tetapi kita melihat, bahwa dalam “kebohongan” dan “kegilaan yang dibuat-buatnya” itu, ternyata TUHAN Allah bisa berkarya, sekali pun secara Alkitabiah apa yang dia lakukan itu tidak dibenarkan. Yang mau ditekankan di sini ialah bahwa seburuk dan separah apapun kondisi dan situasi kita saat ini, Tuhan pasti mampu berkarya; dan melalui pengalaman hidup yang pahit itu kita belajar bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan orang-orang yang takut akan Dia. Belajar kehidupan berarti ingin diajar, dibentuk dan dibimbing oleh Tuhan dalam menjalani manis-pahitnya kehidupan ini. Tuhan pasti membuka jalan terbaik bagi kita. “KUTAHU TUHAN PASTI BUKA JALAN”.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...