Bahan Khotbah Jumat Agung, 02 April 2021
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo
44 Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga,
45 sebab matahari tidak bersinar. Dan tabir Bait Suci terbelah dua.
46 Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya.
47 Ketika kepala pasukan melihat apa yang terjadi, ia memuliakan Allah, katanya: “Sungguh, orang ini adalah orang benar!”
48 Dan sesudah seluruh orang banyak, yang datang berkerumun di situ untuk tontonan itu, melihat apa yang terjadi itu, pulanglah mereka sambil memukul-mukul diri.
Kalau kita membaca keseluruhan pasal 23 ini, secara khusus ayat-ayat sebelum teks khotbah pada hari ini, maka kita akan melihat dengan jelas tuduhan dan fitnah, serta penghinaan dan olok-olok yang ditujukan kepada Yesus. Yesus dituduh dan difitnah sedemikian rupa oleh orang-orang Yahudi (imam-imam kepala, pemimpin-pemimpin, dan rakyat) supaya Dia dihukum mati. Yesus juga menjadi bulan-bulanan Pilatus dan Herodes, walaupun pada awalnya Pilatus terlihat bersikap adil. Yesus pun disiksa, bahkan ketika berada di kayu salib pun, hinaan dan olok-olok masih terdengar. Tetapi, kemudian, penderitaan dan penghinaan Yesus ini berubah menjadi sesuatu yang secara alami tidak mungkin terjadi, dan kematian-Nya pun menjadi tanda kemuliaan Allah.
Tanda-tanda yang tak Terlupakan
Kematian Yesus berbeda dengan kematian para nabi terdahulu.
Pertama, matahari berhenti bersinar dan ada kegelapan. Lukas mengatakan seluruh daerah itu menjadi gelap, yang bisa berarti di mana-mana di Israel atau hanya tanah di dekat Yerusalem. Kegelapan pasti berpusat pada peristiwa yang terjadi di Kalvari. Peristiwa kematian Yesus terjadi menjelang Paskah, sehingga kegelapan yang muncul itu pasti bukan merupakan gerhana, sebab Paskah terjadi pada bulan purnama ketika gerhana tidak dapat terjadi. Artinya, kegelapan ini bukanlah fenomena biasa. Itu lebih dalam, dan berlangsung berjam-jam, dari jam 12 (siang) hingga jam 3 (sore). Fenomena ini merupakan peristiwa ilahi, bukan peristiwa alam biasa. Jadi, kematian Yesus bukanlah kematian (orang) biasa, melainkan kematian yang akan memiliki dampak yang luar biasa.
Kedua, tabir (tirai) Bait Suci terbelah menjadi dua. Lukas tidak memberikan informasi yang lebih rinci tentang ini, tetapi Matius dan Markus mengatakan bahwa tabir itu terbelah dari atas ke bawah. Penghalang itu (di)hilang(kan) oleh kematian Yesus. Sebenarnya, ada tiga belas tirai berbeda di Bait Suci, dan kemungkinan tirai yang terbelah adalah yang berada di pintu masuk ke Bait Suci bagian dalam, karena itu terlihat oleh publik. Tetapi, yang lebih memungkinkan adalah tirai yang memisahkan ruang paling suci, Ruang Mahakudus. Tirai ini biasanya ditarik kembali hanya sekali setahun pada Hari Pendamaian ketika imam besar akan masuk dan mempersembahkan korban untuk dosa-dosa orang. Tetapi, sekarang tirai itu ‘ditarik’ (terbelah) sampai selama-lamanya oleh kematian Yesus.
Apa arti dari tanda-tanda kegelapan dan robeknya tirai tersebut? Paling tidak memiliki dua arti:
Kegelapan adalah tanda penghakiman. Dosa seluruh dunia dibebankan pada Yesus, dan ketidaksenangan Tuhan atas pemberontakan dan kegagalan manusia ditunjukkan dengan hilangnya cahaya matahari.[1] Saat Yesus disalibkan, Tuhan mencelupkan tanah ke dalam kegelapan sebagai tanda kemarahan-Nya terhadap dunia yang penuh dosa.
Robeknya tirai adalah tanda pengharapan. Ruang Mahakudus yang ribuan tahun tidak boleh dimasuki/dilihat oleh hampir semua orang, kini telah dibuka sampai selama-lamanya oleh kematian Yesus. Siapa pun, laki-laki dan perempuan yang berdosa, tidak lagi dihalangi dari hadirat Tuhan. Yesus menanggung dosa mereka dan jalan kembali kepada Tuhan telah terbuka bagi semua yang mengikutinya.
Robeknya tirai adalah tanda pengharapan. Ruang Mahakudus yang ribuan tahun tidak boleh dimasuki/dilihat oleh hampir semua orang, kini telah dibuka sampai selama-lamanya oleh kematian Yesus. Siapa pun, laki-laki dan perempuan yang berdosa, tidak lagi dihalangi dari hadirat Tuhan. Yesus menanggung dosa mereka dan jalan kembali kepada Tuhan telah terbuka bagi semua yang mengikutinya.
Melalui kedua tanda ini Tuhan mengirimkan pesan yang kuat. Dosa itu penting, tidak pernah dan tidak boleh diabaikan atau dikesampingkan seolah-olah tidak ada konsekuensinya. Upah dosa ialah maut (Rm. 6:23). Hukuman atas dosa harus dibayar, dan itu telah dibayar lunas oleh Yesus di kayu salib. Kini, Tuhan telah membuka ‘akses’ langsung kita kepada Bapa, semua orang percaya akan bersekutu dengan-Nya. Tuhan menyambut kita untuk berada di tempat-Nya.
Yesus Mati
Deskripsi Lukas ringkas: Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya. Yesus mengutip Mazmur 31:5, yang biasa digunakan oleh orang-orang Yahudi sebagai doa malam: “Ke dalam tangan-Mulah kuserahkan nyawaku; Engkau membebaskan aku, ya TUHAN, Allah yang setia.”
Doa seperti ini sepertinya doa yang tenang, dan tampaknya cocok untuk seseorang yang akan mati karena penyaliban, sebab dia hampir tidak dapat mengatakan apa-apa. Tetapi, Lukas menggambarkan Yesus tidak seperti orang Yahudi yang berdoa malam. Disebutkan bahwa “Yesus berseru dengan suara nyaring” (ayat 46). Seruan Yesus yang menyerahkan nyawa-Nya kepada Tuhan bukanlah erangan terakhir, melainkan teriakan pujian dan kemenangan. Dan, Yesus pun mati. Itu adalah fakta yang tak terlupakan. Yesus memegang kendali sampai akhir. Dia memang sangat menderita. Dia memang merasa Allah menjauhkan diri (Mrk. 15:34). Tetapi, Yesus dengan sukarela menyerahkan nyawa-Nya kepada Tuhan dan menghembuskan napas terakhir-Nya.
Reaksi Orang yang Menonton
Para penonton di bukit Golgota dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Kepala Pasukan (Perwira), Orang Banyak, dan Para Pengikut Yesus.
Sebenarnya, kepala pasukan Romawi tersebut telah melihat banyak orang mati dalam berbagai cara. Tetapi, dia tidak pernah melihat orang mati seperti Yesus. Dia menyaksikan dan mendengar semua yang terjadi menjelang penyaliban Yesus, dan mungkin saja dia ada di sana ketika Yesus berdiri di hadapan Pilatus. Dia telah melihat bagaimana Yesus menanggapi para penuduh-Nya, bagaimana Yesus bereaksi terhadap cambuk dan ejekan, bagaimana Yesus berbicara dengan penjahat dan menjanjikan-Nya surga, mendengar doa-Nya kepada Bapa-Nya, dan kemudian bagaimana Yesus dengan percaya diri menyerahkan hidup-Nya ke tangan Tuhan. Tidak pernah ada orang yang mati seperti ini, sampai Yesus menjalaninya. Dengan suara yang cukup keras, kepala pasukan Romawi tersebut memuliakan Allah dengan berkata: “Sungguh, orang ini adalah orang benar!” Kematian Yesus telah menjadi tanda kemuliaan Allah.
Sementara reaksi orang banyak yang melihat peristiwa kematian Yesus tersebut, yang sebelumnya mungkin saja melihat peristiwa penyiksaan-Nya, hampir sama dengan reaksi kepala pasukan tadi (ay. 48). Tindakan ‘memukul-mukul diri’ menunjukkan kesedihan dan penyesalan yang amat dalam. Tadinya mereka berteriak: “Salibkan Dia, Salibkan Dia!” Sekarang, dengan tertunduk, penuh kesedihan dan penyesalan, mereka pulang ke tempat masing-masing. Mereka baru saja menyalibkan orang yang tidak bersalah, dan membebaskan Barabas, penjahat dan pemberontak yang terkenal pada waktu itu. Kematian Yesus telah menyadarkan orang banyak akan kesalahannya. Kematian Yesus kini menjadi tanda kemuliaan Allah.
Terakhir, pada ayat 49 (satu ayat setelah teks khotbah hari ini), “semua orang yang mengenal Yesus dari dekat, termasuk perempuan-perempuan yang mengikuti Dia dari Galilea, berdiri jauh-jauh dan melihat semuanya itu.” Para pengikut Yesus amat takut, tidak berani mendekat. Menjadi pengikut orang yang disalibkan memang berisiko ditangkap dan mati juga. Kita pun mungkin akan melakukan hal yang sama. Sedih memang, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, selain menyaksikan peristiwa tersebut dari jauh, dan di kemudian hari menyebarkan kabar tentang Yesus yang disalibkan dan mati tersebut. Hingga kini, kematian Yesus telah menjadi tanda kemuliaan Allah.
--- selamat ber-Jumat Agung ---
[1] Ketika Petrus berkhotbah pada Hari Pentakosta, dia berbicara tentang hari besar Tuhan dan mengutip perkataan nabi Yoel bahwa hari itu akan didahului oleh matahari yang berubah menjadi kegelapan (Kis. 2:20; Yoel 2:2). Nabi lain seperti Amos dan Zefanya memiliki gagasan yang sama (Amos 8:9-10; Zef. 1:15). Kuasa Allah ditunjukkan dengan mematikan cahaya. Kemurkaan Tuhan terlihat seperti langit yang gelap sebelum badai melanda.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?