Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
32 Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.
33 Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah.
34 Sebab tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa
35 dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.
36 Demikian pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak penghiburan, seorang Lewi dari Siprus.
37 Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul.
Penulis kitab Kisah para Rasul ini (dan juga Injil Lukas), memberi tempat yang istimewa bagi peran Roh Kudus dalam pekabaran Injil. Walaupun minggu ini bukan minggu perayaan turunnya Kudus, tetapi teks-teks yang mendahului nas khotbah pada hari ini menyajikan peristiwa monumental tersebut beserta karya-Nya dalam diri para Rasul dan jemaat mula-mula. Dengan demikian, teks Kisah Rasul 4:32-37 masih berada dalam bingkai peran/karya Roh Kudus tersebut. Artinya, cara hidup yang dipraktikkan oleh jemaat mula-mula merupakan karya Roh Kudus dalam rangka penyebaran berita Injil keselamatan.
Jemaat mula-mula, yang diperkirakan oleh Lukas sekitar 5000 orang pada waktu itu (Kis. 4:4), dapat bertumbuh dengan cukup pesat karena cara hidup mereka yang komunalistik. Pada waktu itu, komunitas Kristen mula-mula belum dapat menikmati kebebasan yang luas untuk memberitakan Injil. Mereka malah mengalami kesulitan dan bahkan ancaman, terutama dari para pemimpin agama Yahudi (lih. Kis. 4:1-22). Dapat dibayangkan betapa mudahnya komunitas Kristen itu bubar apabila mereka tidak “sehati dan sejiwa”. Dapat juga dibayangkan betapa mudahnya mereka kehabisan daya dan dana apabila mereka tidak hidup saling berbagi. Itulah sebabnya, oleh tuntunan Roh Kudus, mereka menerapkan cara hidup komunalistik, cara hidup kelompok yang saling berbagi secara sukarela.
Beberapa orang menyamakan cara hidup seerti ini semacam “komunisme Kristen”, sebab “segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama” (4:32). Sebutan “komunisme Kristen” tersebut agaknya kurang tepat, sebab secara ideologis istilah “komunisme” amat politis, sedangkan cara hidup jemaat mula-mula tersebut lebih sebagai gerakan spiritual-keagamaan. Istilah “komunisme” juga sifatnya paksaan yang diterapkan oleh pihak yang berkuasa, sedangkan cara hidup jemaat mula-mula yang saling berbagi tersebut sifatnya sukarela dan bergerak dari bawah. Itulah sebabnya, ketika Ananias dan Safira memberikan yang mereka miliki dengan tidak tulus, justru menjadi malapetaka bagi mereka (Kis. 5:1-3). Dalam nas khotbah pada hari ini tersirat dengan jelas bahwa setiap orang memberi dengan penuh kerelaan, termasuk oleh Yusuf yang disebut Barnabas.
Para rasul pun menerima pemberian jemaat itu bukan untuk kepentingan mereka sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya. Pada satu sisi cara hidup ini mencerminkan kebersamaan (ke-sehati-an dan ke-sejiwa-an) jemaat mula-mula, tetapi pada sisi lain praktik ini juga menjadi “cara yang baik” untuk mengajak orang lain bergabung dalam komunitas mereka. Orang-orang yang melihat cara hidup seperti ini tentu saja tertarik, baik yang hidupnya sudah mapan terlebih-lebih mereka yang ‘miskin dan terpinggirkan’. Komunitas Kristen mula-mula dapat bertahan bahkan bertumbuh dengan pesat di tengah-tengah kesulitan karena kebersamaan mereka, hidup saling berbagi dalam kasih yang tulus. Alhasil, “… mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah, … tidak ada seorangpun yang berkekurangan di antara mereka” (ay. 33b-34a).
Tampaknya, kita harus mengakui bahwa sulit bagi kita untuk mempraktikkan cara hidup komunitas Kristen mula-mula tersebut. Saat ini kita sedang dikuasai oleh gaya hidup yang lebih mementingkan kenyamanan pribadi, dan kadang-kadang mengorbankan kebutuhan bersama demi kepentingan pribadi tersebut. Jangankan komunitas Kristen yang relatif “aman dan nyaman” seperti kita, komunitas Kristen yang saat ini sedang mengalami berbagai kesulitan dan ancaman di beberapa tempat, belum mampu menerapkan gaya hidup seperti jemaat mula-mula tersebut. Kita jujur saja bahwa kita belum mampu hidup saling berbagi dalam kasih yang tulus seperti jemaat mula-mula. Tentu saja situasi kita saat ini dan jemaat mula-mula amat berbeda, tetapi masih adakah semangat untuk berbagi dalam kasih yang tulus itu dalam diri kita masing-masing?
Beberapa hari yang lalu, seseorang bercerita tentang “pengorbanannya”
yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta untuk mendukung salah satu paslon
kepala daerah di Kepulauan Nias. Paslon yang didukungnya kalah, dan dia sadar
bahwa tidak mungkin lagi uangnya dikembalikan. Dukung-mendukung dalam dunia
politik seperti itu tidak salah, bukan juga dosa. Tetapi, pertanyaannya ialah
masihkah ada “kerelaan” memberikan dana sebesar itu untuk gerakan
spiritual-keagamaan?
Dalam beberapa minggu terakhir, bangsa kita mengalami berbagai musibah,
terakhir adalah badai siklon yang melanda daerah NTT-NTB. Kemudian, gempa bumi
juga menghantam daerah Malang dan sekitarnya. Apakah kita sudah menunjukkan
solidaritas kita buat saudara-saudara kita yang sedang berada dalam situasi
sulit tersebut? Atau, kita hanya berdoa saja dan berharap orang lain yang akan
menolong mereka? Ini bukan persoalan besar atau kecil, tetapi semangat untuk saling
berbagi dalam kasih yang tulus. Ironisnya, masih saja ada orang yang menghakimi
sesamanya dengan mengatakan bahwa musibah itu merupakan hukuman Allah atas
mereka. Siapakah kita sehingga berani menghakimi sesama kita? Eka Darmaputera
pernah mengatakan: “Bila orang tak lagi bisa berduka atas tragedi yang menimpa
sesamanya, dan ketika hidup-mati manusia tak lagi sentral dalam pertimbangan
kita, itu berarti ada sesuatu yang amat salah dengan peradaban kita; ada
sesuatu yang amat salah dengan kemanusiaan kita; ada sesuatu yang amat salah
dengan keyakinan agamaniah kita. Prioritas utama mengembalikan kemanusiaan
bersama kita itu. Orang bilang bahwa peradaban modern telah memampukan manusia
memiliki hampir segala sesuatu. Tapi bila yang hilang adalah kemanusiaan, apakah
gunanya semua yang ia miliki itu? Orang juga bilang bahwa agama sedang bangkit
dan naik daun, tapi kalau agama yang bangkit itu tak mampu menolong manusia
menemukan kembali kemanusiaannya, apakah gunanya agama?”
Melalui kisah cara hidup komunitas Kristen mula-mula, kita diingatkan bahwa pada satu sisi pertumbuhan jemaat terjadi karena karya Roh Kudus, tetapi pada sisi lain komunitas itu dapat bertahan dan bertumbuh karena semangat dan kebersamaan mereka untuk berbagi dalam kasih yang tulus. Itulah kunci pertumbuhan gereja, “karya Roh Kudus” dan “hidup berbagi”.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?