Rancangan Khotbah Minggu, 27 Juni 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
17 Daud menyanyikan nyanyian ratapan ini karena Saul dan Yonatan, anaknya,
18 dan ia memberi perintah untuk mengajarkan nyanyian ini kepada bani Yehuda; itu ada tertulis dalam Kitab Orang Jujur.
19 Kepermaianmu, hai Israel, mati terbunuh di bukit-bukitmu! Betapa gugur para pahlawan!
20 Janganlah kabarkan itu di Gat, janganlah beritakan itu di lorong-lorong Askelon, supaya jangan bersukacita anak-anak perempuan orang Filistin, supaya jangan beria-ria anak-anak perempuan orang-orang yang tidak bersunat!
21 Hai gunung-gunung di Gilboa! jangan ada embun, jangan ada hujan di atas kamu, hai padang-padang pembawa kematian! Sebab di sanalah perisai para pahlawan dilumuri, perisai Saul yang tidak diurapi dengan minyak.
22 Tanpa darah orang-orang yang mati terbunuh dan tanpa lemak para pahlawan panah Yonatan tidak pernah berpaling pulang, dan pedang Saul tidak kembali dengan hampa.
23 Saul dan Yonatan, orang-orang yang dicintai dan yang ramah, dalam hidup dan matinya tidak terpisah. Mereka lebih cepat dari burung rajawali, mereka lebih kuat dari singa.
24 Hai anak-anak perempuan Israel, menangislah karena Saul, yang mendandani kamu dengan pakaian mewah dari kain kirmizi, yang menyematkan perhiasan emas pada pakaianmu.
25 Betapa gugur para pahlawan di tengah-tengah pertempuran! Yonatan mati terbunuh di bukit-bukitmu.
26 Merasa susah aku karena engkau, saudaraku Yonatan, engkau sangat ramah kepadaku; bagiku cintamu lebih ajaib dari pada cinta perempuan.
27 Betapa gugur para pahlawan dan musnah senjata-senjata perang!
Kita sudah tahu bahwa hubungan antara Daud dan Saul sebenarnya tidak harmonis hingga akhir hidup Saul. Namun demikian, Daud tetap menaruh hormat kepada Saul dan menyebutnya sebagai orang yang diurapi TUHAN (bnd. 2Sam. 1:14). Pada sisi lain, hubungannya Yonatan (anak Saul) dengan Daud amatlah baik. Dalam 1 Samuel 18:1 disebutkan bahwa jiwa Yonatan berpadu dengan jiwa Daud, Yonatan mengasihi dia seperti jiwanya sendiri. Rasa hormat Daud kepada Saul sebagai orang yang diurapi TUHAN amatlah tinggi, dan kasihnya kepada sahabat dekatnya Yonatan amatlah dalam. Itulah sebabnya, Daud amatlah sedih ketika keduanya (Saul dan Yonatan) gugur dalam peperangan melawan bangsa Filistin. Dia kehilangan orang yang diurapi TUHAN dan sahabat yang amat dikasihinya.
Teks khotbah hari ini merupakan puisi kuno yang mengungkapkan kesedihan Daud yang amat dalam atas kematian Saul dan Yonatan. Daud berduka atas kematian Saul, walaupun dia mencoba membunuh Daud beberapa kali. Kehilangan orang yang diurapi TUHAN, sosok yang dipercaya sebagai pemegang mandat Allah atas umat-Nya, jauh lebih berpengaruh daripada permusuhan yang ada di antara mereka. Daud berduka atas kematian sahabatnya Yonatan, hal yang lumrah terjadi di antara sahabat. Melalui puisi atau ratapan kedukaan ini, Daud hendak menyampaikan bahwa bangsa Israel telah kehilangan sosok yang amat berpengaruh bagi mereka, Saul sebagai raja, dan Yonatan sebagai salah seorang tentara Israel yang amat disegani pada waktu itu. Daud menyebut mereka sebagai pahlawan yang gugur demi mempertahankan eksistensi dan kehormatan Israel.
Puisi ini menggambarkan kehancuran bangsa Israel yang amat tragis melalui kematian Saul dan Yonatan. Dalam ratapan ini, Daud berbicara tentang pegunungan Gilboa, anak-anak perempuan Israel, dan Yonatan. Ratapan ini juga dapat mewakili ungkapan kesedihan kita atas kehilangan teman dekat atau saudara, atau mereka yang gugur dalam peperangan, atau seorang pemimpin besar. Seringkali kita mengalami masa-masa yang penuh duka, termasuk kesedihan karena kematian banyak orang akibat Pandemi C-19.
Dalam 2 Samuel 1:19, kematian Saul diratapi sebagai tanda kekalahan Israel. Sementara pada ayat 20, Daud mengekspresikan perasaan hatinya yang hancur dan malu atas kekalahan Israel tersebut. Saul telah meninggal di Pegunungan Gilboa. Dalam ratapannya, Daud menyebut atau malah menyampaikan semacam kutukan atas pegunungan Gilboa tersebut. Daud seolah-olah mengajak seluruh alam untuk ikut dalam kesedihan atas kematian Saul (1:21). Daud meratap sambil mengisahkan kepahlawanan Saul dan Yonatan, mereka adalah pejuang yang tidak mengenal takut dan tak kenal lelah. Daud melupakan semua kepahitan yang pernah dialaminya karena permusuhannya dengan Saul. Kini, Daud justru ‘memuji’ mereka sebagai sosok yang tak tergantikan, dan kematian keduanya sesungguhnya merupakan pukulan menyakitkan bagi seluruh bangsa Israel.
Pada ayat 24, disebutkan bahwa Daud meminta secara khusus anak-anak perempua Israel untuk menangis atas kematian Saul. Para perempuan ini sepertinya merupakan kelompok peratap yang sudah umum ada di Israel pada waktu itu. Mereka memiliki semacam ‘utang’ kepada Saul, dan harus dibayarkan melalui tangisan dan ratapan mereka atas kematiannya. Bagi Daud, kematian Saul merupakan kehilangan dan kedukaan nasional.
Sementara itu, kesedihan terdalam Daud secara pribadi adalah kematian Yonatan, sahabat yang amat dikasihinya. Daud menggambarkan cinta Yonatan lebih ajaib daripada cinta perempuan. Tampaknya, hal ini ada kaitannya dengan tindakan Yonatan yang dulu “menanggalkan jubah yang dipakainya, dan memberikannya kepada Daud, juga baju perangnya, sampai pedangnya, panahnya dan ikat pinggangnya” (1Sam. 18:4). Ini simbol penyerahan takhta seorang raja, yang seharusnya diteruskan kepada Yonatan, tetapi dia rela memberikannya kepada Daud. Sungguh, betapa dalamnya cinta-kasih Yonatan kepada Daud.
Tetapi, kini telah berakhir. Sang raja, Saul, telah gugur di medan perang. Sang prajurit, sahabat yang penuh kasih, Yonatan, juga telah gugur di medan perang. Betapa gugur para pahlawan di tengah-tengah pertempuran! (ay. 25a). Betapa gugur para pahlawan dan musnah senjata-senjata perang! (ay. 27).
Gereja seharusnya dapat menjadi ‘tempat’ di mana kematian dapat dihadapi secara realistis dan kesedihan kita atas kehilangan dapat diungkapkan dengan aman. Gereja seharusnya menjadi ‘ruang’ dan ‘komunitas’ yang terbuka dan aman bagi mereka yang ingin mengekspresikan kedukaannya. The church is the community for the broken, gereja merupakan komunitas (yang bersahabat) bagi mereka yang hancur.
Masalahnya adalah dunia kita semakin kehilangan kemanusiaannya. Banyak orang yang tidak bisa lagi berduka atas tragedi yang menimpa sesamanya, apalagi yang menimpa orang-orang yang tidak disukainya. Beberapa tahun yang lalu, Eka Darmaputera (alm.) mengekspresikan kegelisahannya atas kemanusiaan kita yang semakin hilang, bahkan atas nama agama. Beliau mengatakan:
Bila orang tak lagi bisa berduka atas tragedi yang menimpa sesamanya,
dan ketika hidup-mati manusia tak lagi sentral dalam pertimbangan kita,
itu berarti ada sesuatu yang amat salah dengan peradaban kita;
Ada sesuatu yang amat salah dengan kemanusiaan kita; Ada sesuatu yang
amat salah dengan keyakinan agamaniah kita.
Prioritas utama mengembalikan kemanusiaan bersama kita itu.
Orang bilang bahwa peradaban modern telah memampukan manusia memiliki
hampir segala sesuatu. Tetapi apabila yang hilang adalah kemanusiaan,
apakah gunanya semua yang ia miliki itu? Orang juga bilang bahwa agama
sedang bangkit dan naik daun, tapi kalau agama yang bangkit itu tak
mampu menolong manusia menemukan kembali kemanusiaannya, apakah
gunanya agama?
dan ketika hidup-mati manusia tak lagi sentral dalam pertimbangan kita,
itu berarti ada sesuatu yang amat salah dengan peradaban kita;
Ada sesuatu yang amat salah dengan kemanusiaan kita; Ada sesuatu yang
amat salah dengan keyakinan agamaniah kita.
Prioritas utama mengembalikan kemanusiaan bersama kita itu.
Orang bilang bahwa peradaban modern telah memampukan manusia memiliki
hampir segala sesuatu. Tetapi apabila yang hilang adalah kemanusiaan,
apakah gunanya semua yang ia miliki itu? Orang juga bilang bahwa agama
sedang bangkit dan naik daun, tapi kalau agama yang bangkit itu tak
mampu menolong manusia menemukan kembali kemanusiaannya, apakah
gunanya agama?
Daud telah menunjukkan kemanusiaannya, baik kepada sahabatnya maupun kepada musuhnya. Dia menunjukkan itu melalui ratapan kedukaan yang mengungkapkan kesedihan yang amat dalam atas kehilangan keduanya. Pertanyaan refleksi bagi kita adalah dengan cara apa aku menunjukkan kemanusiaanku atas berbagai tragedi yang dialami oleh orang-orang di sekitarku? Saya agak kuatir, bahwa semakin sedikit orang yang memiliki kepekaan manusiawi tersebut. Ato nawögu ba wa’igi, ba hatö ya’o na me’e. Mestinya, baik dalam suka, maupun duka, kita tetap bersama.