Bahan Khotbah Minggu, 29 Agustus 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
17 Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu.
18 Maka jawab-Nya: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya,
19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal.
20 Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya,
21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan,
22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.
23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”
Teks ini merupakan respons lanjutan Yesus atas sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang memperlakukan adat istiadat manusia lebih istimewa daripada perintah Allah sendiri. Sebelumnya, Yesus berdebat dengan mereka sehubungan dengan hal membasuh tangan sebelum makan, dan beberapa tradisi lainnya juga disebut, seperti mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga (lih. Mrk. 7:1-15; bnd. Kel. 30:18; 40:31-32 // Kel. 29:4-9; 40:12-15; Imamat 8:6, 7). Bagi orang Yahudi, tradisi-tradisi tersebut merupakan tolok ukur untuk menilai kesucian atau kenajisan seseorang (ay. 3-4; bnd. Mzm. 26:6). Ketika murid-murid Yesus makan dengan tidak mencuci tangan, mereka mempersoalkannya, mereka keberatan kepada Yesus (ay. 2).
Kalau kita membaca dengan cermat respons Yesus, maka akan terlihat bahwa Dia tidak menghilangkan tradisi adat istiadat tersebut atas nama Firman Tuhan. Yesus berfokus pada kemunafikan mereka, yang seolah-olah memuliakan Tuhan (dengan melaksanakan segala tradisi itu), sementara dalam hidup sehari-hari mereka tidak taat pada perintah Tuhan. Banyak hal dalam perintah Tuhan yang mereka abaikan demi untuk memelihara tradisi adat istiadat tersebut, antara lain perihal menghormati orangtua (Mrk. 7:10-12), atau perihal keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (lih. Mat. 23:23). Sekali lagi, Yesus tidak membatalkan tradisi adat istiadat manusia tersebut, Dia hanya meluruskan pola pikir, sikap, dan cara memperlakukan tradisi tersebut supaya tidak mengalahkan ketaatan manusia atas perintah Tuhan sendiri. Yesus hendak menegaskan bahwa ukuran suci atau najis tidak ditentukan oleh ketaatan pada tradisi adat istiadat yang kelihatan itu, tetapi lebih pada isi hati manusia yang tidak kelihatan. Kesalehan manusia tidak ditentukan oleh penampakan di luar, tetapi pada isi hati yang umumnya tersembunyi bagi orang lain. Itulah sebabnya Yesus berkata: “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mrk. 7:15).
Pada teks khotbah hari ini, Yesus menjelaskan apa maksud dari perkataan-Nya itu, sebab murid-murid-Nya pun tidak dapat memahaminya (Mrk. 7:17-23). Perhatikan secara khusus perkataan Yesus di ayat 18-19: “… segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya …” Orang-orang Farisi dan ahli Taurat berfokus pada soal makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut, sementara Yesus melihat lebih pada hati manusia itu. Alasan Yesus jelas, yaitu bahwa isi hati manusialah yang lebih menentukan sikap dan perbuatan manusia, bukan apa yang masuk ke dalam perutnya. Dengan kata lain, kesucian atau kenajisan seseorang sangat ditentukan oleh kesucian atau kenajisan isi hatinya, bukan soal makanan dan seperti apa seseorang makan. Melalui perkataan ini Yesus juga, sebagaimana dicatat oleh Markus, hendak menegaskan bahwa ‘semua makanan halal’ (ay. 19b). Seseorang boleh saja mengonsumsi makanan atau minuman yang, menurut ukuran tradisi Yahudi, halal, tetapi itu tidak ada artinya kalau hatinya penuh dengan “pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (ay. 21-22). Seseorang boleh saja makan atau minum dengan cara yang, menurut ukuran Yahudi, suci (membasuh tangan), tetapi itu tidak ada artinya kalau dari dalam hatinya keluar berbagai bentuk kejahatan. Sikap sok suci tersebut merupakan sikap yang penuh dengan kemunafikan, penuh dengan kepalsuan, dan Yesus mengecamnya. Silakan saja ikuti tradisimu itu, tetapi jangan lupa untuk membersihkan hatimu.
Kalau orang-orang Yahudi dulu sibuk dengan urusan tradisi manusia, seolah-olah lebih penting daripada firman Tuhan, kita pun dewasa ini seringkali lebih banyak mengurus hal-hal yang remeh-temeh, tidak begitu penting, tidak begitu menentukan kualitas iman kita. Kita seringkali banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkan hal-hal yang sekunder, dan, entah disadari atau tidak, kita pun pada akhirnya mengabaikan atau tidak mengerjakan hal-hal yang lebih penting bagi pertumbuhan iman kita.
Namun demikian, sama seperti Yesus tadi, hal-hal di atas tidak serta merta berarti bahwa semua tradisi atau kebiasaan yang sekunder itu dihilangkan sama sekali. Yesus tidak mengarah ke situ, Dia hanya prihatin atas sikap manusia (orang-orang Yahudi dan kita sekarang) yang begitu munafik, tampil seolah-olah takut akan Tuhan, padahal sesungguhnya hati dan seluruh kehidupannya jauh dari Tuhan. Orang-orang munafik seperti ini terus bermunculan di sepanjang zaman, apalagi di Indonesia yang akhir-akhir ini tampil seolah-olah lebih saleh dari orang lain yang dianggap kafir. Banyak orang yang tampil lebih Arab dari Arab, sementara orang Kristen sendiri semakin lama lebih Yahudi dari Yahudi.
Keanehan lain adalah begitu banyaknya orang Kristen, termasuk para hamba Tuhan, yang begitu berapi-api di gereja, penampilannya tampak begitu saleh, tetapi di luar gereja, dalam kehidupannya sehari-hari di rumah, atau di tempat kerja, tidak mencerminkan sikap orang yang takut akan Tuhan.
Manusia mungkin tidak mengenal isi hati kita, tetapi sadarlah bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan, Dia mengetahui isi hati kita. Ada sebuah ungkapan klasik: “Dalamnya lautan bisa diduga, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu”. Ungkapan ini hendak menegaskan bahwa isi hati seseorang tidak ditebak dengan pasti. Namun demikian, firman Tuhan pada hari ini menyadarkan kita bahwa Tuhan tahu segalanya, Tuhan tahu apa pun yang tidak terlihat oleh mata manusia, Tuhan tahu apa pun yang tidak bisa ditebak oleh manusia, Tuhan tahu isi hati kita masing-masing.
Seseorang boleh saja tampil bermanis muka kepada orang lain, tetapi kita tidak bisa melakukan itu kepada Tuhan. Manusia boleh saja tampil menyenangkan bosnya (ABS, AIS), tetapi hal itu tidak bisa dilakukan di hadapan Tuhan. Manusia boleh saja bermain sandiwara ketika berada dalam situasi tertentu untuk menutupi kebobrokannya, tetapi ingatlah bahwa Tuhan tahu situasi yang sebenarnya. Benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, seperti dinyanyikan oleh Nicky Astria, tetapi Tuhan tahu sandiwara apa yang sedang kita lakonkan masing-masing. Penulis surat Ibrani mengingatkan kita bahwa tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (4:13).