Bahan Khotbah Sekber UEM, Minggu, 13 Februari 2022
Disusun oleh: Pdt. Alokasih Gulo
5 Beginilah firman TUHAN: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!
6 Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk.
7 Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!
8 Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
9 Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?
10 Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya." A. Pendahuluan Nabi Yeremia bernubuat di Israel Selatan (Yehuda) pada saat-saat paling kritis di negara itu. Pada masa-masa inilah terjadi peristiwa yang amat bersejarah bagi bangsa itu: Yerusalem yang di dalamnya ada Bait Allah dihancurkan, dan bangsa itu dibuang ke Babel. Ada banyak pergolakan politik di Timur Dekat dan bangsa-bangsa saling berkonflik. Sementara pengaruh Asyur berkurang, Mesir dan Babel masing-masing mencoba untuk menguasai daerah Bulan Sabit yang Subur. Itulah sebabnya terjadi banyak pertempuran sengit di wilayah ini, dan banyak kota besar yang hancur, tak terkecuali Yerusalem. Akibatnya, pada zaman nabi Yeremia ini, para pemimpin bangsa Yehuda bergantung pada skema, kesepakatan, kompromi dan aliansi dengan bangsa lain. Untuk kepentingan ini, dibutuhkan biaya yang amat besar, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan rakyat banyak hampir tidak ada. Mereka membuat kesepakatan-kesepakatan dengan berbagai pihak, terutama bangsa yang dianggap lebih kuat. Dengan kesepakatan seperti ini, mereka beranggapan bahwa masalah selesai, aman, dan bisa hidup dengan tenang. Memang, pada waktu itu raja Yosia sempat melakukan reformasi, tetapi raja-raja sesudahnya tidak meneruskan sepenuhnya reformasi tersebut.
Hal inilah yang kemudian dikecam oleh TUHAN melalui nabi Yeremia, bahwa rasa aman itu hanyalah sementara, tidak lebih sebagai rasa aman palsu. Yeremia mengingatkan bangsa itu untuk tidak menaruh pengharapan kepada bangsa lain, untuk tidak menaruh pengharapan kepada kekuatan manusia, sebab itu tidak menyelesaikan masalah. Keamanan yang diberikan oleh sesama manusia hanyalah sementara, bahkan dapat menjadi bumerang bagi mereka. Semakin bergantung kepada orang atau bangsa lain, semakin besar upeti yang harus dibayarkan, dan itu berakibat buruk bagi mereka.
B. Kutuk dan Berkat (17:5-8) Di tengah-tengah situasi yang sulit tersebut, Yeremia menegaskan bahwa hanya ada dua opsi bagi bangsa Israel, mengandalkan manusia atau mengandalkan TUHAN. Mereka yang memilih opsi pertama, mengandalkan manusia, akan terkutuk (ay. 5-6), tetapi mereka yang memilih opsi kedua, mengandalkan TUHAN, akan diberkati (ay. 7-8). Firman TUHAN yang disampaikan Yeremia pada teks ini mirip dengan Mazmur 1, yang mengucapkan berkat-berkat bagi mereka yang “kesukaannya ialah Taurat TUHAN” (Mzm. 1:2). Orang-orang seperti itu ibarat “pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mzm. 1:3). Sebaliknya, orang fasik ibarat “sekam yang ditiupkan angin” (Mzm. 1:4) sehingga mereka pun “tidak akan tahan dalam penghakiman” (Mzm. 1:5). Dengan kata lain, teks Alkitab (baik Yeremia maupun Mazmur) hendak memperlihatkan kepada kita bahwa mereka yang hidup menurut kehendak TUHAN akan diberkati, sebaliknya mereka yang hidup menurut keinginan manusia akan dikutuk.
(1) Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia (17:5-6) TUHAN Allah mengecam dan bahkan mengutuk orang yang mengandalkan manusia, mengandalkan kekuatannya sendiri, dan hatinya menjauh dari pada TUHAN. Kecaman ini tidak terlepas dari sikap dan tindakan bangsa Yehuda yang lebih cenderung membangun koalisi dengan bangsa-bangsa yang dianggap dapat melindungi mereka dari serbuan bangsa besar lainnya. Situasi politik yang tidak kondusif membuat mereka kehilangan pegangan hidup, sayangnya mereka bukan mencari perlindungan TUHAN melainkan mencari pertolongan sesama manusia. Dalam teks ini, nabi TUHAN hendak mengingatkan raja-raja Yehuda untuk berfokus pada reformasi internal mereka, kembali ke jalur yang benar, mendekatkan diri kepada TUHAN, bukan mencari perlindungan dari bangsa-bangsa lain.
Kita sering mendengar kata-kata motivasi bahwa seseorang harus berani menghadapi berbagai persoalan hidupnya, dan harus yakin bahwa dia bisa mengatasi masalah itu. Manusia harus yakin dengan potensi atau kekuatan yang dia miliki, sebab dipercaya bahwa Tuhan memberikan potensi atau kekuatan bagi setiap orang. Kata-kata motivasi ini tidak salah, tetapi dalam konteks Yehuda pada zaman nabi Yeremia, ceritanya berbeda. Manusia yang mengandalkan kekuatannya, baik kekuatan sesama maupun kekuatannya sendiri, seringkali bersikap dan bertindak arogan, dan bahkan hidup menjauh dari TUHAN. Hal inilah yang dikecam oleh TUHAN melalui nabi Yeremia, bahwa bangsa Yehuda tidak boleh mengandalkan kekuatan manusia dalam menghadapi ancaman dari bangsa-bangsa lain, tidak boleh mengandalkan kekuatan negara lain untuk melawan musuh-musuh mereka. Mengandalkan kekuatan manusia, atau mengandalkan kekuatan perlindungan dari negara lain, hanya akan mendatangkan kesulitan dan penderitaan bagi mereka. Ada harga yang harus dibayar ketika mereka meminta pertolongan dan perlindungan dari orang/bangsa lain, upeti yang besar, dan bahkan ikut menyembah ilah-ilah bangsa lain itu.
Mereka yang mengandalkan manusia dan sejenisnya, diibaratkan seperti semak bulus di padang belantara yang tidak akan mengalami datangnya keadaan baik, tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk. Tanaman ‘semak bulus’ dapat ditemukan di wilayah Timur Dekat, tetapi hampir tidak pernah menikmati baiknya kehidupan. Pada musim panas, terik matahari dapat mengubah tanah menjadi debu, akibatnya semak bulus itu menyusut layu dan kering, sehingga tidak bermanfaat sama sekali. Demikianlah gambaran bangsa Yehuda yang mengandalkan kekuatan manusia atau mengandalkan kekuatannya sendiri tetapi hidup jauh dari TUHAN. Itulah maksud dari perkataan “tidak akan mengalami datangnya keadaan baik, tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk”. Apabila bangsa itu tidak bertobat, tidak kembali ke jalan TUHAN, mereka akan bernasib seperti semak bulus, dan akan dibuang ke negeri orang, tidak menghasilkan buah yang bermanfaat, dan mereka akan diasingkan. Mereka akan tinggal di negeri padang asing yang tidak berpenghuni, yaitu tanah yang telah ditaburi dengan garam yang berlebihan sehingga berubah menjadi tanah beracun. Tinggal di tanah beracun seperti itu menggambarkan kesulitan dan penderitaan yang akan dialami oleh bangsa Yehuda kalau mereka mengandalkan kekuatan manusia. Perkataan ini juga hendak mengingatkan bangsa Yehuda akan perbudakan yang pernah dialami oleh leluhur mereka di Mesir, dan bahwa Mesir tidak mungkin memberikan perlindungan yang sejati kepada mereka. Sayang sekali, di kemudian hari, bangsa Yehuda tetap meminta pertolongan dari bangsa Mesir (lih. Yer. 42:14), dan akibatnya mereka di buang ke Babel.
(2) Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN (17:7-8) Setelah menyampaikan kecaman dan atau kutukan TUHAN atas mereka yang memohon perlindungan dari orang/bangsa lain, kini Yeremia menyampaikan berita sukacita bagi mereka yang mengandalkan TUHAN, mereka yang menaruh harapannya pada TUHAN. Tidak seperti hidup orang yang mengandalkan kekuatan manusia, mereka yang memilih percaya pada perlindungan TUHAN akan menikmati hidup yang bahagia, hidup yang penuh dengan berkat TUHAN. Mereka yang hidup menurut jalan TUHAN diibaratkan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
Pohon yang ditanam di tepi air merupakan metafora untuk kehidupan yang jauh lebih baik daripada semak bulus. Tumbuhan membutuhkan air untuk bertahan hidup, bertumbuh, dan berbuah. Pohon yang ditanam di tepi aliran air akan selalu mendapatkan persediaan air yang melimpah, tidak mengenal musim panas, tidak mengalami kekeringan. Demikianlah hidup orang yang percaya pada pertolongan dan perlindungan TUHAN, akan berakar kuat, bertumbuh, dan berbuah. Mereka tidak akan mengalami kekurangan kebutuhan, sebab TUHAN sendiri yang akan menyediakan makanan dan minuman bagi mereka hingga berkelimpahan. Ini merupakan gambaran yang kontras dengan mereka yang lebih mengandalkan kekuatan manusia tadi. Orang yang mengandalkan TUHAN dalam hidupnya, akan senantiasa mendapatkan pemeliharaan Allah, pemeliharaan yang terus menerus, pemeliharaan yang tidak perlu dibayar dengan upeti apa pun.
Mungkin saja muncul persoalan yang dapat membuat kita bingung. Dalam faktanya, banyak orang yang percaya kepada Tuhan yang justru hidup dalam kesulitan, banyak orang yang setia kepada Tuhan tetapi justru menderita. Ayub tahu itu, begitu pula Yesus. Namun demikian, orang yang percaya kepada TUHAN senantiasa mendapatkan pemeliharaan Allah, bahkan dalam kesulitasn sekalipun. Mengapa? Karena orang-orang yang percaya pada TUHAN akan berakar dalam hubungan yang baik dengan Dia, dan hubungan itu yang memampukan mereka untuk menghadapi berbagai kesulitan dan menjauhkan mereka dari keputusasaan.
C. TUHAN tahu Isi Hati Manusia (17:9-10) Kita sering mendengar ungkapan: “Dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu?” Peribahasa ini memiliki arti bahwa akan sangat sulit bagi kita untuk menduga dan memastikan pikiran dan hati seseorang. Persoalannya lagi ialah kalau hati seseorang itu penuh dengan rencana jahat, pikiran kotor, hati yang licik. Siapa yang bisa menduganya? Siapa yang mampu mengetahuinya? Itulah pertanyaan yang juga diajukan oleh Yeremia (17:9). Ini tidak terlepas dari sikap bangsa Yehuda yang tidak sesuai dengan kehendak TUHAN, hati mereka cenderung menjauh dari TUHAN. Apabila kita membaca ayat-ayat sebelumnya, maka akan terlihat betapa hati bangsa itu dipenuhi dengan penyembahan berhala (17:1-4). Allah telah menolong leluhur mereka, telah menghantarkan mereka tiba di tanah perjanjian, tetapi bangsa Yehuda justru menyimpang dengan liciknya dari jalan TUHAN.
Sepintas, orang tidak tahu kalau hati bangsa itu semakin menjauh dari TUHAN, secara formal mereka terlihat seperti orang yang masih takut akan TUHAN. Benarlah yang dikatakan Yeremia bahwa hati mereka licik, dan manusia biasa tidak mampu mengetahuinya. Namun demikian, TUHAN mengenal semuanya, tidak ada yang tersembunyi kepada-Nya. Firman TUHAN berkata: “Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya” (17:10). Dengan demikian, manusia tidak bisa bersembunyi dari hadapan TUHAN, isi hati manusia dikenal seluruhnya oleh TUHAN, tidak ada yang bisa mengelak.
Harus kita akui bahwa sulit bagi kita untuk memahami hati orang lain, karena orang menyembunyikan pikiran dan perasaannya yang terdalam untuk menunjukkan sisi terbaiknya. Jika orang lain bisa mengetahui setiap pikiran kita, hidup kita akan sangat berbeda. Lebih jauh lagi, kita sering menemukan hati kita sendiri terbagi dan membingungkan. Rasul Paulus mengaku, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat” (Roma 7:15). Kita semua mendapati diri kita terkoyak oleh nilai-nilai dan keinginan yang saling bertentangan. Jika kita kesulitan memahami hati kita sendiri, bagaimana kita bisa berharap untuk memahami hati orang lain?
Syukurlah bahwa Tuhan tidak seperti manusia yang penuh dengan keterbatasan. Kita tidak bisa menipu Tuhan, Dia tahu isi hati kita. Tuhan pernah berkata kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7). Manusia boleh saja tampil seperti orang yang percaya kepada Tuhan, atau seperti orang yang lurus hatinya, tetapi percayalah tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Tuhan. Kita mungkin saja bisa mengakali sesama, atau orang lain dapat mengakali kita, tetapi hal itu tidak bisa kita lakukan bagi Tuhan. Penulis surat Ibrani telah mengingatkan kita akan hal ini: “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (Ibr. 4:13).
D. Penutup Dalam hidup ini selalu ada pilihan, dan setiap pilihan selalu ada konsekuensinya. Firman Tuhan pada hari ini mengajarkan kita bahwa apabila bangsa Yehuda memilih jalan mereka sendiri, yakni mengandalkan kekuatan manusia, akibatnya buruk, dan itu telah terjadi ketika mereka dibuang ke Babel. Kita juga belajar bahwa apabila bangsa Yehuda taat kepada Tuhan, mengandalkan dan menaruh harapannya pada Tuhan, hidup mereka dapat berakar, bertumbuh, dan berbuah dengan baik. Pertolongan Tuhan selalu tersedia bagi mereka yang percaya kepada-Nya, dan itu yang pernah dinikmati oleh para pendahulu bangsa Yehuda sejak di Mesir hingga di tanah perjanjian.
Kita masih berada pada masa-masa sulit, pandemi covid-19 belum selesai, virus itu terus menghantui kehidupan kita. Kita memang harus taat pada prokes dan ikut program vaksinasi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam kepercayaan dan pengharapan penuh kepada Tuhan, kita menjalani kehidupan kita dengan bijak, memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada untuk menghadapi situasi sulit. Kita jangan menyerah, kita percaya bahwa Tuhan memiliki banyak cara untuk menolong dan memelihara kita. Mari memilih untuk tetap mengandalkan Tuhan.