Sunday, April 27, 2014

Dalam Kristus Kita Memiliki Pengharapan (1 Petrus 1:3-9)



Bahan Khotbah Minggu, 27 April 2014

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

1:3   Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan,
1:4   untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang tersimpan di sorga bagi kamu.
1:5   Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir.
1:6   Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.
1:7   Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu--yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api--sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.
1:8   Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan,
1:9   karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.

Menurut Psikolog Humanistik Abraham Maslow (1908-1970), ada lima tingkatan kebutuhan manusia yang memberikan dorongan/motivasi bagi dirinya untuk berusaha/bekerja/hidup:
1)      Kebutuhan fisiologis/dasar, di antaranya: rasa lapar, rasa haus, tempat berlindung, seks, dll.
2)     Kebutuhan akan rasa aman/tenteram, di antaranya: perlindungan/kebebasan dari ancaman/gangguan fisik dan emosional.
3)     Kebutuhan sosial, di antaranya: kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan untuk disayangi, kebutuhan untuk diterima, kebutuhan pertemanan, dll.
4)     Kebutuhan untuk dihargai, di antaranya: penghargaan terhadap diri, otonomi diri, prestasi, pengakuan, perhatian, dll.
5)     Kebutuhan aktualisasi diri, mis. keinginan untuk berbuat sesuatu, melakukan sesuatu, dll.

Menurutnya, manusia bekerja, manusia hidup untuk memenuhi kelima kebutuhannya ini, dan kelima hal inilah yang memberikan dorongan/motivasi bagi diri manusia itu.

Namun, kalau misalnya seseorang dapat memenuhi salah satunya, bahkan mampu memenuhi atau mendapatkan seluruh kebutuhan ini, apakah secara otomatis hal itu memberikan dia kemampuan untuk bertahan dalam situasi sulit? Bisa ya, bisa tidak! Jadi, belum tentu, tidak pasti! Dengan kata lain, kelima kebutuhan ini lebih sebagai pendorong bagi manusia untuk berbuat sesuatu dalam upayanya mencapai hal-hal yang dia inginkan, dan tidak dalam rangka bertahan dalam situasi yang tidak kondusif.

Nah, pada hari ini, Petrus mengajak kita untuk tidak sekadar termotivasi untuk memenuhi apa yang hendak kita capai atau inginkan, tetapi untuk mampu bertahan dalam situasi yang sulit, dan tidak kehilangan harapan masa kini dan masa depan, sekali pun mungkin kita dihantam oleh berbagai gelombang kesulitan hidup. Apa rahasianya? Sederhana saja, yaitu PENGHARAPAN di dalam Kristus.

Untuk menjelaskan hal PENGHARAPAN ini, Petrus terutama mengajak kita untuk menyampaikan pujian syukur kepada Allah Bapa karena dua hal istimewa. Pertama, berkaitan dengan kelahiran baru yang membawa kita kepada hidup yang penuh pengharapan oleh karena kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Artinya, kebangkitan Kristus adalah penyebab dan sumber dari kelahiran baru kita untuk kemudian menjadi umat dan keluarga Allah. Secara formal, kelahiran baru ini dirayakan dalam pesta paskah oleh gereja mula-mula. Inilah dasar dari pengharapan kita.

Petrus berbicara mengenai hidup yang penuh pengharapan ini di sepanjang suratnya (1:13, 21; 3:5, 15). Pengharapan ini mengacu kepada objek dari pengharapan itu sendiri, yaitu bagian (warisan) yang tidak dapat binasa (1:4) yang akan kita terima ketika Yesus datang kembali (1:5, 7). Kita harus hidup dalam pengharapan itu sebab Kristus sendiri adalah hidup, dan kita datang kepada kehidupan di dalam Dia.

Kedua, tentang bagian/warisan yang tidak dapat binasa, tidak dapat cemar, dan tidak dapat layu. Menurut Petrus, bagian/warisan kita ini jauh berbeda dengan semua harta duniawi yang dapat rusak; dia meyakinkan kita bahwa bagian/warisan yang kita dapatkan dalam Kristus itu sifatnya kekal, tidak tercemar/cacat (asli, bukan imitasi), dan penuh dengan kemuliaan. Mengapa? Karena semuanya itu disimpan Allah di surga, dimana ngengat dan karat tidak akan merusaknya (bnd. Mat. 6:20).

Petrus memberikan jaminan lebih lanjut bahwa dalam kehidupan ini kita dijaga melalui iman dengan kuasa Allah, sehingga kita tidak perlu takut. Hal ini tidak hanya menjadi warisan untuk masa depan kita di surga yang aman, tetapi sekarang di bumi ini kita sendiri akan terlindungi melalui iman kita dalam Kristus, dijaga, dipelihara, dan diselamatkan. Di sini Petrus mengacu pada kedatangan Kristus yang kedua kali (lih. ay. 7).

Zaman akhir mengacu pada kedatangan Kristus dan akhir dunia itu sendiri. “Akhir,” atau “terakhir,” merupakan terjemahan dari kata Yunani “eschatos”, yang darinya kita mendapatkan kata eskatologi, hal-hal terakhir yang akan terjadi ketika Kristus datang kembali. “Waktu” diterjemahkan dari kata kairos, kata yang sering berarti campur tangan Allah tepat waktu sesuai dengan rencana-Nya dan membawa keselamatan. Dalam 1 Petrus, kairosjelas memiliki makna ini (lihat 1:11; 4:17; 5:6). Alasan-alasan inilah yang seharusnya membuat kita mampu bertahan bahkan dalam situasi yang paling sulit sekalipun; tidak menyerah pada situasi sulit, sebaliknya bertahan di dalam pengharapan. Mengapa? Karena Kristus sendiri melalui kebangkitan-Nya dari antara orang mati telah mengatasi atau mengalahkan situasi yang paling sulit dalam kehidupan ini, musuh yang paling ditakuti yaitu MAUT. Dan, sekarang, kemenangan itu, kemampuan untuk bertahan bahkan mengatasi kesulitan itu diberikan juga kepada kita, kepada setiap orang yang telah dilahirkan kembali di dalam Kristus sendiri.

Petrus sekarang memperkenalkan suatu pernyataan paradoks yang mendalam, yaitu kehadiran sukacita yang luar biasa di tengah-tengah penderitaan. Pertama-tama dia mengatakan bahwa kita bersukacita dalam hidup yang penuh dengan pengharapan ini, yang adalah keselamatan kita, sekarang dan masa yang akan datang. Jadi, siapakah yang tidak akan bersukacita? Kemudian Petrus memberitahu kita bahwa sekarang kita harus siap untuk menderita melalui berbagai-bagai pencobaan, bahkan jika hanya untuk beberapa saat. Ini merupakan gema dari perkataan Paulus: “penderitaan ringan yang tidak lama” yang mempersiapkan kita untuk “kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya” (2 Kor. 4:17).

Dengan menggunakan metafora yang sering ditemukan dalam Perjanjian Lama (Ay. 23:10; Ams. 17:3; Zak. 13: 9), Petrus membandingkan pengujian iman kita dengan pemurnian emas dalam api. Struktur kalimat ini memang sulit untuk dipahami, tetapi titik perbandingan itu sangat jelas. Jika emas, benda yang paling berharga di dunia, membutuhkan pemurnian, terlebih lagi iman kita yang jauh berharga dan bermanfaat daripada emas duniawi tersebut, sehingga sangat perlu dimurnikan dalam api pengujian sehingga keasliannya semakin terlihat.

Memang, orang-orang Kristen yang sedang dihadapi oleh Petrus pada saat itu belum melihat Yesus dengan mata mereka sendiri. Walaupun demikian, ia mengingatkan mereka bahwa meskipun tidak melihat Yesus, mereka tetap mencinta-Nya; meskipun mereka tidak melihat Dia saat ini, namun mereka tetap percaya kepada-Nya. Seperti kata Yesus kepada Tomas, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya” (Yoh. 20:29). Iman dan cinta kepada Tuhan tidak tergantung pada melihat Tuhan yang bangkit dengan mata fisik kita. Melihat Tuhan Yesus dengan mata fisik pun tidak menjamin bahwa manusia yang melihat-Nya itu dapat beriman dan mencintai Dia sepenuh hati, sama seperti para pemimpin agama Yahudi, sering bertemu langsung dengan Yesus, tetapi tidak pernah beriman dan mengasihi Dia, malah mereka menyalibkan-Nya. Melihat secara fisik atau tidak melihat tidaklah terlalu penting, sebab yang terpenting adalah bahwa pada akhirnya kita dapat mencapai tujuan iman kita, yakni keselamatan jiwa kita sendiri (1:9).


[1] Bahan Khotbah Minggu, 27 April 2014, di Jemaat BNKP Gada, oleh Pdt. Alokasih Gulö

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...