Prepared and Posted by Alokasih Gulo
Program Magister Sosiologi Agama (MSA)
Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga
Latar Belakang Keluarga
Erik H. Erikson adalah psikoanalisis Amerika keturunan Jerman. Ia lahir di Frankfurt, Jerman pada tanggal 15 Juni 1902. Ayahnya adalah seorang berkebangsaan Denmark yang tidak diketahui namanya, yang meninggalkan ibunya sebelum kelahiran Erikson (Naisaban: 2004:115). Ibunya, Karla Abrahamsen adalah seorang wanita keturunan Yahudi, yang membesarkan Erikson selama tiga tahun. Ia kemudian menikah dengan Dr. Theodor Homburger. Selama masa kecilnya, orangtuanya menyimpan rahasia kelahirannya sehingga Erikson percaya bahwa ayah tirinya adalah ayah kandungnya. Di sekolah sinagoga ia diolok sebagai seorang Nordic karena memiliki rambut yang pirang dan mata yang biru, sedangkan di sekolah tata bahasa ia diolok sebagai seorang Yahudi.
Latar Belakang Pendidikan dan Perjalanan Karir
Ketika ia mulai menulis psikoanalisisnya, ia menggunakan nama marga ayah tirinya, walau kemudian ia menggunakan nama aslinya ketika menjadi warga negara Amerika Serikat pada tahun 1939. Erikson tidak menyelesaikan pendidikan SMA seperti psikoanalisis lainnya. Ia mengikuti “humanistic gymnasium” di Karlsruhe, Jerman, dan walau dia bukanlah murid yang luar biasa, namun dia sangat baik dalam sejarah dan seni.
Tak lama setelah tamat, ia bertengkar dengan ayah tirinya yang memaksa dia untuk melanjutkan pendidikannya ke kedokteran. Erikson akhirnya meninggalkan rumahnya dan berkeliling ke Eropa Tengah. Setahun kemudian, ia melamar di sekolah seni, dan walau ia ingin menjadi seorang artis, namun ia harus menerima kenyataan bahwa seorang artis perlu juga belajar latar belakang pendidikan formal. Ia kemudian tidak betah di situ dan pindah ke Munich untuk belajar di sekolah seni yang terkenal di sana, tepatnya di Akademi Dunst.
Dua tahun kemudian ia pindah ke Florence, Italia. Ia sempat berkelana ke beberapa tempat untuk menyaksikan keindahan matahari terbit, mengunjungi tempat-tempat seni dan bangunan-bangunan bersejarah. Pada tahun 1927 ia menerima undangan yang tak terduga dari Peter Blos, teman kelasnya di SMA, untuk membantu dia menjadi guru bersama Dorothy Burlingham di taman kanak-kanak Amerika di Viena. Sekolah ini dikenal sebagai “Kinderseminar”, yang didirikan oleh Anna Freud bagi anak-anak yang orangtuanya sedang belajar menjadi seorang psikoanalis. Perkenalan Erikson dengan studi psikoanalisis Freud terjadi di gunung Spa dekat Viena. Di sana ia mengenal keluarga Freud, dan ia kemudian turut terpilih sebagai salah satu calon untuk dilatih di Lembaga Psikoanalisis Viena.
Dari tahun 1927 hingga tahun 1933 Erikson menjalani latihan psikoanalisis di bawah bimbingan Anna Freud dan August Aichhrn. Latihan ini merupakan satu-satunya latihan akademis formal selain ijazah yang ia peroleh dari sekolah Maria Montessori Teachers Association di Viena. Tahun 1929, Erikson menikah dengan Joan Serson, seorang guru dan penari berkebangsaan Amerika Serikat, yang juga merupakan anggota sekolah eksperimental di bawah bimbingan Anna Freud. Tahun 1933, keluarga Erikson (termasuk kedua putranya) pindah ke Copenhagen, di mana Erikson ingin menjadi warga negara Denmark lagi yang sekaligus ingin mendirikan pusat latihan psikoanalisis di negara itu.
Ketika ia melihat bahwa usaha ini kurang praktis, Erikson dan keluarganya berimigrasi ke Amerika Serikat dan tinggal di Boston, tempat psikoanalisis yang telah didirikan setahun sebelumnya. Di sini Erikson menemukan bahwa dia adalah analis anak yang pertama di daerah itu. Dua tahun berikutnya ia berpraktik di Boston dan selama setahun ia memimpin klinik dan membuat penelitian akademis psikologi di departemen neuropsikiater dari sekolah perawat Harvard. Ia juga melamar di Universitas Harvard untuk mengambil program Ph.D, tapi ia berhenti beberapa bulan kemudian. Dari tahun 1936 sampai tahun 1939, Erikson mendapat tugas bersama Departemen Psikiatri dari Institute of Human Relation dan sekolah perawat Universitas Yale, di mana ia diberi kebebasan penuh untuk membuat penelitian apa saja yang ia inginkan. Selama periode ini ia juga tertarik pada antropologi budaya dan karena itu pada tahun 1938, ia pergi ke Pine Ridge Reservation di Dakota Selatan untuk mengamati bagaimana masyarakat Indian Sioux membesarkan anak-anak mereka.
Tahun 1939, Erikson pindah ke California di mana ia mulai lagi dengan anak-anak sejalan dengan minatnya pada antropologi dan sejarah. Tahun 1942, ia menjadi profesor psikologi pada Universitas California di Berkeley. Di lembaga yang sama, ia berpartisipasi dalam Child Guidance Study di bawah bimbingan Jean MacFarlane. Ketika Erikson bermaksud untuk menetapkan diri sebagai psikoanalis lewat buku identitas profesinya, tiba-tiba klinik itu ditutup. Hal ini terjadi karena Erikson menolak menandatangani sumpah kesetiaan. Ia kemudian memilih untuk berhenti dari situ karena ia melihat bahwa ada unsur politis di dalamnya.
Pada tahun 1950, ia mengikuti sebuah kelompok Mental Health Professionalsdi Austen Riggs Center di Stockbridge, Massachusetts, yaitu tempat pusat pemulihan bagi orang-orang muda yang terganggu mentalnya. Ia juga mengajar part time pada Western Psychiatric Institute di Pittsburgh, Universitas Pittsburgh, dan pada Massachusetts Institute of Technology. Pada musim panas tahun 1960, ia bergabung lagi dan mengajar di Universitas Harvard dan menjadi profesor perkembangan manusia. Erikson mulai mendapat perhatian publik karena tulisan-tulisannya yang ekstensif mengenai perkembangan anak, pengembangan konsep dari “krisis identitas”, dan modifikasinya serta perluasan teori Freud mengenai perkembangan psikoseksual.
Erikson’s Ego Psychology
Teori Erikson yang paling terkenal adalah Erikson’s Ego Psychology (Psikologi Ego Erikson), yaitu teori perkembangan kepribadian manusia yang mirip dengan karya Freud, namun bedanya bahwa Erikson menerapkan teori ini dalam konteks psikososial, menambah sejumlah tahapan lagi, dan menekankan faktor ego daripada id. Tahapan dimaksud bisa dijelaskan sebagai berikut (Erikson, 1993:187-284; Erikson, 1994:108-175; Chaplin, 2006:172; Gladding, 2001:61).
Tahap pertama ialah tahap sensoris oral. Tahap ini berkisar antara umur 0-1 tahun. Tahap ini disebut juga sebagai tahap kepercayaan vs tahap kecurigaan. Dalam tahap ini anak belajar mengenali kepercayaan dan ketidakpercayaan, bergantung pada perjumpaan dan pengalaman pertama-tama dengan kedua orangtuanya. Pada tahap kedua, yaitu tahap anal-muskuler (dubur-otot), berkisar 2-3 tahun, anak mempelajari perihal otonomi apabila dia berhasil dalam usahanya, atau mengalami rasa malu dan ragu-ragu apabila ia gagal. Tahap ini disebut juga tahap otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu – kemauan. Tahap lokomotor-genital merupakan tahapan ketiga, berkisar antara umur 4 tahun hingga masuk sekolah. Masalah yang dipelajari anak pada tahap ini adalah inisiatif atau rasa bersalah, makanya disebut juga tahap inisiatif vs kesalahan – tujuan. Erikson menyebut tahap ini juga sebagai tahap bermain, karena pada umur ini anak penuh dengan gerakan, tidak tenang dan selalu bergiat. Tahap keempat ialah tahap latensi, berkisar antara 6-11 tahun, disebut juga tahap kerajian vs inferioritas. Pada tahapan ini kerajinan serta rasa inferior merupakan cara-cara alternatif dari perkembangan anak. Di sini anak mulai mengontrol imajinasinya dan mulai dengan pendidikan formal. Pada masa remaja (pubertas) dan adolesensi, berkisar antara 12-20 tahun, yaitu tahapan kelima, disebut juga tahap identitas vs kekacauan identitas. Pada tahap ini seorang remaja mengenal identitasnya, sekaligus merasakan bahwa ia manusia yang unik. Ia mulai mengidentifikasikan sifat-sifat yang ada dalam dirinya, suka dan ketidaksukaannya, dan cita-cita yang ingin digapainya. Kekacauan identitas terjadi karena ada perubahan psiko-fisik pada diri remaja, dan ia dalam kebingungan karena tidak masuk lagi kelompok anak tapi belum diterima juga sebagai kelompok orang muda. Artinya pada tahap ini terjadi ketegangan yang luar biasa dalam diri seorang remaja. Tahapan keenam adalah tahapan kedewasaan muda, berkisar antara 20-24 tahun, akhir masa remaja hingga masa pemuda, masa pacaran, menikah dan awal keluarga baru. Tahap ini disebut juga tahap keintiman vs isolasi, karena pada pada masa ini seseorang mengarahkan diri pada rencana untuk memulai suatu profesi, siap secara sosial, dan siap untuk menikah. Tahap ketujuh ialah kedewasaan/pemeliharaan (adulthood), berkisar antara 25-65 tahun, disebut juga sebagai tahap generativitas vs kemacetan/stagnasi. Generatif berarti fokus pada keturunan, produk-produk, dan ide-ide. Transmisi nilai-nilai sosial diperlukan untuk memperkaya aspek psikoseksual dan aspek psikososial kepribadian. Bila generatif lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur, macet atau mengalami stagnasi. Di sini berkembang juga nilai pemeliharaan, seperti kepedulian terhadap orang lain, membesarkan anak, mengajarkan mereka, memberi contoh dan mengawasi. Tahap terakhir ialah tahap kematangan dalam kedewasaan (maturity), disebut juga tahap integritas vs keputusasaan – kebijaksanaan. Dalam tahap ini individu dapat mengintegrasikan ego dan keputusasaan dalam kebijaksanaan. Integritas adalah suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda-benda dan orang-orang, produk-produk dan ide-ide, dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan-keberhasilan dan kegagalan-kegagalan dalam hidup. Keputusasaan merupakan lawan dari integritas. Kebijaksanaan adalah jalan tengah antara integritas dan keputusasaan. Orang bijaksana dapat menyajikan kepada generasi muda suatu gaya hidup yang bercirikan suatu perasaan tentang keutuhan dan keparipurnaan.
Dalam setiap tahapan tersebut di atas selalu terdapat krisis yang harus dapat diatasi, baik secara sukses maupun lewat kegagalan. Masing-masing kejadian tersebut mengarah pada satu perjumpaan antara pribadi anak dengan tuntutan-tuntutan masyarakat. Hal yang paling penting bagi penempaan kepribadian dewasa yang sehat dan sukses adalah berhasilnya upaya memecahkan krisis identitas selama masa puber dan adolesensi (Gladding, 2001: 61).
Selain itu, Erikson juga memberikan suatu konsep baru tentang ego. Berbeda dengan ego yang digambarkan sebelumnya oleh para pendahulu psikoanalitik, Erikson mengemukakan suatu ego yang kreatif, yaitu suatu ego yang berhasil menemukan pemecahan-pemecahan kreatif atas masalah-masalah baru yang menimpa ego pada setiap tahapan kehidupan. Pada setiap tahap ia mampu menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang tersedia di dunia luar. Kalau ia menemukan hambatan maka ego bereaksi dengan usaha baru dan tidak menyerah. Di sini ego tampak sangat kuat dan tabah. Ego di sini adalah tuan dan bukan budak dari id dan superego. Kodrat ego dari individu tidak saja ditentukan oleh genetik, fisiologis, dan anatomis tapi juga oleh pengaruh-pengaruh dari kultural dan historis.
Karya-karya Besar Erikson
1) Childhood and Society
2) Young Man Luther: A Study in Psychoanalysis and History
3) Identity and the Life Cycle
4) Insight and Responsibility
5) “Identity, Psychosocial”, artikel yang dimuat dalam International Encyclopedia of the Social Sciences
6) Identity: Youth and Crisis
7) Life Cycle, artikel yang dimuat dalam International Encyclopedia of the Social Sciences
8) Gandi’s Truth: On the Origins of Militant Nonviolence
9) In Search of Common Ground, ditulis bersama Newton
10) Challe of Youth
11) Dimensions of Identity
12) Life History and the Historical Moment
13) Toyes and Reasons: Stages in the Ritualization of Experience
14) Elements of a Psychoanalitic Theory of Psychosical Development
Kontribusi Erikson bagi Pelayanan Pastoral Gereja
Bagian ini dimaksudkan bukan untuk menguraikan satu persatu dan selengkap mungkin kontribusi Erikson bagi Pelayanan Pastoral Gereja, melainkan bagaimana seharusnya gereja bisa memanfaatkan teori atau karya-karya Erikson ini sebagai salah satu alat dalam pelayanan pastoral gereja secara umum, dan terutama dalam kegiatan konseling pastoral. Saya melihat kelebihan Erikson ini dalam menguraikan perkembangan manusia (human development), secara khusus masa-masa kritis dalam kehidupan manusia, atau yang disebut dengan identity crisis.
Gereja bisa mengembangkan teori atau karya Erikson yang seperti ini dalam upaya mendampingi jemaat, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Akan sangat berguna juga apabila gereja bisa menyiapkan para guru sekolah minggunya, katekisnya, atau para pelayannya dengan pengetahuan dasar perkembangan manusia, sehingga pelayanan yang dilakukan kepada jemaat menjadi lebih “mendarat” atau relevan. Secara khusus kepada remaja, dimana gereja seringkali gagal mengarahkan warganya (umur remaja) dalam menghadapi berbagai perubahan dalam hidupnya, baik perubahan dari dalam diri sendiri (internal) maupun gempuran perubahan dari luar (eksternal), gereja mesti memberi perhatian serius. Di sinilah menurut saya Erikson memiliki kontribusi yang signifikan bagi pelayanan pastoral gereja. Semoga saja!
Daftar Pustaka
Chaplin. J.P. Kamus Lengkap Psikologi (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006)
Erikson. Erik H. Childhood and Society (New York & London: W.W. Norton & Company, 1993)
_________. Identity and the Life Cycle (New York & London: W.W. Norton & Company, 1994)
Gladding. Samuel T. The Counseling Dictionary: Concise Definitions of Frequently Used Terms (Ohio: Merrill Prentice Hall, 2001)
Naisaban. Ladislaus. Para Psikolog Terkemuka Dunia (Jakarta: Gramedia, 2004)
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?