Rancangan Khotbah Minggu, 30 Agustus 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
9 “Apabila engkau sudah masuk ke negeri yang
diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau belajar berlaku
sesuai dengan kekejian yang dilakukan bangsa-bangsa itu.
10 Di antaramu janganlah didapati seorangpun yang mempersembahkan
anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api, ataupun
seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang
penyihir,
11 seorang pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau
kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati.
12 Sebab setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi
TUHAN, dan oleh karena kekejian-kekejian inilah TUHAN, Allahmu, menghalau
mereka dari hadapanmu.
13 Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan TUHAN,
Allahmu.
14 Sebab bangsa-bangsa yang daerahnya akan kau duduki ini mendengarkan kepada peramal atau petenung,
tetapi engkau ini tidak diizinkan TUHAN, Allahmu, melakukan yang demikian.
Tanah
yang dimasuki bangsa Israel, yaitu tanah Kanaan, bukanlah negeri yang kosong
sama sekali, bukan tanah yang tiada pendudukanya. Sebelum bangsa Israel
memasukinya, sudah ada penduduk di tanah atau negeri itu, yakni orang-orang
Kanaan. Perlu dicatat bahwa mereka yang disebut sebagai orang-orang Kanaan ini
terdiri dari beberapa suku bangsa dengan sejumlah sistem sosial-budaya dan
keagamaan yang umumnya terkait dengan kehidupan pertanian dan perkotaan.
Sementara bangsa Israel dalam arti tertentu merupakan bangsa “nomaden”,
pengembara dengan pola hidup peternakannya. Artinya, ketika memasuki tanah
Kanaan, bangsa Israel akan bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang Kanaan
tersebut, termasuk “bertemu” dan “berinteraksi” dengan tradisi-tradisi mereka. Adalah
suatu hal yang lumrah apabila bangsa Israel “melirik-lirik” berbagai praktik
sosial-budaya-keagamaan yang dilaksanakan oleh orang-orang Kanaan tersebut,
apalagi tradisi Kanaan tersebut kelihatan lebih konkret dan berhubungan
langsung dengan kehidupan pertanian dan perkotaan mereka. Daya tarik tradisi
Kanaan jauh lebih kuat daripada tradisi Yahwisme yang lumayan abstrak. Dapat dikatakan
bahwa tradisi sosial-budaya-keagamaan Kanaan menjadi saingan berat bagi tradisi
Yahwisme, para peramal, petenung, penelaah, penyihir atau pemantera Kanaan
menjadi saingan berat bagi para nabi Israel.
Oleh sebab itu, TUHAN memberi perintah kepada bangsa Israel untuk tidak belajar atau melakukan perbuatan yang disebut sebagai “kekejian” bagi TUHAN, Allah bangsa Israel. Pada teks khotbah hari ini, ada beberapa jenis “kekejian” yang biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa Kanaan yang tidak boleh ditiru/dilakukan oleh bangsa Israel. Perintah ini sekaligus sebagai bagian dari reformasi Yosia di Israel setelah mereka menetap di tanah Kanaan, sebab pengaruh tradisi bangsa-bangsa lain tersebut cukup kuat. Beberapa kebiasaan bangsa lain di sekitar Israel yang dianggap sebagai kekejian dalam teks ini terungkap secara khusus pada ayat 10 dan ayat 11.
Mempersembahkan anak laki-laki atau anak perempuan sebagai korban dalam api merupakan tradisi Kanaan yang biasa dilakukan sebagai penghormatan/penyembahan mereka kepada dewa Molokh, ilah yang disembah oleh bangsa Amon (dan Fenisia), kemungkinan besar dipercaya sebagai dewa kesuburan tanah (pertanian). Persembahan kepada dewa Molokh ini merupakan bentuk penyembahan berhala yang dibenci oleh TUHAN (lih. Ul. 12:31). Beberapa orang Israel pada zaman raja-raja mengorbankan bayi mereka di lembah Kidron/Hinon (lih. 2Raj. 16:3). Dewa Molokh ini digambarkan seperti sosok tanpa bingkai berongga, kepala lembu, dan tangan manusia yang terulur. Proses korban ini dilakukan dengan membuat api dari dalam tempat pengorbanan, anak-anak (biasanya bayi) ditempatkan di pelukan “sosok” buatan tangan manusia tersebut dan dibakar perlahan-lahan, dan para imam menabuh drum supaya orangtua anak/bayi tersebut tidak mendengar tangisan anak mereka yang sekarat dalam api pengorbanan. Jadi, ritual keagamaan seperti ini memang mengerikan, itulah sebabnya disebut sebagai kekejian bagi TUHAN, Allah Israel.
Oleh sebab itu, TUHAN memberi perintah kepada bangsa Israel untuk tidak belajar atau melakukan perbuatan yang disebut sebagai “kekejian” bagi TUHAN, Allah bangsa Israel. Pada teks khotbah hari ini, ada beberapa jenis “kekejian” yang biasa dilakukan oleh bangsa-bangsa Kanaan yang tidak boleh ditiru/dilakukan oleh bangsa Israel. Perintah ini sekaligus sebagai bagian dari reformasi Yosia di Israel setelah mereka menetap di tanah Kanaan, sebab pengaruh tradisi bangsa-bangsa lain tersebut cukup kuat. Beberapa kebiasaan bangsa lain di sekitar Israel yang dianggap sebagai kekejian dalam teks ini terungkap secara khusus pada ayat 10 dan ayat 11.
Kuil Kanaan (Canaanite Temple) abad ke-15 s.d ke-14 SM, hasil penggalian arkeologi.
Foto diambil pada bulan Agustus 2016 oleh Pdt. Alokasih Gulo.
Foto diambil pada bulan Agustus 2016 oleh Pdt. Alokasih Gulo.
Mempersembahkan anak laki-laki atau anak perempuan sebagai korban dalam api merupakan tradisi Kanaan yang biasa dilakukan sebagai penghormatan/penyembahan mereka kepada dewa Molokh, ilah yang disembah oleh bangsa Amon (dan Fenisia), kemungkinan besar dipercaya sebagai dewa kesuburan tanah (pertanian). Persembahan kepada dewa Molokh ini merupakan bentuk penyembahan berhala yang dibenci oleh TUHAN (lih. Ul. 12:31). Beberapa orang Israel pada zaman raja-raja mengorbankan bayi mereka di lembah Kidron/Hinon (lih. 2Raj. 16:3). Dewa Molokh ini digambarkan seperti sosok tanpa bingkai berongga, kepala lembu, dan tangan manusia yang terulur. Proses korban ini dilakukan dengan membuat api dari dalam tempat pengorbanan, anak-anak (biasanya bayi) ditempatkan di pelukan “sosok” buatan tangan manusia tersebut dan dibakar perlahan-lahan, dan para imam menabuh drum supaya orangtua anak/bayi tersebut tidak mendengar tangisan anak mereka yang sekarat dalam api pengorbanan. Jadi, ritual keagamaan seperti ini memang mengerikan, itulah sebabnya disebut sebagai kekejian bagi TUHAN, Allah Israel.
Bersamaan
atau setelah pelaksanaan ritual yang keji ini, ada kegiatan peramalan, itulah
yang juga disebutkan pada teks khotbah ini. Peramal atau petenung atau penelaah,
pemantera atau penyihir, merupakan orang-orang yang sudah biasa terdapat di
negeri bangsa-bangsa Kanaan, apalagi dengan ritus-ritus keagamaan mereka.
Ramalan
di sini dalam bahasa Ibrani adalah קסם קסמים, kosem kesamim, dengan makna usaha
untuk mengetahui atau menyimpulkan hal-hal yang rahasia, atau hal-hal yang akan
datang. Secara umum, ramalan (tenungan, telaah) dipakai untuk memprediksi nasib
orang yang memberikan persembahan korban tersebut, atau juga untuk memprediksi
nasib suatu bangsa atau kota. Para peramal dan orang-orang yang sejenisnya
tadi, biasanya menafsirkan ha-hal yang dianggap aneh termasuk petir, mimpi, dan
juga bintang-bintang (astrologi), beberapa menghormati tanda-tanda binatang
tertentu seperti burung (terutama burung gagak). Banyak keputusan para pemimpin
diambil berdasarkan pertimbangan peramal seperti ini, dan tidak sedikit yang
jatuh ke dalam kesesatan (lih. Hos. 4:12). Praktik yang sejenis juga dapat
ditemukan di Mesir kuno, biasanya mereka suka menafsirkan nasib seseorang
berdasarkan hari kelahirannya. Larangan soal telaah atau ramalan ini juga dapat
dibaca di kitab Imamat 19:26. Ada juga peramal waktu yang melihat hari yang
beruntung dan hari yang tidak beruntung; ada juga pelihat awan atau langit, pelihat
perjalanan meteor, guntur, burung yang beterbangan. Intinya, praktik ini menyebabkan
sesuatu terlihat asli padahal palsu, menggunakan ilusi atau khayalan untuk
menipu orang, mirip seperti sulap.
Keberadaan para pemantera atau penyihir juga cukup
laris pada zaman kuno. Seorang pemantera atau penyihir pada waktu itu adalah
seorang yang berusaha untuk menemukan hal-hal yang tersembunyi dengan
penggunaan kata-kata atau upacara yang takhayul, dengan mengamati air atau asap. Kata aslinya tampaknya berasal dari נחשׁ, nachash, ular, maka dapat diartikan sebagai salah satu kegiatan meramal
melalui ular. Seorang penyihir tentunya mengikat perjanjian dengan iblis, dan
dengan bantuannya dilakukanlah tipuan sedemikian rupa kepada banyak orang. Itulah
sebabnya, praktik ini merupakan kekejian bagi TUHAN, Allah Israel, bahkan
pelakunya dapat dihukum mati (lih. Kel. 22:18).
Larangan di atas diperkuat lagi di ayat 11 tentang pemantera,
ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang
meminta petunjuk kepada orang-orang mati. Pemantera dan sejenisnya di ayat ini
merupakan orang yang berpura-pura dapat menyembuhkan penyakit dengan jimat, atau pawang ular, kadang menjadi pawang
kalajengking, kedua binatang ini memang banyak terdapat di wilayah timur dekat
kuno dan amat berbahaya. Ini adalah kekejian bagi TUHAN, Allah Israel. Demikian
juga dengan orang yang bertanya kepada arwah orang mati, begitu menjijikkan di
mata TUHAN, dan akibatnya buruk. Bandingkan misalnya dengan Saul yang meminta
petunjuk kepada roh Samuel, dan bukan kepada TUHAN, pada akhirnya mengalami
malapetaka yang luar biasa. Praktik ini merupakan pemanggilan roh orang mati
dengan tujuan untuk menyatakan masa depan secara ajaib atau memengaruhi
peristiwa-peristiwa tertentu. Nah,
bangsa Israel seharusnya meminta petunjuk dari TUHAN, bukan dari roh orang
mati. Atau, kepada siapakah kita sering meminta petunjuk hidup selama ini? Masih adakah yang datang kepada para "peramal", "dukun", dan sejenisnya?
Konsekuensi dari mengikuti atau melakukan ritual atau
tradisi yang menjijikkan di atas amatlah berat, hukuman mati, TUHAN sendiri
yang akan menghalau pelakunya. Mengapa? Karena praktik-praktik
sosial-budaya-keagamaan seperti ini jelas mengalihkan hati dan hidup manusia
dari TUHAN, dan itu disebut sebagai penyembahan berhala. Oleh sebab itu, TUHAN
melarang keras bangsa Israel belajar, atau mengikuti, atau melakukan kebiasaan
bangsa-bangsa Kanaan tersebut (ay. 14). TUHAN memerintahkan bangsa Israel untuk
hidup dengan tidak bercela di hadapan TUHAN, hidup dengan taat dan takut hanya
kepada TUHAN saja, bukan kepada yang lain. Hidup dengan tidak bercela berarti
tidak belajar, tidak mengikuti, atau tidak melakukan sedikit pun kebiasaan
bangsa-bangsa Kanaan atau bangsa-bangsa asing yang disebut sebagai kekejian
bagi TUHAN.
Bagaimana “hidup dengan tidak bercela” pada zaman sekarang? Sebenarnya cukup sederhana, yaitu hidup tidak ikut-ikutan dengan apa pun kebiasaan buruk dunia, atau perbuatan kegelapan. Hidup dengan tidak bercela juga berarti menjauhkan diri dari segala bentuk perbuatan atau tindakan yang dapat disebut sebagai kekejian bagi TUHAN. Apakah itu? Yaitu segala perbuatan, tindakan, atau kebiasaan yang dapat mengalihkan hati dan hidup kita dari TUHAN. Mungkin, tidak ada lagi ritual mengorbankan anak di perapian seperti dilakukan oleh bangsa-bangsa Kanaan dulu, tetapi entah disadari atau tidak, kita kadang membuat orang lain menjerit dalam “api pengorbanan” yang kita buat untuk mereka supaya kita “lebih berhasil”. Atau, ada ungkapan yang cukup populer, "aku akan mematikan cahayamu supaya cahayaku saja yang bersinar terang". Peter L. Berger, seorang sosiolog Amerika kelahiran Austria dan teolog Protestan, dalam bukunya "Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial", menegaskan bahwa sejarah peradaban manusia sampai saat ini adalah hasil dari ribuan orang yang dikorbankan. Mengerikan memang, atas nama pembangunan, atas nama kemajuan, atas nama modernisasi, banyak orang yang dikorbankan, dan banyak orang "menari-nari" di atas pengorbanan mereka tersebut. Itu juga adalah bentuk penyembahan berhala modern, dan hal tersebut merupakan kekejian bagi TUHAN.
Bagaimana “hidup dengan tidak bercela” pada zaman sekarang? Sebenarnya cukup sederhana, yaitu hidup tidak ikut-ikutan dengan apa pun kebiasaan buruk dunia, atau perbuatan kegelapan. Hidup dengan tidak bercela juga berarti menjauhkan diri dari segala bentuk perbuatan atau tindakan yang dapat disebut sebagai kekejian bagi TUHAN. Apakah itu? Yaitu segala perbuatan, tindakan, atau kebiasaan yang dapat mengalihkan hati dan hidup kita dari TUHAN. Mungkin, tidak ada lagi ritual mengorbankan anak di perapian seperti dilakukan oleh bangsa-bangsa Kanaan dulu, tetapi entah disadari atau tidak, kita kadang membuat orang lain menjerit dalam “api pengorbanan” yang kita buat untuk mereka supaya kita “lebih berhasil”. Atau, ada ungkapan yang cukup populer, "aku akan mematikan cahayamu supaya cahayaku saja yang bersinar terang". Peter L. Berger, seorang sosiolog Amerika kelahiran Austria dan teolog Protestan, dalam bukunya "Piramida Kurban Manusia: Etika Politik dan Perubahan Sosial", menegaskan bahwa sejarah peradaban manusia sampai saat ini adalah hasil dari ribuan orang yang dikorbankan. Mengerikan memang, atas nama pembangunan, atas nama kemajuan, atas nama modernisasi, banyak orang yang dikorbankan, dan banyak orang "menari-nari" di atas pengorbanan mereka tersebut. Itu juga adalah bentuk penyembahan berhala modern, dan hal tersebut merupakan kekejian bagi TUHAN.
Mungkin masih ada praktik-praktik ramalan nasib, su’a danga, sihir, dan berbagai bentuk
lain dari okultisme di tempat kita saat ini, tidak sedikit orang yang tersesat
karenanya. Walaupun kita berada di era post-modern, tetapi praktik seperti itu
masih ada, aneh memang, tetapi nyata. Orang Kristen diperintahkan untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut, termasuk kebiasaan beberapa orang untuk berdoa
kepada arwah orang mati. Mengunjungi kuburan tidaklah salah, tetapi ketika melakukan
penyembahan dan berdoa kepada orang mati, maka itu adalah kekejian bagi TUHAN.
Maka, tinggalkanlah segala perbuatan, tindakan, dan
atau kebiasaan kegelapan, dengan demikian TUHAN akan menyertai kita.
--- selamat berefleksi ... selamat melayani ---