Khotbah Minggu, 09 Agustus 2020
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo
22 Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia
ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan
mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan.
23 Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah
dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.
24 Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan
menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan
kamu hamba-Nya.
25 Barangsiapa berbuat kesalahan, ia akan
menanggung kesalahannya itu, karena Tuhan tidak memandang orang.
Nas khotbah hari ini merupakan kelanjutan dari khotbah Minggu, 28 Juni 2020, tentang bagaimana bersikap dan berelasi yang baik dalam keluarga (Kolose 3:18-21). Hari ini, kita diberi semacam pedoman bagaimana sebaiknya kita bekerja, dengan contoh “hamba-hamba”. Ini penting dilakukan sebab dalam masyarakat Kolose pada waktu itu ada pengajaran dan sikap yang memandang istimewa dan atau sebaliknya memandang rendah profesi atau pekerjaan tertentu. Pekerjaan yang dianggap paling rendah pada waktu itu adalah hamba, yang sudah umum terdapat dalam masyarakat pada zaman Alkitab. Penulis surat Kolose meminta orang-orang Kristen untuk menempatkan diri dengan baik di tengah-tengah masyarakat, termasuk para hamba. Ini tidak berarti bahwa para tuan boleh bertindak sesuka hati atas hamba-hambanya. Oleh sebab itu, perlu perubahan paradigma tentang bagaimana seharusnya bersikap dan melakukan pekerjaan, baik pekerjaan yang oleh masyarakat dunia pada waktu itu dipandang lebih istimewa atau mulia, maupun pekerjaan yang dianggap rendah, dalam hal ini hamba.
Kalau
di sekitar mereka pekerjaan dianggap sebagai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang berorientasi pada uang dan harta, maka orang Kristen di Kolose
diminta untuk bekerja dengan beberapa ketentuan:
1. Bekerja dengan
hati. Pekerjaan dengan hati berarti: teratur, rapi, terpola, tersusun dan
terencana karena ia melibatkan hati yang bisa merasakan kebahagiaan tersendiri
dengan hasil pekerjaan itu. Oleh sebab itu, seorang pekerja, tidak
bermalas-malasan, ataupun menunda pekerjaan. Bekerja dengan hati juga berarti bekerja
dengan hati-hati untuk meminimalisir kesalahan dalam pekerjaannya, sebab pada
waktu itu para hamba akan mendapatkan hukuman berat apabila mereka melakukan
kesalahan dalam pekerjaan mereka. Jadi, tidak boleh bekerja asal-asalan, atau
amburadul, tidak boleh bekerja dengan cara ABÖDA (Asala noa, Böi zi lö’ö, Dalimanö).
2. Bekerja seperti
untuk Tuhan. Seperti untuk Tuhan: apakah dengan demikian bos atau pimpinan atau
majikan dianggap Tuhan? Bukan! Seperti untuk Tuhan berarti setiap orang Kristen
dipanggil untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab namun lebih dari itu karena
pemilik semua pekerjaan adalah Tuhan, maka apa pun pekerjaan yang diemban harus
dihargai oleh setiap orang. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang menganggap
pekerjaan tertentu istimewa atau mulia, seperti pejabat pemerintahan dan rohaniwan,
dan ada juga pandangan yang menganggap pekerjaan tertentu rendah, seperti hamba.
Para imam di kuil dianggap lebih bernilai pekerjaannya dibanding mereka yang
berurusan dengan soal-soal jasmaniah. Hal ini ditentang oleh penulis surat
Kolose. Ia menyatakan bahwa pekerjaan adalah anugerah Allah dan kesempatan yang
diberikan oleh Allah. Jadi jika engkau diberi pekerjaan atau mengerjakan
sesuatu, ingatlah bahwa Allah selalu ada di setiap pekerjaan itu.
Menurut Martin
Luther, orang harus memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya apa pun posisi
mereka di dunia, sebab setiap panggilan yang sah memiliki nilai yang sama bagi
Tuhan. Penekanan yang sama juga diungkapkan oleh Johannes Calvin: “Tuhan
menetapkan tugas-tugas bagi setiap orang menurut jalan hidupnya masing-masing, dan
masing-masing jalan hidup itu adalah panggilan. Tidak ada pekerjaan apa pun
betapapun kecil dan hinanya yang tidak akan bersinar-sinar dan dinilai berharga
di mata Tuhan. Setiap orang diberi jalan hidup seumpama pos penjagaan yang
harus dijaga sehingga ia harus setia, berakar dan bertumbuh melalui proses itu
tanpa gerutu: masing-masing menanggung yang kurang enak, yang susah, yang
sedih, yang membosankan karena beban itu datang dari Allah. Oleh karenanya,
Allah sendiri juga yang menjadi pembimbing dalam menjalaninya. Maka dalam bingkai
ini semua orang adalah hamba Tuhan karena semua orang mendapat panggilan Tuhan
apapun jenis pekerjaannya (bnd. Rm. 6:22).
Dalam masyarakat kita
sekarang pun, pandangan yang membeda-bedakan tingkat penghargaan terhadap
pekerjaan atau profesi itu masih terjadi. Lihatlah misalnya bagaimana
masyarakat kita merasa tidak memiliki pekerjaan (yang patut dibanggakan) karena
dia hanya petani biasa, sebab dalam pandangan banyak orang pekerjaan atau
profesi yang mulia itu adalah PNS, atau pendeta. Pola pikir ini harus
dibaharui, sebab apa pun pekerjaan atau profesi kita, itu adalah anugerah
Tuhan, itu adalah panggilan Tuhan atas kita masing-masing, yang mesti kita
emban dengan penuh tanggung jawab.
3. Bekerja dengan
tulus. Bekerja seperti untuk Tuhan juga akan menolong setiap orang untuk memahami
nilai dari sejumlah upah yang diterimanya. Ketika seseorang menyadari bahwa ia
bekerja untuk Tuhan, maka nilai upah yang dibayarkan bukanlah menjadi tujuan
utama dalam bekerja. Manusia memang membutuhkan uang, tetapi uang bukanlah
segalanya. Dalam ayat 22 penulis surat Kolose mengatakan modal lain dari
bekerja adalah ketulusan hati. Jadi, bukan nominal uang yang dicari melainkan
upah yang disediakan Allah bagi mereka yang setia. Penulis surat Kolose ini
meyakinkan kita bahwa Allah pasti mempertimbangkan jerih lelah mereka yang
bekerja.
Selain bekerja
untuk uang, masyarakat kita dewasa ini juga bekerja untuk mendapatkan status
sosial tertentu. Para petani dianggap sebagai kelompok masyarakat biasa,
sementara para pendeta, PNS, apalagi para pejabat, dianggap sebagai kelompok
masyarakat yang lebih mulia. Ini jelas sebagai pandangan yang salah, sebab
Tuhan sendiri tidak pernah memandang beda setiap orang karena pekerjaan atau
profesinya, Tuhan sendiri tidak pernah memandang rendah dan atau memandang
mulia pekerjaan/profesi tertentu.
4.
Bekerja dalam
damai. Penulis surat Kolose menyadari bahwa ada riak-riak dalam pekerjaan:
sakit hati, iri hati, dan cemburu. Ketika menemukan ini orang Kristen mungkin
saja terpengaruh dan akhirnya menjadi pelaku kejahatan. Setiap orang, menurut
teks ini, akan menanggung sendiri akibat dari kesalahannya, baik para hamba
maupun para tuan (ay. 25). Maka, demi kebaikan dan kemuliaan nama Allah,
hendaklah setiap orang menjadi pembawa damai di tempat di mana ia bekerja. Teks
ini hendak menegaskan bahwa pekerjaan yang diemban, apa pun jenisnya, adalah
pekerjaan untuk Tuhan. Apapun yang dihadapi dalam pekerjaan anggaplah itu
sebagai sebuah kesempatan dan anugerah dari Allah untuk berproses dengan-Nya.
Oleh sebab itu, bekerjalah seperti
untuk Tuhan, dengan demikian kamu akan mendapatkan upah yang jauh lebih
berharga daripada upah dalam bentuk uang atau materi.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?