Bersahabat dengan Keraguan
Refleksi Pribadi (Pdt. Alokasih Gulo)
Pada catatan pribadi sebelumnya, saya
menegaskan bahwa “keraguan” (dan kebingungan) yang pernah saya alami justru telah
membentuk dan memberi kesadaran kepada saya akan arti sebuah panggilan
kependetaan. Para sahabat yang belum membacanya, silakan baca di sini Ketika aku Ragu-ragu
Beberapa sahabat yang telah membaca
catatan tersebut mengajukan pertanyaan refleksi yang sepertinya sederhana
tetapi sesungguhnya amat mendasar. Apakah “ragu-ragu” itu salah? Ada ga sih
batas keragu-raguan itu? Apa yang harus saya lakukan ketika keraguan muncul
dalam diriku? Kapan kita boleh bertenti meragu? Mengapa kita mengalami
keraguan?
Dalam Alkitab, salah satu tokoh populer
terkait keragu-raguan ini adalah Tomas. Tomas, salah seorang murid Yesus, memang
terkenal karena ragu-ragu atas “penampakan” diri Yesus setelah kebangkitan-Nya.
Banyak orang Kristen yang mencemooh, atau paling tidak merasa kasihan atas
sikapnya yang meragu tersebut. Bagi banyak orang, Tomas merupakan sosok yang
imannya lemah, dan karena itu tidak baik dijadikan sebagai contoh bagi orang
percaya. Sosoknya seringkali dijadikan sebagai bahan perbandingan (yang
cenderung negatif) bagi orang-orang yang dianggap sulit percaya kepada Tuhan. Ya,
itulah tradisi teologi dan atau pengajaran tradisional kita.
Tetapi, apakah sikap “meragu” memang
terlalu buruk sehingga banyak orang yang melekatkan stigma “orang kurang beriman”
pada diri Tomas (dan orang-orang yang meragu lainnya di sepanjang masa)?
Berdasarkan pengalaman dan perenungan saya secara pribadi, sikap “meragu” merupakan sikap yang tidak mudah percaya, tidak mudah menerima, dan tidak mudah menjalani sesuatu yang baginya tidak jelas, sesuatu yang masih abstrak, sesuatu yang belum bisa dijelaskan dan atau diterima oleh akal sehat. Dengan kata lain, sikap meragu sebenarnya merupakan awal penting dari sikap kritis-positif, yaitu sikap yang selalu mempertanyakan sesuatu secara prinsipiil sebelum memercayai, menerima, dan menjalaninya. Seseorang yang meragu biasanya akan lebih konsisten dan teguh dalam prinsip daripada orang-orang yang begitu mudahnya memercayai sesuatu yang bahkan belum jelas kepadanya.
Berdasarkan pengalaman dan perenungan saya secara pribadi, sikap “meragu” merupakan sikap yang tidak mudah percaya, tidak mudah menerima, dan tidak mudah menjalani sesuatu yang baginya tidak jelas, sesuatu yang masih abstrak, sesuatu yang belum bisa dijelaskan dan atau diterima oleh akal sehat. Dengan kata lain, sikap meragu sebenarnya merupakan awal penting dari sikap kritis-positif, yaitu sikap yang selalu mempertanyakan sesuatu secara prinsipiil sebelum memercayai, menerima, dan menjalaninya. Seseorang yang meragu biasanya akan lebih konsisten dan teguh dalam prinsip daripada orang-orang yang begitu mudahnya memercayai sesuatu yang bahkan belum jelas kepadanya.
Dapat dikatakan bahwa keragu-raguan
merupakan modal penting bagi upaya pencarian kepastian. Tomas, dan orang-orang
yang meragu lainnya, adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mencari kepastian yang
diawali dengan sikap meragu. Ketika kepastian sudah diperoleh, maka keraguannya
pun berakhir. Tentu, keraguan yang lain akan muncul ketika ada lagi upaya
mencari kepastian akan sesuatu yang lain tersebut.
Jadi, tidak ada yang salah dengan
sikap meragu, sebab sikap tersebut adalah bagian dari kehidupan manusia yang
mesti disyukuri dan dikelola dengan baik untuk mendapatkan kepastian. Dalam
bingkai inilah penting mengembangkan sikap yang bersahabat dengan keraguan.
Bersahabat dengan keraguan berarti memberi ruang bagi diri sendiri untuk
menghayati dan mengelola sikap meragu tersebut. Bersahabat dengan keraguan berarti
berupaya untuk menerima dan merasa nyaman dengan keragu-raguan yang muncul
dalam diri, baik yang terkait dengan diri sendiri (personal) maupun yang
terkait dengan pelayanan. Bersahabat dengan keraguan berarti memberi kesempatan
kepada diri sendiri untuk menggumuli dan merenungkan secara mendalam apa arti
kehidupan dan pelayanan. Keragu-raguan yang telah dihayati dan dikelola dengan
baik akan mendorong kita untuk mengambil keputusan yang lebih rasional.
Keragu-raguan yang telah dihayati dan dikelola dengan baik akan memampukan kita
untuk memercayai, menerima, dan menjalani sesuatu dalam kepastian yang dapat
dipertanggungjawabkan.
--- selamat meragu ---
Selamat meragu dalam keragu-raguan pak Pendeta.
ReplyDeleteMungkin perlu direnungkan juga antara ragu atau bimbang....
Shalom
Selamat menikmati keraguan dan kebimbangan p'pdt
Delete