Bahan/Rancangan Khotbah Minggu, 16 Agustus 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
12 “Apabila seorang saudaramu menjual dirinya
kepadamu, baik seorang laki-laki Ibrani ataupun seorang perempuan Ibrani, maka
ia akan bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh
engkau harus melepaskan dia sebagai orang merdeka.
13 Dan apabila engkau melepaskan dia sebagai
orang merdeka, maka janganlah engkau melepaskan dia dengan tangan hampa,
14 engkau harus dengan limpahnya memberi bekal
kepadanya dari kambing dombamu, dari tempat pengirikanmu dan dari tempat
pemerasanmu, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu,
haruslah kauberikan kepadanya.
15 Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu
budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu; itulah sebabnya aku
memberi perintah itu kepadamu pada hari ini.
16 Tetapi apabila dia berkata kepadamu: Aku tidak
mau keluar meninggalkan engkau, karena ia mengasihi engkau dan keluargamu,
sebab baik keadaannya padamu,
17 maka engkau harus mengambil sebuah penusuk dan
menindik telinganya pada pintu, sehingga ia menjadi budakmu untuk
selama-lamanya. Demikian juga kauperbuat kepada budakmu perempuan.
18 Janganlah merasa susah, apabila engkau
melepaskan dia sebagai orang merdeka, sebab enam tahun lamanya ia telah bekerja
padamu dengan jasa dua kali upah seorang pekerja harian. Maka TUHAN, Allahmu,
akan memberkati engkau dalam segala sesuatu yang kaukerjakan.”
Pada khotbah Minggu, 21 Juni 2020, kita sudah melihat bagaimana hukum Sabat dalam PL, yaitu hari Sabat (siklus mingguan, hari ke-7), tahun Sabat (siklus tahunan, tahun ke-7), dan tahun Yobel (siklus generasi, generasi ke-7). Inti dari ketiga hukum Sabat ini adalah “pembebasan” (baca: Tahun Sabat dan Tahun Yobel) Dalam khotbah minggu ini (16-08-2020), hukum sabat yang diungkapkan adalah tahun Sabat, yaitu tahun ke-7 (ay. 12), dan secara khusus disebutkan sebagai tahun pembebasan bagi para budak.
Perbudakan pada
zaman PL memang menimbulkan banyak perdebatan, bahkan menimbulkan
kesalahpahaman, apalagi kalau dihubungkan dengan berbagai praktik perbudakan
pada zaman modern. Oleh sebab itu, kita sebaiknya tidak menyamakan begitu saja
praktik perbudakan pada zaman PL, dalam hal ini di Israel dulu, dengan
perbudakan zaman modern. Pada zaman sekarang, memang masih ada sejumlah kasus
perbudakan, yang umumnya terjadi melalui peristiwa penculikan dan penjualan
manusia (human trafficking). Walaupun
ilegal, tetapi praktik penculikan, penjualan, dan perbudakan manusia pada zaman
modern seperti ini masih saja terjadi. Praktik perbudakan ilegal pada zaman
modern seperti ini sebenarnya sangat bertentangan dengan PL, bahkan pelakunya
dapat mendapat hukuman mati (lih. Kel. 21:16; Ul. 24:7; Amos 1:6).
Nah, kasus perbudakan pada zaman PL terjadi bukan karena penculikan dan
atau penjualan ilegal seperti pada zaman modern tadi, melainkan karena hutang
atau kemiskinan (Ul. 15:12). Pada zaman PL, banyak orang memilih menjadi budak
daripada mati kelaparan, dan banyak juga orang yang “terpaksa” menjual diri
sebagai budak untuk melunasi hutang. Dalam konteks Israel waktu itu, praktik
perbudakan yang dimaksud pada teks khotbah ini biasanya berlangsung dalam
lingkungan suku mereka sendiri. Namun demikian, perbudakan ini tidak
berlangsung seumur hidup, ada saatnya mereka wajib dibebaskan, dan itu terjadi
pada tahun ke-7, tahun Sabat. Itulah yang ditegaskan di ayat 12 tadi, “apabila seorang
saudaramu menjual dirinya kepadamu, baik seorang laki-laki Ibrani ataupun
seorang perempuan Ibrani, maka ia akan bekerja padamu enam tahun lamanya,
tetapi pada tahun yang ketujuh engkau harus melepaskan dia sebagai orang merdeka”
(Ul. 15:12).
Ayat ini dengan
sangat jelas mewajibkan orang Israel (dhi: tuan atau majikan) untuk membebaskan budaknya
pada tahun ke-7, yaitu tahun Sabat, dan tidak ada alasan dari sang tuan untuk tidak melakukannya, atau untuk menunda pembebasannya. Para tuan wajib
membebaskan para budaknya dengan penuh kerelaan pada tahun ke-7 tersebut,
mereka tidak boleh merasa rugi dengan kepergian atau pembebasan mereka, sebab
waktu yang enam tahun merupakan waktu yang cukup lama bagi para budak untuk
mengabdi kepada para tuannya (lih. ay. 18). Satu-satunya alasan budak tersebut dapat
tidak dibebaskan oleh tuannya, walaupun sudah sampai tahun ke-7, adalah
keinginan budak itu sendiri, yaitu dia memilih untuk tetap “menjadi budak” di
rumah tuannya tersebut, tetapi bukan karena hutangnya yang belum terlunaskan dan
atau karena “mati kelaparan”, melainkan karena dia mengasihi tuannya dan
keluarganya yang selama ini telah berbaik hati kepadanya (lih. ay. 16). Kalau
kasus seperti pada ayat 16 ini terjadi, maka “engkau (sang tuan) harus
mengambil sebuah penusuk dan menindik telinganya pada pintu, sehingga ia
menjadi budakmu untuk selama-lamanya” (ay. 17).
Apa maksudnya
“menindik telinga (budak) pada pintu dengan sebuah penusuk”? Tradisi, hukum,
atau perintah ini terdengar agak aneh, telinga sang budak tersebut ditindik
(dengan tusukan) dekat pintu rumah sang tuannya, tentu telinganya yang ditusuk
tersebut mengeluarkan darah. Tradisi ini sebenarnya sudah biasa di dunia kuno,
yaitu apabila sang budak tetap menjadi budak untuk selamanya, maka sang
tuan wajib menindik telinganya di dekat pintu rumahnya, sebagai tanda bahwa “hidup”
sang budak tersebut adalah “milik tuannya”, bahwa budak tersebut bekerja untuknya
selamanya, dan bahwa orang lain tidak boleh lagi mengambilnya sebagai budak lagi.
Beginilah proses
menindik telinga budak pada zaman PL tersebut:
Budak, oleh
karena kasihnya ingin melayani tuannya secara sukarela (walaupun sudah bekerja
selama enam tahun dan seharusnya sudah patut dibebaskan pada tahun ke-7), akan
dibawa ke ambang/bendul pintu rumah sang tuan. Kemudian, suatu alat penusuk
yang dikenal dengan sebutan martzayah
– suatu alat yang digunakan untuk membuat lubang yang akan menembus atau melalui
kulit daun telinga, menandai daging secara permanen. Pada zaman kuno, termasuk
pada zaman PB, kadang-kadang para budak dan tentara ditandai dengan nama dan atau
cap tuan atau komandan mereka di tubuh mereka untuk menunjukkan siapa tuan atau
komandan mereka, dan bahkan ada beberapa pemuja yang memberi tanda/cap pada diri
mereka dengan tanda dewa yang mereka percayai atau puja tersebut. Tanda ini menunjukkan
bahwa mereka adalah “milik” dari pemberi tanda itu, atau “milik” dari nama yang
tertera sebagai tanda/cap di tubuh mereka tersebut (bandingkan misalnya dengan
kata-kata Paulus di Galatia 6:17 “… karena pada tubuhku ada tanda-tanda milik
Yesus”, yang menunjukkan bahwa kini hidupnya adalah milik Yesus).
Lalu, mengapa penindikan tersebut harus dilakukan dekat pintu rumah (ambang/bendul rumah) sang tuan? Perintah ini mengingatkan kita kisah keluaran dari Mesir. Ketika orang Israel dibebaskan dari perbudakan di Mesir, mereka dengan sukarela masuk ke dalam perjanjian dengan Tuhan untuk mengikuti perintah-Nya (lih. Kel. 12:7 dab). Darah pada tiang pintu dan pada ambang atas pintu rumah merupakan salah satu gambar yang paling ikonik di Israel, sebab tanda (darah) itu menandai perpindahan mereka dari perbudakan menuju kebebasan di tanah yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka. Darah ini juga menandai janji setia bangsa Israel kepada Tuan mereka yang sesungguhnya, yaitu TUHAN Allah.
Mengapa penindikan budak tersebut harus di telinga? Tradisi ini mengingatkan kita prosesi penahbisan Harun dan anak-anaknya menjadi imam di Israel, dimana darah domba jantan yang disembelih pada saat penahbisan tersebut, dibubuhkan sedikit pada cuping telinga Harun dan anak-anaknya (baca Im. 8, khususnya ayat 23 dan 24), menandakan bahwa mereka kini menjadi imam, milik TUHAN sepenuhnya. Tradisi menindik di telinga ini juga mengingatkan kita darah yang harus dibubuhkan pada cuping telinga orang yang sakit kusta pada hari pentahirannya, tanda bahwa dirinya sudah sembuh, sudah tahir, dan karena itu sudah layak masuk dalam hadirat TUHAN (baca Im. 14, khususnya ayat 14). Ini adalah tanda yang melambangkan kepatuhan mendengarkan (dengan telinga) dan menaati TUHAN, tanda pengudusan hidup oleh TUHAN, Pemilik hidup yang sesungguhnya. Pada saat penindikan tersebut, sang budak akan berkata seperti ini: “Aku mengasihi tuanku, aku tidak akan pergi dari rumah tuanku karena aku mengasihinya”. Maka, sang tuan pun akan membawa budaknya tersebut ke hadapan Tuhan, dan dia akan membawanya dekat pintu, dan di sanalah sang tuan menusuk telinganya dengan penusuk tadi, dan dia akan menjadi budaknya selamanya.
Lalu, mengapa penindikan tersebut harus dilakukan dekat pintu rumah (ambang/bendul rumah) sang tuan? Perintah ini mengingatkan kita kisah keluaran dari Mesir. Ketika orang Israel dibebaskan dari perbudakan di Mesir, mereka dengan sukarela masuk ke dalam perjanjian dengan Tuhan untuk mengikuti perintah-Nya (lih. Kel. 12:7 dab). Darah pada tiang pintu dan pada ambang atas pintu rumah merupakan salah satu gambar yang paling ikonik di Israel, sebab tanda (darah) itu menandai perpindahan mereka dari perbudakan menuju kebebasan di tanah yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka. Darah ini juga menandai janji setia bangsa Israel kepada Tuan mereka yang sesungguhnya, yaitu TUHAN Allah.
Mengapa penindikan budak tersebut harus di telinga? Tradisi ini mengingatkan kita prosesi penahbisan Harun dan anak-anaknya menjadi imam di Israel, dimana darah domba jantan yang disembelih pada saat penahbisan tersebut, dibubuhkan sedikit pada cuping telinga Harun dan anak-anaknya (baca Im. 8, khususnya ayat 23 dan 24), menandakan bahwa mereka kini menjadi imam, milik TUHAN sepenuhnya. Tradisi menindik di telinga ini juga mengingatkan kita darah yang harus dibubuhkan pada cuping telinga orang yang sakit kusta pada hari pentahirannya, tanda bahwa dirinya sudah sembuh, sudah tahir, dan karena itu sudah layak masuk dalam hadirat TUHAN (baca Im. 14, khususnya ayat 14). Ini adalah tanda yang melambangkan kepatuhan mendengarkan (dengan telinga) dan menaati TUHAN, tanda pengudusan hidup oleh TUHAN, Pemilik hidup yang sesungguhnya. Pada saat penindikan tersebut, sang budak akan berkata seperti ini: “Aku mengasihi tuanku, aku tidak akan pergi dari rumah tuanku karena aku mengasihinya”. Maka, sang tuan pun akan membawa budaknya tersebut ke hadapan Tuhan, dan dia akan membawanya dekat pintu, dan di sanalah sang tuan menusuk telinganya dengan penusuk tadi, dan dia akan menjadi budaknya selamanya.
Tradisi di
atas dilakukan hanya apabila sang budak memilih untuk tetap berada dan bekerja
di rumah tuannya, walaupun sebenarnya dia sudah dapat dibebaskan pada tahun
ke-7 tersebut. Penting diingat bahwa keputusan untuk tetap bekerja untuk
selamanya tersebut datang bukan dari sang tuan, melainkan dari sang budak
sendiri, dan sang tuan tidak boleh memengaruhi (apalagi memaksa) budaknya untuk
mengambil keputusan seperti itu.
Bagaimana kalau
budak memilih untuk bebas setelah sampai pada tahun ke-7 tersebut? Menurut kitab
Ulangan ini, (mantan) budak tersebut berhak menerima bagian dari kekayaan yang
telah dihasilkannya selama bekerja di rumah tuannya. Hak ini wajib dipenuhi
oleh sang tuan, dan tidak boleh ada alasan untuk tidak memberikannya, tidak
boleh ada alasan untuk menunda pemberian hak tersebut, dan tidak boleh ada
alasan untuk melakukan “pemotongan” pemberian hak budak tersebut. Ayat 13 dan
14 teks ini dengan jelas memberi perintah kepada para tuan untuk memberikan hak
para budak, memberikan bekal kepada budaknya, supaya kemudian sang budak
tersebut dapat hidup bebas sebagai orang merdeka, dan kemudian dapat hidup
mandiri dengan “modal” bekal yang telah diberikan kepadanya. “Dan apabila
engkau melepaskan dia sebagai orang merdeka, maka janganlah engkau melepaskan
dia dengan tangan hampa, engkau harus dengan limpahnya memberi bekal kepadanya
dari kambing dombamu, dari tempat pengirikanmu dan dari tempat pemerasanmu,
sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, haruslah
kauberikan kepadanya” (Ul. 15:13-14).
Dari teks
ini, kita belajar bagaimana TUHAN Allah pada prinsipnya begitu menghargai dan
menjunjung tinggi hak-hak para budak, yang juga harus dilakukan oleh para tuan
di Israel. Para budak adalah manusia yang juga memiliki hak hidup, hak untuk
merdeka (bebas), dan hak untuk hidup layak. Para tuan, manusia lain yang bukan
budak, wajib menghormati dan memenuhi hak pada budak ini dengan penuh kerelaan,
tanpa potongan, tanpa penundaan, dan tanpa pembatalan sepihak. Ketika sang
budak menggunakan haknya untuk bebas pada tahun ke-7, maka dia memiliki hak
lain yang dibawanya, semacam “modal” untuk hidup layak sebagai manusia merdeka,
dan sang tuan wajib memenuhi hak-haknya tersebut. Ketika sang budak juga
memilih untuk tetap berada dan bekerja di rumah tuannya, maka itu harus
merupakan pilihan dan keputusannya sendiri, sang tuan, atau siapa pun tidak
boleh memengaruhinya dalam pengambilan keputusan tersebut. Di sini jelas sekali
bagaimana sang budak memiliki hak untuk bebas, dan atau sebaliknya hak untuk
memilih tetap bersama dengan tuannya karena dia mengasihi mereka atas kebaikan
yang telah diterimanya selama ini. Intinya adalah setiap orang memiliki hak
untuk hidup merdeka dan hak untuk hidup layak sebagai manusia. Hal ini juga
sekaligus menegaskan bahwa setiap orang wajib menghargai dan memenuhi hak-hak
para budaknya, ini merupakan perintah untuk memerdekakan orang lain.
Mengapa para budak ini harus dibebaskan? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa para budak ini, bagaimana pun situasi mereka, adalah manusia yang juga diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sama seperti para tuan dan atau orang lain yang (kebetulan) tidak termasuk budak. Menjadi budak pada waktu itu memang sebuah "pilihan" karena situasi yang mendesak, dan hal itu tidak boleh dimanfaatkan oleh siapa pun untuk kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kepentingan para budak itu sendiri. Alasan kedua adalah bahwa bangsa Israel dulu juga pernah menjadi budak di negeri orang, baik di Mesir maupun di Babilonia pada masa pembuangan (lih. ay. 15). Artinya, mereka sudah pernah merasakan betapa pahitnya hidup sebagai budak, dan bagaimana mereka merindukan kebebasan atau kemerdekaan. Mereka tidak boleh melupakan sejarah itu, mereka harus terus mengingat pengalaman menyakitkan itu, dan tentunya harus mengingat bagaimana TUHAN sendiri menebus dan membebaskan mereka dari tempat perbudakan itu. Oleh sebab itu, mereka pun wajib menebus dan membebaskan budak-budak mereka pada tahun yang ke-7, yaitu tahun Sabat bagi TUHAN Allah Israel, dan wajib memberikan dan atau membayarkan semacam "ganti rugi" atas jerih lelah para budaknya selama 6 tahun bekerja di rumahnya. Mereka telah ditebus dan dibebaskan dari perbudakan, dan kini mereka diperintahkan (dipanggil) untuk menebus dan membebaskan para budak mereka.
Mengapa para budak ini harus dibebaskan? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa para budak ini, bagaimana pun situasi mereka, adalah manusia yang juga diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sama seperti para tuan dan atau orang lain yang (kebetulan) tidak termasuk budak. Menjadi budak pada waktu itu memang sebuah "pilihan" karena situasi yang mendesak, dan hal itu tidak boleh dimanfaatkan oleh siapa pun untuk kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kepentingan para budak itu sendiri. Alasan kedua adalah bahwa bangsa Israel dulu juga pernah menjadi budak di negeri orang, baik di Mesir maupun di Babilonia pada masa pembuangan (lih. ay. 15). Artinya, mereka sudah pernah merasakan betapa pahitnya hidup sebagai budak, dan bagaimana mereka merindukan kebebasan atau kemerdekaan. Mereka tidak boleh melupakan sejarah itu, mereka harus terus mengingat pengalaman menyakitkan itu, dan tentunya harus mengingat bagaimana TUHAN sendiri menebus dan membebaskan mereka dari tempat perbudakan itu. Oleh sebab itu, mereka pun wajib menebus dan membebaskan budak-budak mereka pada tahun yang ke-7, yaitu tahun Sabat bagi TUHAN Allah Israel, dan wajib memberikan dan atau membayarkan semacam "ganti rugi" atas jerih lelah para budaknya selama 6 tahun bekerja di rumahnya. Mereka telah ditebus dan dibebaskan dari perbudakan, dan kini mereka diperintahkan (dipanggil) untuk menebus dan membebaskan para budak mereka.
Tema khotbah
ini adalah “dipanggil untuk memerdekakan”. Tema ini sangat relevan dengan momen
perayaan 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, kita semua dipanggil untuk
(saling) memerdekakan. Bangsa kita memang sudah merdeka, tetapi apakah seluruh
rakyatnya sudah menikmati anugerah kemerdekaan itu sepenuhnya? Tampaknya belum,
sebab masih banyak rakyat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan angka
kemiskinan tersebut semakin bertambah karena pandemi Covid-19 telah
membawa persoalan serius pada kehidupan ekonomi global. Masih banyak orang yang
belum menikmati kemerdekaan sepenuhnya, masih banyak orang yang belum menikmati
berbagai fasilitas seperti yang telah dinikmati oleh orang lain. Banyak anak-anak
sekolah, misalnya, yang belum bisa belajar sepenuhnya dari rumah dengan
menggunakan fasilitas smartphone dan
internet, padahal pendidikan merupakan kunci penting dalam upaya pengentasan
kemiskinan.
Dalam konteks
yang lebih kecil, pertanyaan bagi kita adalah kebebasan seperti apakah yang
telah kita berikan kepada anak-anak kita untuk hidup layaknya anak-anak yang
merdeka? Apakah kebebasan yang kebablasan, atau sebaliknya mereka tidak menikmati kebebasannya
sebagai anak karena orangtua yang begitu egois merasa paling tahu yang paling
dibutuhkan anaknya? Kebebasan seperti apa juga yang diberikan oleh para guru
kepada anak didiknya dalam menggali dan menemukan potensi dirinya
masing-masing?
Kebebasan seperti
apakah yang diberikan oleh para pimpinan kepada para bawahannya untuk bekerja
sebagai manusia merdeka? Apakah kebebasan tanpa pengawasan, atau sebaliknya
para bawahan tidak boleh sama sekali bergerak dan berkreasi dalam pekerjaan
dan hidupnya kecuali ada izin dari pimpinannya?
Kebebasan
seperti apakah juga yang dihadirkan oleh gereja di tengah-tengah dunia ini? Apakah
gereja sudah melibatkan dirinya dalam upaya pembebasan manusia dari kemiskinan
dan kebodohan? Atau, jangan-jangan gereja lebih sibuk mengurus “organisasi” tetapi
lalai mengurus “organisme”-nya! Apakah gereja sudah melibatkan dirinya dalam
menghadirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, atau malah gereja menjadi
bagian dari tindakan ketidakadilan?
Masih banyak
sebenarnya jenis kebebasan yang dapat kita daftarkan di sini, tetapi yang
paling penting adalah bagaimana setiap orang melibatkan dirinya untuk saling
membebaskan, sebab kita semua dipanggil untuk (saling) memerdekakan.
Dirgahayu
Republik Indonesia, jayalah Indonesiaku! Merdeka!
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?