Friday, August 14, 2020

Dipanggil untuk Memerdekakan (Ulangan 15:12-18)


Bahan/Rancangan Khotbah Minggu, 16 Agustus 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

12 “Apabila seorang saudaramu menjual dirinya kepadamu, baik seorang laki-laki Ibrani ataupun seorang perempuan Ibrani, maka ia akan bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh engkau harus melepaskan dia sebagai orang merdeka.
13 Dan apabila engkau melepaskan dia sebagai orang merdeka, maka janganlah engkau melepaskan dia dengan tangan hampa,
14 engkau harus dengan limpahnya memberi bekal kepadanya dari kambing dombamu, dari tempat pengirikanmu dan dari tempat pemerasanmu, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, haruslah kauberikan kepadanya.
15 Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu; itulah sebabnya aku memberi perintah itu kepadamu pada hari ini.
16 Tetapi apabila dia berkata kepadamu: Aku tidak mau keluar meninggalkan engkau, karena ia mengasihi engkau dan keluargamu, sebab baik keadaannya padamu,
17 maka engkau harus mengambil sebuah penusuk dan menindik telinganya pada pintu, sehingga ia menjadi budakmu untuk selama-lamanya. Demikian juga kauperbuat kepada budakmu perempuan.
18 Janganlah merasa susah, apabila engkau melepaskan dia sebagai orang merdeka, sebab enam tahun lamanya ia telah bekerja padamu dengan jasa dua kali upah seorang pekerja harian. Maka TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala sesuatu yang kaukerjakan.”


Pada khotbah Minggu, 21 Juni 2020, kita sudah melihat bagaimana hukum Sabat dalam PL, yaitu hari Sabat (siklus mingguan, hari ke-7), tahun Sabat (siklus tahunan, tahun ke-7), dan tahun Yobel (siklus generasi, generasi ke-7). Inti dari ketiga hukum Sabat ini adalah “pembebasan” (baca: Tahun Sabat dan Tahun Yobel) Dalam khotbah minggu ini (16-08-2020), hukum sabat yang diungkapkan adalah tahun Sabat, yaitu tahun ke-7 (ay. 12), dan secara khusus disebutkan sebagai tahun pembebasan bagi para budak.

Perbudakan pada zaman PL memang menimbulkan banyak perdebatan, bahkan menimbulkan kesalahpahaman, apalagi kalau dihubungkan dengan berbagai praktik perbudakan pada zaman modern. Oleh sebab itu, kita sebaiknya tidak menyamakan begitu saja praktik perbudakan pada zaman PL, dalam hal ini di Israel dulu, dengan perbudakan zaman modern. Pada zaman sekarang, memang masih ada sejumlah kasus perbudakan, yang umumnya terjadi melalui peristiwa penculikan dan penjualan manusia (human trafficking). Walaupun ilegal, tetapi praktik penculikan, penjualan, dan perbudakan manusia pada zaman modern seperti ini masih saja terjadi. Praktik perbudakan ilegal pada zaman modern seperti ini sebenarnya sangat bertentangan dengan PL, bahkan pelakunya dapat mendapat hukuman mati (lih. Kel. 21:16; Ul. 24:7; Amos 1:6).

Nah, kasus perbudakan pada zaman PL terjadi bukan karena penculikan dan atau penjualan ilegal seperti pada zaman modern tadi, melainkan karena hutang atau kemiskinan (Ul. 15:12). Pada zaman PL, banyak orang memilih menjadi budak daripada mati kelaparan, dan banyak juga orang yang “terpaksa” menjual diri sebagai budak untuk melunasi hutang. Dalam konteks Israel waktu itu, praktik perbudakan yang dimaksud pada teks khotbah ini biasanya berlangsung dalam lingkungan suku mereka sendiri. Namun demikian, perbudakan ini tidak berlangsung seumur hidup, ada saatnya mereka wajib dibebaskan, dan itu terjadi pada tahun ke-7, tahun Sabat. Itulah yang ditegaskan di ayat 12 tadi, “apabila seorang saudaramu menjual dirinya kepadamu, baik seorang laki-laki Ibrani ataupun seorang perempuan Ibrani, maka ia akan bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh engkau harus melepaskan dia sebagai orang merdeka” (Ul. 15:12).

Ayat ini dengan sangat jelas mewajibkan orang Israel (dhi: tuan atau majikan) untuk membebaskan budaknya pada tahun ke-7, yaitu tahun Sabat, dan tidak ada alasan dari sang tuan untuk tidak melakukannya, atau untuk menunda pembebasannya. Para tuan wajib membebaskan para budaknya dengan penuh kerelaan pada tahun ke-7 tersebut, mereka tidak boleh merasa rugi dengan kepergian atau pembebasan mereka, sebab waktu yang enam tahun merupakan waktu yang cukup lama bagi para budak untuk mengabdi kepada para tuannya (lih. ay. 18). Satu-satunya alasan budak tersebut dapat tidak dibebaskan oleh tuannya, walaupun sudah sampai tahun ke-7, adalah keinginan budak itu sendiri, yaitu dia memilih untuk tetap “menjadi budak” di rumah tuannya tersebut, tetapi bukan karena hutangnya yang belum terlunaskan dan atau karena “mati kelaparan”, melainkan karena dia mengasihi tuannya dan keluarganya yang selama ini telah berbaik hati kepadanya (lih. ay. 16). Kalau kasus seperti pada ayat 16 ini terjadi, maka “engkau (sang tuan) harus mengambil sebuah penusuk dan menindik telinganya pada pintu, sehingga ia menjadi budakmu untuk selama-lamanya” (ay. 17).

Apa maksudnya “menindik telinga (budak) pada pintu dengan sebuah penusuk”? Tradisi, hukum, atau perintah ini terdengar agak aneh, telinga sang budak tersebut ditindik (dengan tusukan) dekat pintu rumah sang tuannya, tentu telinganya yang ditusuk tersebut mengeluarkan darah. Tradisi ini sebenarnya sudah biasa di dunia kuno, yaitu apabila sang budak tetap menjadi budak untuk selamanya, maka sang tuan wajib menindik telinganya di dekat pintu rumahnya, sebagai tanda bahwa “hidup” sang budak tersebut adalah “milik tuannya”, bahwa budak tersebut bekerja untuknya selamanya, dan bahwa orang lain tidak boleh lagi mengambilnya sebagai budak lagi.

Beginilah proses menindik telinga budak pada zaman PL tersebut:

Budak, oleh karena kasihnya ingin melayani tuannya secara sukarela (walaupun sudah bekerja selama enam tahun dan seharusnya sudah patut dibebaskan pada tahun ke-7), akan dibawa ke ambang/bendul pintu rumah sang tuan. Kemudian, suatu alat penusuk yang dikenal dengan sebutan martzayah – suatu alat yang digunakan untuk membuat lubang yang akan menembus atau melalui kulit daun telinga, menandai daging secara permanen. Pada zaman kuno, termasuk pada zaman PB, kadang-kadang para budak dan tentara ditandai dengan nama dan atau cap tuan atau komandan mereka di tubuh mereka untuk menunjukkan siapa tuan atau komandan mereka, dan bahkan ada beberapa pemuja yang memberi tanda/cap pada diri mereka dengan tanda dewa yang mereka percayai atau puja tersebut. Tanda ini menunjukkan bahwa mereka adalah “milik” dari pemberi tanda itu, atau “milik” dari nama yang tertera sebagai tanda/cap di tubuh mereka tersebut (bandingkan misalnya dengan kata-kata Paulus di Galatia 6:17 “… karena pada tubuhku ada tanda-tanda milik Yesus”, yang menunjukkan bahwa kini hidupnya adalah milik Yesus).

Lalu, mengapa penindikan tersebut harus dilakukan dekat pintu rumah (ambang/bendul rumah) sang tuan? Perintah ini mengingatkan kita kisah keluaran dari Mesir. Ketika orang Israel dibebaskan dari perbudakan di Mesir, mereka dengan sukarela masuk ke dalam perjanjian dengan Tuhan untuk mengikuti perintah-Nya (lih. Kel. 12:7 dab). Darah pada tiang pintu dan pada ambang atas pintu rumah merupakan salah satu gambar yang paling ikonik di Israel, sebab tanda (darah) itu menandai perpindahan mereka dari perbudakan menuju kebebasan di tanah yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka. Darah ini juga menandai janji setia bangsa Israel kepada Tuan mereka yang sesungguhnya, yaitu TUHAN Allah.

Mengapa penindikan budak tersebut harus di telinga? Tradisi ini mengingatkan kita prosesi penahbisan Harun dan anak-anaknya menjadi imam di Israel, dimana darah domba jantan yang disembelih pada saat penahbisan tersebut, dibubuhkan sedikit pada cuping telinga Harun dan anak-anaknya (baca Im. 8, khususnya ayat 23 dan 24), menandakan bahwa mereka kini menjadi imam, milik TUHAN sepenuhnya. Tradisi menindik di telinga ini juga mengingatkan kita darah yang harus dibubuhkan pada cuping telinga orang yang sakit kusta pada hari pentahirannya, tanda bahwa dirinya sudah sembuh, sudah tahir, dan karena itu sudah layak masuk dalam hadirat TUHAN (baca Im. 14, khususnya ayat 14). Ini adalah tanda yang melambangkan kepatuhan mendengarkan (dengan telinga) dan menaati TUHAN, tanda pengudusan hidup oleh TUHAN, Pemilik hidup yang sesungguhnya. Pada saat penindikan tersebut, sang budak akan berkata seperti ini: “Aku mengasihi tuanku, aku tidak akan pergi dari rumah tuanku karena aku mengasihinya”. Maka, sang tuan pun akan membawa budaknya tersebut ke hadapan Tuhan, dan dia akan membawanya dekat pintu, dan di sanalah sang tuan menusuk telinganya dengan penusuk tadi, dan dia akan menjadi budaknya selamanya.

Tradisi di atas dilakukan hanya apabila sang budak memilih untuk tetap berada dan bekerja di rumah tuannya, walaupun sebenarnya dia sudah dapat dibebaskan pada tahun ke-7 tersebut. Penting diingat bahwa keputusan untuk tetap bekerja untuk selamanya tersebut datang bukan dari sang tuan, melainkan dari sang budak sendiri, dan sang tuan tidak boleh memengaruhi (apalagi memaksa) budaknya untuk mengambil keputusan seperti itu.

Bagaimana kalau budak memilih untuk bebas setelah sampai pada tahun ke-7 tersebut? Menurut kitab Ulangan ini, (mantan) budak tersebut berhak menerima bagian dari kekayaan yang telah dihasilkannya selama bekerja di rumah tuannya. Hak ini wajib dipenuhi oleh sang tuan, dan tidak boleh ada alasan untuk tidak memberikannya, tidak boleh ada alasan untuk menunda pemberian hak tersebut, dan tidak boleh ada alasan untuk melakukan “pemotongan” pemberian hak budak tersebut. Ayat 13 dan 14 teks ini dengan jelas memberi perintah kepada para tuan untuk memberikan hak para budak, memberikan bekal kepada budaknya, supaya kemudian sang budak tersebut dapat hidup bebas sebagai orang merdeka, dan kemudian dapat hidup mandiri dengan “modal” bekal yang telah diberikan kepadanya. “Dan apabila engkau melepaskan dia sebagai orang merdeka, maka janganlah engkau melepaskan dia dengan tangan hampa, engkau harus dengan limpahnya memberi bekal kepadanya dari kambing dombamu, dari tempat pengirikanmu dan dari tempat pemerasanmu, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, haruslah kauberikan kepadanya” (Ul. 15:13-14).

Dari teks ini, kita belajar bagaimana TUHAN Allah pada prinsipnya begitu menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak para budak, yang juga harus dilakukan oleh para tuan di Israel. Para budak adalah manusia yang juga memiliki hak hidup, hak untuk merdeka (bebas), dan hak untuk hidup layak. Para tuan, manusia lain yang bukan budak, wajib menghormati dan memenuhi hak pada budak ini dengan penuh kerelaan, tanpa potongan, tanpa penundaan, dan tanpa pembatalan sepihak. Ketika sang budak menggunakan haknya untuk bebas pada tahun ke-7, maka dia memiliki hak lain yang dibawanya, semacam “modal” untuk hidup layak sebagai manusia merdeka, dan sang tuan wajib memenuhi hak-haknya tersebut. Ketika sang budak juga memilih untuk tetap berada dan bekerja di rumah tuannya, maka itu harus merupakan pilihan dan keputusannya sendiri, sang tuan, atau siapa pun tidak boleh memengaruhinya dalam pengambilan keputusan tersebut. Di sini jelas sekali bagaimana sang budak memiliki hak untuk bebas, dan atau sebaliknya hak untuk memilih tetap bersama dengan tuannya karena dia mengasihi mereka atas kebaikan yang telah diterimanya selama ini. Intinya adalah setiap orang memiliki hak untuk hidup merdeka dan hak untuk hidup layak sebagai manusia. Hal ini juga sekaligus menegaskan bahwa setiap orang wajib menghargai dan memenuhi hak-hak para budaknya, ini merupakan perintah untuk memerdekakan orang lain.

Mengapa para budak ini harus dibebaskan? Alasan yang paling mendasar adalah bahwa para budak ini, bagaimana pun situasi mereka, adalah manusia yang juga diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, sama seperti para tuan dan atau orang lain yang (kebetulan) tidak termasuk budak. Menjadi budak pada waktu itu memang sebuah "pilihan" karena situasi yang mendesak, dan hal itu tidak boleh dimanfaatkan oleh siapa pun untuk kepentingannya sendiri tanpa memikirkan kepentingan para budak itu sendiri. Alasan kedua adalah bahwa bangsa Israel dulu juga pernah menjadi budak di negeri orang, baik di Mesir maupun di Babilonia pada masa pembuangan (lih. ay. 15). Artinya, mereka sudah pernah merasakan betapa pahitnya hidup sebagai budak, dan bagaimana mereka merindukan kebebasan atau kemerdekaan. Mereka tidak boleh melupakan sejarah itu, mereka harus terus mengingat pengalaman menyakitkan itu, dan tentunya harus mengingat bagaimana TUHAN sendiri menebus dan membebaskan mereka dari tempat perbudakan itu. Oleh sebab itu, mereka pun wajib menebus dan membebaskan budak-budak mereka pada tahun yang ke-7, yaitu tahun Sabat bagi TUHAN Allah Israel, dan wajib memberikan dan atau membayarkan semacam "ganti rugi" atas jerih lelah para budaknya selama 6 tahun bekerja di rumahnya. Mereka telah ditebus dan dibebaskan dari perbudakan, dan kini mereka diperintahkan (dipanggil) untuk menebus dan membebaskan para budak mereka.

Tema khotbah ini adalah “dipanggil untuk memerdekakan”. Tema ini sangat relevan dengan momen perayaan 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, kita semua dipanggil untuk (saling) memerdekakan. Bangsa kita memang sudah merdeka, tetapi apakah seluruh rakyatnya sudah menikmati anugerah kemerdekaan itu sepenuhnya? Tampaknya belum, sebab masih banyak rakyat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan, dan angka kemiskinan tersebut semakin bertambah karena pandemi Covid-19 telah membawa persoalan serius pada kehidupan ekonomi global. Masih banyak orang yang belum menikmati kemerdekaan sepenuhnya, masih banyak orang yang belum menikmati berbagai fasilitas seperti yang telah dinikmati oleh orang lain. Banyak anak-anak sekolah, misalnya, yang belum bisa belajar sepenuhnya dari rumah dengan menggunakan fasilitas smartphone dan internet, padahal pendidikan merupakan kunci penting dalam upaya pengentasan kemiskinan.

Dalam konteks yang lebih kecil, pertanyaan bagi kita adalah kebebasan seperti apakah yang telah kita berikan kepada anak-anak kita untuk hidup layaknya anak-anak yang merdeka? Apakah kebebasan yang kebablasan, atau sebaliknya mereka tidak menikmati kebebasannya sebagai anak karena orangtua yang begitu egois merasa paling tahu yang paling dibutuhkan anaknya? Kebebasan seperti apa juga yang diberikan oleh para guru kepada anak didiknya dalam menggali dan menemukan potensi dirinya masing-masing?

Kebebasan seperti apakah yang diberikan oleh para pimpinan kepada para bawahannya untuk bekerja sebagai manusia merdeka? Apakah kebebasan tanpa pengawasan, atau sebaliknya para bawahan tidak boleh sama sekali bergerak dan berkreasi dalam pekerjaan dan hidupnya kecuali ada izin dari pimpinannya?

Kebebasan seperti apakah juga yang dihadirkan oleh gereja di tengah-tengah dunia ini? Apakah gereja sudah melibatkan dirinya dalam upaya pembebasan manusia dari kemiskinan dan kebodohan? Atau, jangan-jangan gereja lebih sibuk mengurus “organisasi” tetapi lalai mengurus “organisme”-nya! Apakah gereja sudah melibatkan dirinya dalam menghadirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, atau malah gereja menjadi bagian dari tindakan ketidakadilan?

Masih banyak sebenarnya jenis kebebasan yang dapat kita daftarkan di sini, tetapi yang paling penting adalah bagaimana setiap orang melibatkan dirinya untuk saling membebaskan, sebab kita semua dipanggil untuk (saling) memerdekakan.

Dirgahayu Republik Indonesia, jayalah Indonesiaku! Merdeka! 

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...