Tuesday, July 28, 2020

KETIKA AKU RAGU-RAGU …


Ketika aku ragu-ragu …
Catatan Pribadi (Pdt. Alokasih Gulo)


“Apakah Bapak dulu memang bercita-cita menjadi pendeta?”, tanya salah seorang mahasiswa yang saya bimbing beberapa tahun yang lalu. “Tidak”, jawabku dengan mantap.

 “Apakah Pak Pendeta masih ingat motivasinya waktu ujian motivasi dulu sebelum diangkat menjadi pendeta BNKP?”, tanya salah seorang teman pendeta yang setiap bertemu hampir selalu mengingatkannya. “Ya, iya dong, masih ingat ... waktu itu saya tuliskan motivasiku dengan satu kata saja ‘ENTAHLAH’, suatu kata yang kedengarannya aneh untuk sebuah rumusan motivasi”, jawabku sambil tertawa.

Ya, begitulah diriku sebelum akhirnya menjadi pendeta sampai saat ini.

Satu tahun pertama di sekolah teologi merupakan masa-masa yang penuh keragu-raguan, bahkan penuh dengan kebingungan, sebab masuk sekolah teologi pada tahun 1999 adalah sebuah keterpaksaan demi memenuhi permintaan orangtua. Namun demikian, dalam keragu-raguan yang tiada henti pada waktu itu, saya tetap belajar dengan tekun, mengikuti proses “alamiah” yang sedang berlangsung, kuliah … kuliah … dan kuliah …, walaupun dalam hati terdalam ada keinginan untuk berhenti. Saya merasa ada yang aneh dengan sekolah teologi ini, tidak sesuai dengan diri saya, tidak sesuai dengan cita-cita saya pada awalnya, dan … ah … terlalu banyak alasan untuk berhenti. Namun demikian, mulai tahun kedua hingga selesai pada tahun kelima, keragu-raguan sudah berkurang, dan hati sudah lebih mantap untuk melangkah ke jenjang berikutnya … menjadi vikar dan seterusnya menjadi pendeta … Apakah ini karya Roh Kudus seperti dikatakan oleh sebagian orang? ENTAHLAH …

Keraguan saya muncul kembali setelah menjalani masa vikariat, setelah tinggal dan belajar melayani bersama dengan jemaat. Saya memang tetap menjalankan tugas pelayanan, baik yang dijadwalkan maupun inisiatif sendiri. Tetapi, apakah saya “menikmati” pelayanan itu? Maksudnya, apakah hati saya bersukacita dengan pelayanan tersebut? Kadang ya kadang tidak, walaupun di permukaan saya berusaha tampil seperti bersukacita selalu. Entah mengapa, saya mulai bertanya: “Benarkah saya cocok di pelayanan ini? Benarkah panggilan saya menjadi pendeta? Mampukah saya menjalani kehidupan dan pelayanan sebagai pendeta kelak?” Itulah beberapa pertanyaan keraguan saya, hati saya belum yakin untuk menjadi pendeta. Maka, ketika ujian motivasi menjadi pendeta di BNKP, saya hanya menyiapkan beberapa paragraf saja, dengan judul motivasi “ENTAHLAH”, dan pada akhir tulisan motivasi tersebut, saya mengajukan sendiri pertanyaan: “mengapa saya mau menjadi pendeta di BNKP”, dan saya juga menjawabnya dengan tegas: “ENTAHLAH”. Walaupun kedengaran aneh, sempat membuat para penguji bingung dengan motivasi saya, dan sempat juga dikritik dengan keras oleh beberapa teman vikar pada waktu itu, tetapi pada akhirnya saya dinyatakan LULUS dan boleh ditahbiskan menjadi pendeta di BNKP.

Tetapi begini, saya mau menjelaskan sedikit kata “ENTAHLAH” di motivasi saya tersebut. Kata ini muncul sebagai ekspresi pergumulan saya yang luar biasa atas panggilan pelayanan, entah menjadi pendeta atau tidak, dan itu tidak terlepas dari pergumulan awal saya ketika masuk sekolah teologi. Saya menyadari bahwa menjadi pendeta tidak mudah, memakai “baju/jubah” pendeta itu terlalu berat bagi saya, sebab saya merasa tidak layak untuk itu. Kata “ENTAHLAH” juga merupakan ekspresi kepasrahan saya atas ketidakmampuan saya mengelak dari panggilan menjadi pendeta ini, saya pasrah pada kehendak Tuhan yang pernah saya lawan dengan berbagai cara. Pada waktu itu, dan sampai hari ini, saya bertanya (seperti Daud): “Siapakah aku ini, ya Tuhan ALLAH, dan siapakah keluargaku, sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini?” (2 Samuel 7:18).

Jadi, keragu-raguan saya dalam proses dan perjalanan panjang menjadi pendeta justru telah membentuk saya untuk – sejauh ini – berkomitmen dan menyerahkan diri sepenuhnya bagi pelayanan kependetaan ini. Keragu-raguan inilah yang kemudian "mengarahkan" saya untuk menemukan bahwa inti dari "panggilan" (calling) adalah KOMITMEN dan PENYERAHAN DIRI (submission) kepada Sang Tuan dalam pelayanan. Keragu-raguan saya justru telah menyadarkan saya akan berbagai keterbatasan, kelemahan, dan juga kelebihan yang saya miliki, dan untuk menjalani proses pembentukan bahkan dalam keragu-raguan itu sendiri. Dalam keragu-raguan aku bangkit dan bergerak maju … bangkit dan maju bersama dengan Sang Pemilik pelayanan ini, Tuhan Yesus.

Baca juga: Bersahabat dengan Keraguan

2 comments:

  1. Ternyata keraguan itu bisa mengantarkan seseorang dalam kepastian hidup, asal ada komitmen dan penyerahan diri kepada sang penguasa hidup. Luar biasa..Lalu, mengapa ada pelayan Tuhan yang pada awalnya malah berapi2, semangat sana sini menjadi pelayan tapi pada akhirnya padam tak berasap malah jauh menyimpang???! Apa mereka kurang penyerahan diri??
    Entahlah..🤔🤔

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentarnya, komitmen dan penyerahan diri (submission) memang amat penting dalam pelayanan gerejawi. Setiap orang memang memiliki pengalaman yang berbeda soal panggilan menjadi pendeta (pelayan), ada yang diwarnai dengan keragu-raguan seperti yang saya alami, dan ada juga yang tidak mengalami keraguan, dan ada yang begitu semangat pada awalnya. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada pelayan yang kemudian mengalami kemunduran seperti yang disebutkan tadi, dan setiap orang mengalami dinamika yang seperti itu. Mestinya, ada semacam "penyegaran" kepada para pelayan secara berkala, untuk terus mempertahankan semangat dalam pelayanan.

      Penyerahan diri (submission) memang butuh pengorbanan dan kerendahan hati, sehingga tidak bisa didapatkan dalam waktu dan proses yang singkat. Perlu evaluasi diri untuk mengetahui sejauh mana kita sudah menyerahkan diri dalam pelayanan itu, atau jangan-jangan "pelayanan" tersebut hanya pelarian diri saja, atau hanya cara kita untuk aktualisasi diri, atau ... ah ... entahlah ...

      Delete

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...