Ketika aku ragu-ragu …
Catatan Pribadi (Pdt. Alokasih Gulo)
“Apakah Bapak dulu memang bercita-cita menjadi pendeta?”, tanya salah seorang mahasiswa yang saya bimbing beberapa tahun yang lalu. “Tidak”, jawabku dengan mantap.
“Apakah Pak Pendeta masih ingat motivasinya
waktu ujian motivasi dulu sebelum diangkat menjadi pendeta BNKP?”, tanya salah
seorang teman pendeta yang setiap bertemu hampir selalu mengingatkannya. “Ya,
iya dong, masih ingat ... waktu itu saya tuliskan motivasiku dengan satu kata
saja ‘ENTAHLAH’, suatu kata yang kedengarannya aneh untuk sebuah rumusan
motivasi”, jawabku sambil tertawa.
Ya, begitulah diriku sebelum akhirnya menjadi pendeta sampai saat ini.
Satu tahun pertama di sekolah teologi merupakan masa-masa yang penuh
keragu-raguan, bahkan penuh dengan kebingungan, sebab masuk sekolah teologi
pada tahun 1999 adalah sebuah keterpaksaan demi memenuhi permintaan orangtua. Namun
demikian, dalam keragu-raguan yang tiada henti pada waktu itu, saya tetap
belajar dengan tekun, mengikuti proses “alamiah” yang sedang berlangsung, kuliah
… kuliah … dan kuliah …, walaupun dalam hati terdalam ada keinginan untuk
berhenti. Saya merasa ada yang aneh dengan sekolah teologi ini, tidak sesuai
dengan diri saya, tidak sesuai dengan cita-cita saya pada awalnya, dan … ah …
terlalu banyak alasan untuk berhenti. Namun demikian, mulai tahun kedua hingga
selesai pada tahun kelima, keragu-raguan sudah berkurang, dan hati sudah lebih
mantap untuk melangkah ke jenjang berikutnya … menjadi vikar dan seterusnya menjadi
pendeta … Apakah ini karya Roh Kudus seperti dikatakan oleh sebagian orang?
ENTAHLAH …
Keraguan saya muncul kembali setelah menjalani masa vikariat, setelah
tinggal dan belajar melayani bersama dengan jemaat. Saya memang tetap
menjalankan tugas pelayanan, baik yang dijadwalkan maupun inisiatif sendiri. Tetapi,
apakah saya “menikmati” pelayanan itu? Maksudnya, apakah hati saya bersukacita
dengan pelayanan tersebut? Kadang ya kadang tidak, walaupun di permukaan saya
berusaha tampil seperti bersukacita selalu. Entah mengapa, saya mulai bertanya:
“Benarkah saya cocok di pelayanan ini? Benarkah panggilan saya menjadi pendeta?
Mampukah saya menjalani kehidupan dan pelayanan sebagai pendeta kelak?” Itulah beberapa
pertanyaan keraguan saya, hati saya belum yakin untuk menjadi pendeta. Maka,
ketika ujian motivasi menjadi pendeta di BNKP, saya hanya menyiapkan beberapa
paragraf saja, dengan judul motivasi “ENTAHLAH”, dan pada akhir tulisan
motivasi tersebut, saya mengajukan sendiri pertanyaan: “mengapa saya mau menjadi pendeta
di BNKP”, dan saya juga menjawabnya dengan tegas: “ENTAHLAH”. Walaupun kedengaran
aneh, sempat membuat para penguji bingung dengan motivasi saya, dan sempat juga
dikritik dengan keras oleh beberapa teman vikar pada waktu itu, tetapi pada
akhirnya saya dinyatakan LULUS dan boleh ditahbiskan menjadi pendeta di BNKP.
Tetapi begini, saya mau menjelaskan sedikit kata “ENTAHLAH” di motivasi
saya tersebut. Kata ini muncul sebagai ekspresi pergumulan saya yang luar biasa
atas panggilan pelayanan, entah menjadi pendeta atau tidak, dan itu tidak
terlepas dari pergumulan awal saya ketika masuk sekolah teologi. Saya menyadari
bahwa menjadi pendeta tidak mudah, memakai “baju/jubah” pendeta itu terlalu
berat bagi saya, sebab saya merasa tidak layak untuk itu. Kata “ENTAHLAH” juga
merupakan ekspresi kepasrahan saya atas ketidakmampuan saya mengelak dari panggilan
menjadi pendeta ini, saya pasrah pada kehendak Tuhan yang pernah saya lawan
dengan berbagai cara. Pada waktu itu, dan sampai hari ini, saya bertanya
(seperti Daud): “Siapakah aku ini, ya Tuhan ALLAH, dan siapakah keluargaku,
sehingga Engkau membawa aku sampai sedemikian ini?” (2 Samuel 7:18).
Jadi, keragu-raguan saya dalam proses dan perjalanan panjang menjadi
pendeta justru telah membentuk saya untuk – sejauh ini – berkomitmen dan
menyerahkan diri sepenuhnya bagi pelayanan kependetaan ini. Keragu-raguan inilah yang kemudian "mengarahkan" saya untuk menemukan bahwa inti dari "panggilan" (calling) adalah KOMITMEN dan PENYERAHAN DIRI (submission) kepada Sang Tuan dalam pelayanan. Keragu-raguan saya
justru telah menyadarkan saya akan berbagai keterbatasan, kelemahan, dan juga
kelebihan yang saya miliki, dan untuk menjalani proses pembentukan bahkan dalam
keragu-raguan itu sendiri. Dalam keragu-raguan aku bangkit dan bergerak maju …
bangkit dan maju bersama dengan Sang Pemilik pelayanan ini, Tuhan Yesus.
Baca juga: Bersahabat dengan Keraguan
Baca juga: Bersahabat dengan Keraguan
Ternyata keraguan itu bisa mengantarkan seseorang dalam kepastian hidup, asal ada komitmen dan penyerahan diri kepada sang penguasa hidup. Luar biasa..Lalu, mengapa ada pelayan Tuhan yang pada awalnya malah berapi2, semangat sana sini menjadi pelayan tapi pada akhirnya padam tak berasap malah jauh menyimpang???! Apa mereka kurang penyerahan diri??
ReplyDeleteEntahlah..🤔🤔
Terima kasih atas komentarnya, komitmen dan penyerahan diri (submission) memang amat penting dalam pelayanan gerejawi. Setiap orang memang memiliki pengalaman yang berbeda soal panggilan menjadi pendeta (pelayan), ada yang diwarnai dengan keragu-raguan seperti yang saya alami, dan ada juga yang tidak mengalami keraguan, dan ada yang begitu semangat pada awalnya. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada pelayan yang kemudian mengalami kemunduran seperti yang disebutkan tadi, dan setiap orang mengalami dinamika yang seperti itu. Mestinya, ada semacam "penyegaran" kepada para pelayan secara berkala, untuk terus mempertahankan semangat dalam pelayanan.
DeletePenyerahan diri (submission) memang butuh pengorbanan dan kerendahan hati, sehingga tidak bisa didapatkan dalam waktu dan proses yang singkat. Perlu evaluasi diri untuk mengetahui sejauh mana kita sudah menyerahkan diri dalam pelayanan itu, atau jangan-jangan "pelayanan" tersebut hanya pelarian diri saja, atau hanya cara kita untuk aktualisasi diri, atau ... ah ... entahlah ...