Rancangan Khotbah Minggu, 26 Juli 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
31 Sesudah Yudas pergi, berkatalah Yesus: “Sekarang
Anak Manusia dipermuliakan dan Allah dipermuliakan di dalam Dia.
32 Jikalau Allah dipermuliakan di dalam Dia,
Allah akan mempermuliakan Dia juga di dalam diri-Nya, dan akan mempermuliakan
Dia dengan segera.
33 Hai anak-anak-Ku, hanya seketika saja lagi Aku
ada bersama kamu. Kamu akan mencari Aku, dan seperti yang telah Kukatakan
kepada orang-orang Yahudi: Ke tempat Aku pergi, tidak mungkin kamu datang,
demikian pula Aku mengatakannya sekarang juga kepada kamu.
34 Aku memberikan perintah baru kepada kamu,
yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu
demikian pula kamu harus saling mengasihi.
35 Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa
kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”
Teks khotbah pada hari ini
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pesan-pesan Yesus kepada para murid
atau para pengikut-Nya sebelum Dia pergi dari antara mereka. Yesus tahu, dan
Dia mengajak para murid untuk menyadarinya, bahwa tidak selamanya Dia berada di
dunia bersama dengan murid-murid, Dia harus pergi, dan mereka tidak bisa pergi
saat ini ke tempat ke mana Dia pergi, namun kelak mereka pun menuju ke sana
(13:33, 36). Ke mana Yesus
pergi sampai para murid pun tidak mungkin atau tidak bisa ikut saat itu? Tampaknya,
Yesus berbicara tentang perjalanan berat yang akan ditempuh-Nya menuju kayu
salib, via dolorosa (jalan salib),
dan pada akhirnya menuju kemuliaan Allah.
Pada
ayat-ayat sebelumnya dituliskan bahwa Yesus sudah mengetahui bahwa Yudas akan
mengkhianati-Nya (13:21, 26-27), dan pada ayat-ayat sesudahnya Yesus juga tahu
bahwa murid-murid yang lain, terutama Simon Petrus, akan menyangkal Dia
(13:38). Lalu, apakah Yesus menyesali semuanya itu, atau menghabiskan
energi-Nya untuk menyalahkan mereka, atau mengkambinghitamkan orang-orang dan situasi
yang sepertinya tidak berpihak kepada-Nya? Tidak bukan? Yesus meresponsnya
dengan berbicara tentang pemuliaan yang akan datang (ay. 31-32). Pemuliaan ini
akan diwujudkan dalam kematian-Nya di kayu salib yang kemudian diikuti dengan
kebangkitan-Nya. Yesus hendak mengatakan bahwa jalan salib yang harus
ditempuh-Nya bukanlah akhir segala-galanya, sebab akan ada kebangkitan, dan
melalui peristiwa-peristiwa ini Allah akan
dimuliakan di dalam Kristus.
Lalu, apa
yang mesti dilakukan oleh para murid, atau para pengikut Yesus karena tidak
lama lagi Dia akan pergi menuju salib dan akhirnya menuju kepada kemuliaan-Nya?
Nah, di sinilah Yesus hendak mempersiapkan mereka untuk menerima realitas itu dengan memberi perintah “saling
mengasihi”
(ay. 34). Yesus
berbicara secara khusus kepada mereka yang telah bersama-sama dengan Dia selama
pelayanan-Nya,
dan meminta mereka untuk saling mengasihi, tentu dimulai dalam lingkaran mereka sendiri, lingkaran
dalam para pengikut Yesus, kemudian
lingkaran yang lebih besar melampaui kelompok mereka tersebut.
Sebenarnya,
tidak ada yang baru sama sekali dengan perintah untuk saling mengasihi ini,
sebab sejak zaman PL pun bangsa Israel sudah diperintahkan untuk saling
mengasihi. Hampir tidak ada orang yang tidak mengenal perintah ini, bahkan
orang-orang yang tidak begitu aktif
di gereja pun mengetahui
perintah ini. Jadi, apakah
ini sesuatu yang baru seperti dituliskan oleh Yohanes di ayat 34?
Hampir tidak! Perihal saling
mengasihi adalah bagian dari tradisi Yahudi, juga dikenal di dunia
Yunani-Romawi, dan dapat
ditemukan dalam tradisi agama lain. Jadi, baru
seperti apa sih yang dimaksudkan? Atau,
apa yang membedakan perbuatan mengasihi di sini dengan hal mengasihi di tempat
lain? Apa sih keunikannya sehingga
pantas disebut sebagai perintah baru?
Mengasihi mereka
yang mengasihi kita dapat dilakukan oleh siapa pun; mengasihi mereka yang
mendukung atau membantu kita dapat dilakukan oleh siapa pun; mengasihi mereka
yang memiliki hubungan dekat dengan kita merupakan sesuatu yang mudah
dilakukan; mengasihi sesama pada masa-masa senang sudah lumrah; mengasihi
sesama dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang menyenangkan tidak sulit
dilakukan. Tetapi, apakah mengasihi seperti ini cukup? Tidak, dan Yesus
menghendaki para murid saling mengasihi melampaui standar umum dunia. Mengapa? Sebab,
dengan saling mengasihi seperti dimaksud oleh Yesus dalam teks ini, dunia akan
mengenal identitas mereka sebagai murid-murid Yesus, dan kemudian dunia akan memuliakan
Allah. Dengan kata lain, Allah dimuliakan melalui tindakan para murid yang
saling mengasihi. Jadi, hal mengasihi bukan sekadar persoalan emosional atau
perasaan, melainkan suatu tindakan nyata satu terhadap yang lain, dan itu
merupakan perintah yang sebaiknya dilakukan.
Kasih yang
melampaui standar umum dunia di sini adalah seperti kasih yang telah
ditunjukkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya: “sama seperti Aku telah
mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi” (ay. 34b). Jadi,
standar atau pola yang harus diikuti dalam hal mengasihi di sini adalah Yesus
sendiri. Seperti apakah Yesus mengasihi mereka? Dalam Yohanes 13:13-15, Yesus
memberikan teladan pelayanan yang penuh kerendahan hati, dan itu adalah kasih. Kalau
kita juga membaca Yohanes 15:12-14, kita akan menemukan bahwa wujud puncak dari
kasih Yesus adalah pengorbanan-Nya untuk sahabat-sahabat-Nya. “Tidak ada kasih
yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Bahkan, kasih yang telah dinyatakan oleh
Yesus berlaku untuk mereka yang telah mengkhianati atau menyangkal-Nya. Yesus
tetap mengasihi bahkan ketika Dia dikhianati sekalipun. Jadi, saling mengasihi
sebagaimana pola atau teladan Yesus adalah saling melayani dalam kerendahan
hati, dan rela berkorban satu terhadap yang lain, termasuk kepada orang-orang
yang menurut ukuran dunia tidak pantas kita kasihi. Inti dari mengasihi adalah “pemberian
atau penyerahan diri” sepenuhnya untuk saling melayani dan berkorban; dan
itulah perintah baru untuk saling mengasihi di sini. Dengan kasih seperti ini,
dunia akan tahu bahwa mereka adalah murid-murid Yesus (ay. 35), dan pada
akhirnya Allah dimuliakan. Inilah yang disebut “mengasihi untuk kemuliaan Allah”.
Di saat dunia
saat ini sedang mengejar “kemuliaan” bagi dirinya sendiri, Yesus mengajarkan
kita bahwa kemuliaan yang sesungguhnya hanya milik Tuhan. Di saat dunia cenderung
menempuh jalan pintas (shortcut) untuk
mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri, Yesus justru mengajar kita bahwa jalan
yang harus ditempuh untuk pemuliaan diri-Nya adalah jalan yang penuh dengan pengorbanan
(jalan salib).
Di saat dunia saling menggigit dan menerkam, Yesus
mengajarkan kita kasih yang penuh dengan pengorbanan (jalan salib). Dia memerintahkan
kita untuk saling mengasihi, mengasihi tanpa pamrih, mengasihi dengan tidak
menyakiti sesama, mengasihi bahkan ketika dikhianati sekalipun. Untuk apa? Ya,
untuk kemuliaan Allah saja; dunia semakin mengenal kita sebagai pengikut
Kristus dan memuliakan Allah karena kasih yang kita nyatakan di dunia ini. Maka,
pertanyaan refleksi bagi kita adalah apakah kasih yang saya lakukan sejauh ini,
dimotivasi dan dimaksudkan untuk kemuliaan Allah, atau secara terselubung atau
terang-terangan untuk kemuliaan saya sendiri?
--- selamat berefleksi ---
Perenungan yang luar biasa...
ReplyDeleteDerita dan kematian telah menanti namun kasih tetap berkobar...
Di sekitar ada pengkhianat dan penyangkal dan ciut nyali namun kasih tetap berkibar...
Kasih diatas standart adalah bukti Tuhan Allah dipermuliakan
ReplyDelete