Thursday, July 23, 2020

Iri hatikah engkau, karena Aku murah hati? (Matius 20:1-16)


Ayat kunci (ay. 15):
Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?

Perumpamaan ini berbicara tentang “iri hati” atau “kecemburuan”. Artinya, Yesus sengaja menyampaikan perumpaan ini untuk menggambarkan betapa manusia seringkali “cemburu” (iri hati) terhadap orang lain dengan alasan “tidak adil” (tidak fair). Manusia merasa “iri” (tidak senang, tidak bahagia) pada tindakan Allah yang juga bermurah hati kepada orang lain. Perumpamaan ini hendak mengkritik orang-orang (terutama Yahudi) yang merasa diri paling layak mendapatkan “jatah” lebih banyak daripada orang lain yang dianggap lebih kemudian, termasuk di dalamnya pengampunan dosa, kehidupan dan keselamatan. Ini mirip dengan kisah Yunus yang tidak mau kalau Tuhan menyelamatkan penduduk Niniwe sehingga Yunus kemudian melarikan diri dan tidak memperingatkan orang-orang Niniwe tersebut.

Dalam relasi kita dengan sesama, keirihatian merupakan persoalan. Penekanan di sini bukan karena sesama kita mendapatkan berkat yang tidak kita miliki, atau karena mereka mendapatkan lebih daripada kita. Bukan, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah bahwa mereka mendapatkan sama seperti kita yang menurut kita mereka tidak patut menerima sebesar itu. Mereka tidak pantas untuk itu, datang lebih kemudian. Seharusnya mereka mendapat lebih kecil dari yang kita terima, intinya janganlah sama.

Kita cenderung merasa iri dan menyesal akan apa yang diterima orang lain dari Tuhan, atau akan apa yang sudah dicapai oleh orang lain. Dalam beberapa kasus, ada orang, yang karena rasa iri, menyalahkan dan memfitnah sesamanya dan siapa pun yang menurutnya ambil bagian dalam pencapaian orang lain tersebut, termasuk menyalahkan dan memfitnah keluarga serta orang-orang terdekatnya. Fenomena ini sebenarnya terjadi di mana-mana, baik pada zaman dulu maupun pada zaman kontemporer ini. Itulah juga yang tergambar dalam perumpamaan Yesus seperti ditulis oleh Matius. Ada para pekerja yang merasa iri kepada pekerja lainnya, hanya karena upah yang mereka dapakan sama sementara lamanya bekerja berbeda.

Namun, dalam perumpamaan tersebut, ternyata sang pemilik kebun anggur membungkam para pekerja yang keberatan itu: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ay. 15). Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? (ay. 13). Tuan ini hendak mengatakan kepada mereka: “Apakah saya sudah berlaku tidak adil kepadamu? Apakah saya sudah memotong atau mengurangi upahmu? Apakah saya sudah mengambil sebagian upahmu dan memberikannya kepada pekerja yang terakhir datang?” Jawabannya tidak! Orang yang terdahulu tetap menerima haknya 100% sesuai kesepakatan, bahkan tidak ada pemotongan pajak.

Jadi, persoalan utama yang hendak disampaikan dalam perumpamaan ini bukan tentang besar-kecilnya gaji/upah pekerja, bukan juga pada masalah sistem pemberian gaji yang tampaknya tidak fair. Penekanannya adalah pada anugerah Tuhan, kemurahan hati, termasuk pengampunan dosa dan keselamatan yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Kalaupun misalnya dilihat dari perspektif keadilan, maka upah pekerja terdahulu tetap diberikan sesuai kesepakatan, haknya tidak dikurangi satu sen pun; hal yang sama juga kepada pekerja yang datang kemudian bahkan pekerja yang datang di menit-menit terakhir. Jadi, tidak ada pelanggaran kesepakatan, semua dijalankan sesuai mekanisme dan kesepakatan masing-masing pihak.

Nah, perumpamaan ini merupakan kritik tajam bagi orang-orang Yahudi yang selama ini merasa diri lebih layak mendapatkan keselamatan daripada orang-orang non-Yahudi, merasa diri lebih utama dari yang lain sehingga seharusnya lebih dihargai, lebih dihormati, lebih dituakan. Perumpamaan ini juga merupakan kritik bagi orang-orang Yahudi yang memahami keselamatan itu ditentukan oleh status mereka sebagai umat pilihan Tuhan dan oleh usaha manusia untuk mendapatkannya. Tidak, tidak seperti itu. Keselamatan dan sejenisnya adalah kemurahan hati dan kasih karunia Tuhan, dan Tuhan bebas menganugerahkannya kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya, dan manusia tidak boleh mencampuri urusan atau keputusan Tuhan itu.

Selain itu, perumpamaan ini juga berbicara tentang yang terdahulu dan yang terakhir. Terjadi pembalikan, orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir (ay. 16). Perhatikan alur narasi perumpamaannya, pekerja yang upahnya duluan dibayar adalah mereka yang terakhir datang, baru kemudian secara berurutan ke yang datang lebih awal (ay. 8). Yang terakhir menjadi yang terdahulu pembayaran upahnya, dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir. Ini menjadi masalah lagi bagi pekerja yang terdahulu, selain upah yang sama tadi. Perumpamaan ini benar-benar memutarbalikkan ekspektasi manusia, bahkan memaksa kita untuk berpikir ulang tentang “keadilan” dan “harapan/impian” yang kita pahami selama ini. Menurut perumpamaan ini, kita adalah orang-orang yang sederajat/sama dalam penerimaan anugerah Tuhan, tidak ada orang yang diistimewakan untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam kerajaan surga seperti yang diminta oleh ibu anak-anak Zebedeus kepada Yesus supaya kedua anaknya boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Nya dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Nya (Mat. 20:20-21). Persoalnnya ialah bahwa kita tidak “rela” menerima “keadilan” Allah itu, dan seringkali merasa iri dan cemburu (tidak bahagia) ketika Allah juga menganugerahkan pengampunan dan kehidupan kepada orang lain dalam ukuran yang sama. Ternyata, anugerah Tuhan tidak tergantung pada berapa lama kita mengikuti-Nya seperti pemahaman/pertanyaan Petrus sebelumnya (19:27), itu murni kemurahan hati, atau dalam bahasa Martin Luther: Sola Gratia.

Penekanan dari perumpamaan ini nampaknya tidak soal pekerjaan, Yesus hanya memakai persoalan ini untuk menggambarkan Kerajaan Surga (lih. ay. 1). Dengan tegas Yesus hendak mengatakan bahwa Kerajaan Surga itu bukan milik eksklusif orang-orang kaya atau sejenisnya (bnd. Mat. 19:23-26). Kerajaan surga terbuka bagi siapa pun yang mengikuti Dia, terutama bagi mereka mengalami penderitaan karena Kristus. Masuk ke dalam kerajaan surga tidak diperoleh melalui pekerjaan, aksi atau jasa-jasa kita, tetapi oleh karena kemurahan hati atau anugerah Tuhan semata.

Kalau pun kita mencoba menerapkan perumpamaan ini pada pekerjaan, boleh-boleh saja, dan tampaknya masih berlaku. Ketika kita melakukan suatu pekerjaan dan kita dibayar untuk itu sesuai dengan yang seharusnya (UMK atau sejenisnya), perumpamaan ini pun tidak mengurangi hak itu. Dia hanya menunjukkan kemurahan hatinya kepada pekerja yang lebih kemudian dengan memberi mereka upah yang sama, dan sekali lagi itu tidak mengurangi atau mengorbankan hak orang yang terdahulu tadi.

Dalam konteks yang lebih luas, Allah bebas menunjukkan kemurahan hati-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya, dan siapa pun tidak berhak membatasi Allah untuk itu. Kalau misalnya Allah mau memberi kesempatan kepada orang-orang tertentu yang Dia kehendaki untuk berhasil, walaupun mungkin menurut ukuran kita masih belum pantas untuk itu, siapakah kita begitu iri kepadanya sampai berusaha menggagalkannya? Atau, kalau ada orang berhasil dalam usaha atau pekerjaannya, mengapa kita merasa iri dan malah menuduhnya macam-macam seolah-olah dia tidak pantas menerimanya? Bahkan, kalau Allah mau menyelamatkan orang yang tidak seiman dengan kita, siapakah yang dapat melarang Dia? Perlukah kita iri atau cemburu untuk itu? Dalam bingkai kerajaan surga, bukankah lebih baik kalau kita bersukacita dan bersyukur bersama orang tersebut daripada menghabiskan energi untuk mengomel atau bersungut-sungut?

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...