Ayat
kunci (ay. 15):
Tidakkah aku bebas
mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena
aku murah hati?
Perumpamaan ini
berbicara tentang “iri hati” atau “kecemburuan”. Artinya, Yesus sengaja
menyampaikan perumpaan ini untuk menggambarkan betapa manusia seringkali
“cemburu” (iri hati) terhadap orang lain dengan alasan “tidak adil” (tidak
fair). Manusia merasa “iri” (tidak senang, tidak bahagia) pada tindakan Allah
yang juga bermurah hati kepada orang lain. Perumpamaan ini hendak mengkritik
orang-orang (terutama Yahudi) yang merasa diri paling layak mendapatkan “jatah”
lebih banyak daripada orang lain yang dianggap lebih kemudian, termasuk di
dalamnya pengampunan dosa, kehidupan dan keselamatan. Ini mirip dengan kisah
Yunus yang tidak mau kalau Tuhan menyelamatkan penduduk Niniwe sehingga Yunus
kemudian melarikan diri dan tidak memperingatkan orang-orang Niniwe tersebut.
Dalam relasi kita
dengan sesama, keirihatian merupakan persoalan. Penekanan di sini bukan karena
sesama kita mendapatkan berkat yang tidak kita miliki, atau karena mereka
mendapatkan lebih daripada kita. Bukan, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah
bahwa mereka mendapatkan sama seperti kita yang menurut kita mereka tidak patut
menerima sebesar itu. Mereka tidak pantas untuk itu, datang lebih kemudian.
Seharusnya mereka mendapat lebih kecil dari yang kita terima, intinya janganlah
sama.
Kita cenderung
merasa iri dan menyesal akan apa yang diterima orang lain dari Tuhan, atau akan
apa yang sudah dicapai oleh orang lain. Dalam beberapa kasus, ada orang, yang karena rasa iri,
menyalahkan dan memfitnah sesamanya dan siapa pun yang menurutnya ambil bagian
dalam pencapaian orang lain tersebut, termasuk menyalahkan dan memfitnah
keluarga serta orang-orang terdekatnya. Fenomena ini sebenarnya terjadi di
mana-mana, baik pada zaman dulu maupun pada zaman kontemporer ini. Itulah juga
yang tergambar dalam perumpamaan Yesus seperti ditulis oleh Matius. Ada para
pekerja yang merasa iri kepada pekerja lainnya, hanya karena upah yang mereka
dapakan sama sementara lamanya bekerja berbeda.
Namun, dalam
perumpamaan tersebut, ternyata sang pemilik kebun anggur membungkam para
pekerja yang keberatan itu: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut
kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (ay. 15). Tetapi
tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil
terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? (ay. 13). Tuan ini hendak mengatakan
kepada mereka: “Apakah saya sudah berlaku tidak adil kepadamu? Apakah saya
sudah memotong atau mengurangi upahmu? Apakah saya sudah mengambil sebagian
upahmu dan memberikannya kepada pekerja yang terakhir datang?” Jawabannya tidak! Orang yang terdahulu
tetap menerima haknya 100% sesuai kesepakatan, bahkan tidak ada pemotongan
pajak.
Jadi, persoalan
utama yang hendak disampaikan dalam perumpamaan ini bukan tentang
besar-kecilnya gaji/upah pekerja, bukan juga pada masalah sistem pemberian gaji
yang tampaknya tidak fair.
Penekanannya adalah pada anugerah Tuhan, kemurahan hati, termasuk pengampunan
dosa dan keselamatan yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang Dia
kehendaki. Kalaupun misalnya dilihat dari perspektif keadilan, maka upah
pekerja terdahulu tetap diberikan sesuai kesepakatan, haknya tidak dikurangi satu sen pun; hal yang sama juga kepada pekerja
yang datang kemudian bahkan pekerja yang datang di menit-menit terakhir. Jadi,
tidak ada pelanggaran kesepakatan, semua dijalankan sesuai mekanisme dan
kesepakatan masing-masing pihak.
Nah, perumpamaan
ini merupakan kritik tajam bagi orang-orang Yahudi yang selama ini merasa diri
lebih layak mendapatkan keselamatan daripada orang-orang non-Yahudi, merasa diri
lebih utama dari yang lain sehingga seharusnya lebih dihargai, lebih dihormati,
lebih dituakan. Perumpamaan ini juga merupakan kritik bagi orang-orang Yahudi
yang memahami keselamatan itu ditentukan oleh status mereka sebagai umat
pilihan Tuhan dan oleh usaha manusia untuk mendapatkannya. Tidak, tidak seperti
itu. Keselamatan dan sejenisnya adalah kemurahan hati dan kasih karunia Tuhan,
dan Tuhan bebas menganugerahkannya kepada setiap orang yang dikehendaki-Nya,
dan manusia tidak boleh mencampuri urusan atau keputusan Tuhan itu.
Selain itu,
perumpamaan ini juga berbicara tentang yang terdahulu dan yang terakhir.
Terjadi pembalikan, orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang
terdahulu akan menjadi yang terakhir (ay. 16). Perhatikan alur narasi
perumpamaannya, pekerja yang upahnya duluan dibayar adalah mereka yang terakhir
datang, baru kemudian secara berurutan ke yang datang lebih awal (ay. 8). Yang
terakhir menjadi yang terdahulu pembayaran upahnya, dan yang terdahulu akan
menjadi yang terakhir. Ini menjadi masalah lagi bagi pekerja yang terdahulu,
selain upah yang sama tadi. Perumpamaan ini benar-benar memutarbalikkan
ekspektasi manusia, bahkan memaksa kita untuk berpikir ulang tentang “keadilan”
dan “harapan/impian” yang kita pahami selama ini. Menurut perumpamaan ini, kita
adalah orang-orang yang sederajat/sama dalam penerimaan anugerah Tuhan, tidak
ada orang yang diistimewakan untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam
kerajaan surga seperti yang diminta oleh ibu anak-anak Zebedeus kepada Yesus
supaya kedua anaknya boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di
sebelah kanan-Nya dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Nya (Mat. 20:20-21). Persoalnnya
ialah bahwa kita tidak “rela” menerima “keadilan” Allah itu, dan seringkali
merasa iri dan cemburu (tidak bahagia) ketika Allah juga menganugerahkan
pengampunan dan kehidupan kepada orang lain dalam ukuran yang sama. Ternyata, anugerah
Tuhan tidak tergantung pada berapa lama kita mengikuti-Nya seperti pemahaman/pertanyaan
Petrus sebelumnya (19:27), itu murni kemurahan hati, atau dalam bahasa Martin
Luther: Sola Gratia.
Penekanan dari
perumpamaan ini nampaknya tidak soal pekerjaan, Yesus hanya memakai persoalan
ini untuk menggambarkan Kerajaan Surga (lih. ay. 1). Dengan tegas Yesus hendak
mengatakan bahwa Kerajaan Surga itu bukan milik eksklusif orang-orang kaya atau
sejenisnya (bnd. Mat. 19:23-26). Kerajaan surga terbuka bagi siapa pun yang
mengikuti Dia, terutama bagi mereka mengalami penderitaan karena Kristus. Masuk
ke dalam kerajaan surga tidak diperoleh melalui pekerjaan, aksi atau jasa-jasa
kita, tetapi oleh karena kemurahan hati atau anugerah Tuhan semata.
Kalau pun kita
mencoba menerapkan perumpamaan ini pada pekerjaan, boleh-boleh saja, dan tampaknya
masih berlaku. Ketika kita melakukan suatu pekerjaan dan kita dibayar untuk itu
sesuai dengan yang seharusnya (UMK atau sejenisnya), perumpamaan ini pun tidak
mengurangi hak itu. Dia hanya menunjukkan kemurahan hatinya kepada pekerja yang
lebih kemudian dengan memberi mereka upah yang sama, dan sekali lagi itu tidak
mengurangi atau mengorbankan hak orang yang terdahulu tadi.
Dalam konteks yang lebih luas, Allah bebas menunjukkan kemurahan
hati-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya, dan siapa pun tidak berhak
membatasi Allah untuk itu. Kalau misalnya Allah mau memberi kesempatan kepada
orang-orang tertentu yang Dia kehendaki untuk berhasil, walaupun mungkin
menurut ukuran kita masih belum pantas untuk itu, siapakah kita begitu iri kepadanya
sampai berusaha menggagalkannya? Atau, kalau ada orang berhasil dalam usaha
atau pekerjaannya, mengapa kita merasa iri dan malah menuduhnya macam-macam
seolah-olah dia tidak pantas menerimanya? Bahkan, kalau Allah mau menyelamatkan
orang yang tidak seiman dengan kita, siapakah yang dapat melarang Dia? Perlukah
kita iri atau cemburu untuk itu? Dalam
bingkai kerajaan surga, bukankah lebih baik kalau kita bersukacita dan
bersyukur bersama orang tersebut daripada menghabiskan energi untuk mengomel
atau bersungut-sungut?
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?