Saturday, July 18, 2020

Hari Raya Pondok Daun: Penyembahan dan Persembahan kepada Tuhan (Ulangan 16:13-17)


Rancangan Khotbah Minggu, 19 Juli 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

13 Hari raya Pondok Daun haruslah kaurayakan tujuh hari lamanya, apabila engkau selesai mengumpulkan hasil tempat pengirikanmu dan tempat pemerasanmu.
14 Haruslah engkau bersukaria pada hari rayamu itu, engkau ini dan anakmu laki-laki serta anakmu perempuan, hambamu laki-laki dan hambamu perempuan, dan orang Lewi, orang asing, anak yatim dan janda yang di dalam tempatmu.
15 Tujuh hari lamanya harus engkau mengadakan perayaan bagi TUHAN, Allahmu, di tempat yang akan dipilih TUHAN; sebab TUHAN, Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala hasil tanahmu dan dalam segala usahamu, sehingga engkau dapat bersukaria dengan sungguh-sungguh.
16 Tiga kali setahun setiap orang laki-laki di antaramu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, ke tempat yang akan dipilih-Nya, yakni pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh Minggu dan pada hari raya Pondok Daun. Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa,
17 tetapi masing-masing dengan sekedar persembahan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.


Mengapa kita menyembah Tuhan? Mengapa kita memberikan persembahan kepada-Nya? Apakah Tuhan itu memang sangat membutuhkan penyembahan dan persembahan kita? Ah, yang benar sajalah! Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang kedengarannya “konyol”, tetapi justru dapat mendorong kita untuk berefleksi secara mendalam tentang bagaimana selama ini kita menyembah dan memberi persembahan kepada Tuhan. Di antara warga jemaat ada pemahaman yang berkembang bahwa penyembahan dan persembahan kepada Tuhan dilakukan SUPAYA Tuhan memberkatinya. Alhasil, ada warga jemaat (tidak semua) yang sepertinya “taat” kepada Tuhan, rajin ke gereja, aktif dalam kegiatan gerejani, bahkan sering memberikan “persembahan” yang lumayan besar di gereja (persembahan syukur, perpuluhan, persembahan untuk pembangunan, tawaran lelang, dll) dengan tujuan supaya dia bisa menjadi tokoh penting dalam gereja itu, tentu dengan segala implikasinya. Ada juga yang memahami bahwa penyembahan dan persembahan kepada Tuhan ibarat orang yang pergi memancing ke sungai, kolam, atau laut, semakin besar “pancingannya” semakin besar juga ikan yang akan didapatkan (itugu ebua lakhö ba itugu ebua göi gi’a nisöndra). Semakin besar pemberian kita semakin besar pula nanti “berkat” yang kita dapatkan.

Jadi, mengapa kita menyembah Tuhan? Mengapa kita memberikan persembahan kepada-Nya? Ayo, jawab dengan jujur …!

Kalau membaca dan merenungkan teks khotbah pada hari ini, maka kita akan menemukan bahwa umat Tuhan, yaitu bangsa Israel, diperintahkan untuk menyembah dan memberikan persembahan kepada Tuhan bukan supaya mereka diberkati, bukan supaya mereka mendapatkan lebih banyak berkat, melainkan KARENA Tuhan telah terlebih dahulu menolong, menyertai, dan memberkati mereka. Dalam perjalanan dari tanah Mesir menuju tanah Kanaan, Tuhan telah menolong dan menyertai mereka, sekalipun banyak rintangan, kesulitan, dan bahaya yang terus mengancam mereka, pada akhirnya Tuhan telah menolong dan menyertai. Demikian juga pada saat mereka mengalami masa-masa sulit ketika dibuang ke Babel, Tuhan senantiasa memberikan pertolongan-Nya, berbagai upaya bangsa lain untuk “membinasakan” mereka di pembuangan tidak berhasil, sebab Tuhan Allah selalu memiliki cara untuk menyelamatkan mereka. Oleh sebab itu, bangsa Israel harus mensyukuri segala kebaikan, pertolongan, penyertaan, dan berkat Tuhan tersebut, salah satunya melalui pesta hari raya Pondok Daun.

Kalau melihat lebih dekat lagi hari raya Pondok Daun sebagaimana terungkap dalam teks khotbah hari ini (dan di seluruh pasal 16), maka kita akan menemukan tiga hari raya utama yang berlaku di Israel, yaitu hari raya Roti Tidak Beragi (16:16) dan Paskah (16:1), hari raya Tujuh Minggu (16:10), dan hari raya Pondok Daun (16:13). Inti dari perayaan hari raya Pondok Daun ini adalah perintah untuk bersukaria sekaligus mengucap syukur kepada Tuhan atas penyertaan dan berkat yang telah Dia anugerahkan kepada umat-Nya, secara khusus setelah tiba di tanah Kanaan, di mana Tuhan telah memberkati pekerjaan/usaha pertanian mereka (lih. ay. 11, 15). Oleh karena Tuhan telah menyertai dan memberkati mereka, termasuk telah menolong dan menyertai mereka pada masa-masa sulit, maka mereka harus datang menghadap hadirat Tuhan tiga kali setahun dengan membawa persembahan syukur sesuai dengan berkat yang diberikan Tuhan kepada masing-masing (ay. 16-17).

Agak aneh memang, bagaimana mungkin umat Tuhan (dulu dan sekarang) “diperintahkan” untuk bersukaria, apakah hanya untuk “bersukacita” perlu ada perintah untuk itu? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan sederhana bahwa manusia cenderung untuk “terbuai” dalam berkat-berkat yang diterima sehingga lupa untuk bersukaria, dan lupa untuk datang ke hadirat Tuhan untuk mengucap syukur. Banyak juga orang yang “tenggelam” dalam berbagai persoalan atau kesulitan hidup, sampai lupa untuk bersukaria dan datang ke hadirat Tuhan untuk mengucap syukur. Jadi, perintah ini hendak mengajak kita untuk tetap bersukaria dan mengucap syukur, baik ketika mendapatkan berkat dari Tuhan, maupun pada saat-saat sulit. Intinya adalah rayakanlah kehidupanmu, nikmatilah dalam sukacita, baik dalam suka maupun dalam duka. Ini juga sebagai cara untuk tetap semangat menjalani kehidupan, termasuk berani menghadapi kesulitan.

Pokok kedua yang kita refleksikan dalam teks renungan ini adalah soal solidaritas dan persekutuan. Merayakan hari raya Pondok Daun bukan sekadar bersukaria dan datang ke hadirat Tuhan untuk mengucap syukur (sambil membawa persembahan), melainkan juga kesempatan untuk menunjukkan solidaritas dan memperkokoh kembali persekutuan umat Tuhan. Ini penting, sebab umat Tuhan, baik dulu maupun sekarang, bisa saja hanya memikirkan dan mengusahakan sukacita serta berkat untuk dirinya sendiri, apalagi di era kontemporer ini, persaingan hidup begitu keras. Teks khotbah pada hari ini hendak mendorong kita untuk menunjukkan solidaritas terhadap mereka yang membutuhkan, ada kesempatan bagi semua orang untuk menikmati sukacita hidupnya, di ayat 14 disebutkan beberapa kelompok yang selama ini cukup terpinggirkan: hamba laki-laki, hamba perempuan, orang Lewi (yang tidak memiliki tanah warisan), orang asing, yatim dan janda. Ini juga kesempatan untuk memperkokoh kembali persekutuan yang mungkin saja sempat “renggang” karena berbagai faktor, terutama dalam masyarakat modern yang terlalu dikuasai oleh berbagai kesibukan. Ingat, perayaan ini tujuh hari lamanya, jadi ada kesempatan yang lebih luas untuk menghidupkan kembali roh atau semangat persekutuan yang mungkin saja sempat meredup.

Rayakanlah kehidupanmu, bersukarialah, dan mengucap syukurlah kepada Tuhan, sebab kita telah menerima banyak pertolongan dan berkat Tuhan, termasuk pada masa-masa sulit karena Pandemi Covid-19. Hidup ini adalah anugerah, entah sukacita maupun dukacita, entah kebaikan ataupun kesulitan. Nikmati dan rayakanlah itu. Wujudnyatakanlah penyembahan dan persembahanmu kepada Tuhan dengan menunjukkan solidaritas terhadap sesama, dan dengan menghidupkan kembali semangat persekutuan di antara kita. Itulah inti dari perayaan hari raya Pondok Daun.

1 comment:

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...