Rancangan Khotbah Minggu, 19 Juli 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
13 Hari raya Pondok Daun haruslah kaurayakan
tujuh hari lamanya, apabila engkau selesai mengumpulkan hasil tempat
pengirikanmu dan tempat pemerasanmu.
14 Haruslah engkau bersukaria pada hari rayamu
itu, engkau ini dan anakmu laki-laki serta anakmu perempuan, hambamu laki-laki
dan hambamu perempuan, dan orang Lewi, orang asing, anak yatim dan janda yang
di dalam tempatmu.
15 Tujuh hari lamanya harus engkau mengadakan
perayaan bagi TUHAN, Allahmu, di tempat yang akan dipilih TUHAN; sebab TUHAN,
Allahmu, akan memberkati engkau dalam segala hasil tanahmu dan dalam segala
usahamu, sehingga engkau dapat bersukaria dengan sungguh-sungguh.
16 Tiga kali setahun setiap orang laki-laki di
antaramu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, ke tempat yang akan
dipilih-Nya, yakni pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh
Minggu dan pada hari raya Pondok Daun. Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan
tangan hampa,
17 tetapi masing-masing dengan sekedar persembahan, sesuai dengan
berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu.
Mengapa
kita menyembah Tuhan? Mengapa kita memberikan persembahan kepada-Nya? Apakah Tuhan
itu memang sangat membutuhkan penyembahan dan persembahan kita? Ah, yang benar
sajalah! Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang kedengarannya “konyol”, tetapi justru
dapat mendorong kita untuk berefleksi secara mendalam tentang bagaimana selama
ini kita menyembah dan memberi persembahan kepada Tuhan. Di antara warga jemaat
ada pemahaman yang berkembang bahwa penyembahan dan persembahan kepada Tuhan
dilakukan SUPAYA Tuhan memberkatinya. Alhasil, ada warga jemaat (tidak semua) yang
sepertinya “taat” kepada Tuhan, rajin ke gereja, aktif dalam kegiatan gerejani,
bahkan sering memberikan “persembahan” yang lumayan besar di gereja (persembahan
syukur, perpuluhan, persembahan untuk pembangunan, tawaran lelang, dll) dengan tujuan
supaya dia bisa menjadi tokoh penting dalam gereja itu, tentu dengan segala
implikasinya. Ada juga yang memahami bahwa penyembahan dan persembahan kepada
Tuhan ibarat orang yang pergi memancing ke sungai, kolam, atau laut, semakin
besar “pancingannya” semakin besar juga ikan yang akan didapatkan (itugu ebua lakhö ba itugu ebua göi gi’a
nisöndra). Semakin besar pemberian kita semakin besar pula nanti “berkat”
yang kita dapatkan.
Jadi,
mengapa kita menyembah Tuhan? Mengapa kita memberikan persembahan kepada-Nya? Ayo,
jawab dengan jujur …!
Kalau
membaca dan merenungkan teks khotbah pada hari ini, maka kita akan menemukan
bahwa umat Tuhan, yaitu bangsa Israel, diperintahkan untuk menyembah dan
memberikan persembahan kepada Tuhan bukan supaya mereka diberkati, bukan supaya
mereka mendapatkan lebih banyak berkat, melainkan KARENA Tuhan telah terlebih
dahulu menolong, menyertai, dan memberkati mereka. Dalam perjalanan dari tanah
Mesir menuju tanah Kanaan, Tuhan telah menolong dan menyertai mereka, sekalipun
banyak rintangan, kesulitan, dan bahaya yang terus mengancam mereka, pada
akhirnya Tuhan telah menolong dan menyertai. Demikian juga pada saat mereka
mengalami masa-masa sulit ketika dibuang ke Babel, Tuhan senantiasa memberikan
pertolongan-Nya, berbagai upaya bangsa lain untuk “membinasakan” mereka di
pembuangan tidak berhasil, sebab Tuhan Allah selalu memiliki cara untuk
menyelamatkan mereka. Oleh sebab itu, bangsa Israel harus mensyukuri segala
kebaikan, pertolongan, penyertaan, dan berkat Tuhan tersebut, salah satunya
melalui pesta hari raya Pondok Daun.
Kalau
melihat lebih dekat lagi hari raya Pondok Daun sebagaimana terungkap dalam teks
khotbah hari ini (dan di seluruh pasal 16), maka kita akan menemukan tiga hari
raya utama yang berlaku di Israel, yaitu hari raya Roti Tidak Beragi (16:16) dan
Paskah (16:1), hari raya Tujuh Minggu (16:10), dan hari raya Pondok Daun
(16:13). Inti dari perayaan hari raya Pondok Daun ini adalah perintah untuk
bersukaria sekaligus mengucap syukur kepada Tuhan atas penyertaan dan berkat
yang telah Dia anugerahkan kepada umat-Nya, secara khusus setelah tiba di tanah
Kanaan, di mana Tuhan telah memberkati pekerjaan/usaha pertanian mereka (lih.
ay. 11, 15). Oleh karena Tuhan telah menyertai dan memberkati mereka, termasuk telah
menolong dan menyertai mereka pada masa-masa sulit, maka mereka harus datang
menghadap hadirat Tuhan tiga kali setahun dengan membawa persembahan syukur
sesuai dengan berkat yang diberikan Tuhan kepada masing-masing (ay. 16-17).
Agak
aneh memang, bagaimana mungkin umat Tuhan (dulu dan sekarang) “diperintahkan”
untuk bersukaria, apakah hanya untuk “bersukacita” perlu ada perintah untuk
itu? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan sederhana bahwa manusia cenderung untuk
“terbuai” dalam berkat-berkat yang diterima sehingga lupa untuk bersukaria, dan
lupa untuk datang ke hadirat Tuhan untuk mengucap syukur. Banyak juga orang
yang “tenggelam” dalam berbagai persoalan atau kesulitan hidup, sampai lupa
untuk bersukaria dan datang ke hadirat Tuhan untuk mengucap syukur. Jadi,
perintah ini hendak mengajak kita untuk tetap bersukaria dan mengucap syukur,
baik ketika mendapatkan berkat dari Tuhan, maupun pada saat-saat sulit. Intinya
adalah rayakanlah kehidupanmu, nikmatilah dalam sukacita, baik dalam suka
maupun dalam duka. Ini juga sebagai cara untuk tetap semangat menjalani
kehidupan, termasuk berani menghadapi kesulitan.
Pokok
kedua yang kita refleksikan dalam teks renungan ini adalah soal solidaritas dan
persekutuan. Merayakan hari raya Pondok Daun bukan sekadar bersukaria dan
datang ke hadirat Tuhan untuk mengucap syukur (sambil membawa persembahan), melainkan
juga kesempatan untuk menunjukkan solidaritas dan memperkokoh kembali
persekutuan umat Tuhan. Ini penting, sebab umat Tuhan, baik dulu maupun
sekarang, bisa saja hanya memikirkan dan mengusahakan sukacita serta berkat
untuk dirinya sendiri, apalagi di era kontemporer ini, persaingan hidup begitu
keras. Teks khotbah pada hari ini hendak mendorong kita untuk menunjukkan
solidaritas terhadap mereka yang membutuhkan, ada kesempatan bagi semua orang
untuk menikmati sukacita hidupnya, di ayat 14 disebutkan beberapa kelompok yang
selama ini cukup terpinggirkan: hamba laki-laki, hamba perempuan, orang Lewi
(yang tidak memiliki tanah warisan), orang asing, yatim dan janda. Ini juga
kesempatan untuk memperkokoh kembali persekutuan yang mungkin saja sempat “renggang”
karena berbagai faktor, terutama dalam masyarakat modern yang terlalu dikuasai
oleh berbagai kesibukan. Ingat, perayaan ini tujuh hari lamanya, jadi ada
kesempatan yang lebih luas untuk menghidupkan kembali roh atau semangat
persekutuan yang mungkin saja sempat meredup.
Rayakanlah
kehidupanmu, bersukarialah, dan mengucap syukurlah kepada Tuhan, sebab kita
telah menerima banyak pertolongan dan berkat Tuhan, termasuk pada masa-masa
sulit karena Pandemi Covid-19. Hidup ini adalah anugerah, entah sukacita maupun
dukacita, entah kebaikan ataupun kesulitan. Nikmati dan rayakanlah itu. Wujudnyatakanlah penyembahan dan persembahanmu
kepada Tuhan dengan menunjukkan solidaritas terhadap sesama, dan dengan
menghidupkan kembali semangat persekutuan di antara kita. Itulah inti dari
perayaan hari raya Pondok Daun.
Terimakasih pak🙏
ReplyDelete