Friday, July 17, 2020

Pendampingan dan Percakapan Pastoral: Beberapa Catatan Pengantar


Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


Arti Kehadiran Konselor Pastoral bagi Jemaat
Pendampingan pastoral dilakukan atas dasar pemahaman teologis bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kej. 1:26a). Kita percaya bahwa Allah begitu peduli terhadap kebutuhan dan pergumulan umat manusia sejak dulu, seperti yang pernah Dia sampaikan kepada Musa: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka” (Kel. 3:7).

Yesus pun telah menunjukkan kepedulian-Nya terhadap kebutuhan dan pergumulan umat manusia, Dia digerakkan oleh belas kasihan ilahi untuk melayani orang banyak. “Demikianlah Yesus berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan. Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala” (Mat. 9:35-36).


Kini, dalam ketidakhadiran fisik Allah, Dia dapat hadir melalui orang-orang yang mengambil bagian dalam pendampingan pastoral, melalui kita yang terus menyatakan kepedulian ilahi terhadap dunia dan umat manusia yang membutuhkan pertolongan, dan saat ini sedang berada dalam pergumulan atau kesakitan yang luar biasa. Dalam beberapa kasus, kehadiran kita sebagai konselor Kristen, atau sebagai hamba Tuhan, amat berarti bagi jemaat, walaupun mungkin kita tidak dapat berbuat banyak hal pada saat itu. Melalui kehadiran kita pada saat-saat krisis tersebut, jemaat dapat merasakan kehadiran Allah, yaitu bahwa dalam situasi sulit pun Allah tetap hadir bagi mereka. Itu sudah lebih dari cukup, sebab mereka merasa bahwa ternyata Tuhan hadir bersama dengan mereka pada masa-masa sulit.

Selain menunjukkan kepedulian Tuhan, kehadiran konselor Kristen juga menunjukkan kepedulian komunitas Kristen satu terhadap yang lain. Orang Kristen mula-mula dapat bertahan dalam situasi yang amat sulit karena mereka saling mengasihi dan saling menopang. Demikianlah juga jemaat yang sedang menghadapi berbagai persoalan hidup, mereka membutuhkan kasih dan dukungan sesamanya, dan kehadiran kita dapat menjadi tanda bahwa kita saling memperhatikan, saling peduli, sebagaimana Tuhan sendiri amat memperhatikan dan peduli terhadap dunia dan umat manusia.

Dalam situasi sulit saat ini karena pandemi Covid-19, kehadiran fisik amat dibatasi, maka kita dapat hadir bersama jemaat secara virtual, tentu dengan tetap mempertimbangkan situasi jemaat itu sendiri. Pada awal bulan Mei 2020 yang lalu, ada beberapa warga jemaat yang berkata: “Kami sadar bahwa pertemuan fisik sebisa mungkin jangan dilakukan, tetapi kami membutuhkan kehadiran gembala kami, paling tidak gembala kami hadir dengan mengirimkan pesan-pesan yang meneguhkan kepada kami melalui SMS/WA.” Jadi, kita dapat hadir di tengah-tengah jemaat baik secara fisik, maupun secara virtual, bahkan melalui pesan/teks SMS/WA. Dengan melakukan ini, kita menghadirkan Allah di tengah-tengah jemaat, bahwa Allah amat peduli dengan kehidupan mereka.

Beberapa Godaan Mendasar dalam Percakapan Pastoral
(1)   Godaan pertama, konselor terlalu banyak berbicara, apalagi konselor yang berlatar belakang pendeta, sudah terbiasa berkhotbah dengan "keahlian" berbicaranya. Akibatnya, kesempatan untuk mendengarkan konseli justru menjadi kesempatan untuk berbicara/berkhotbah. Oleh sebab itu, belajar dan berlatihlah menahan diri dari kebiasaan berbicara banyak untuk dapat mendengarkan dengan efektif. Berbicaralah atau bertanyalah ketika itu penting dilakukan sesuai kebutuhan/pergumulan konseli, bukan berdasarkan selera konselor.
(2)   Godaan kedua, konselor menawarkan solusi, apalagi dalam konteks di mana pendeta dianggap sebagai orang yang tahu segala-galanya, kalau bisa "bernubuat/meramal". Konselor adalah pendamping yang mendampingi konseli menemukan solusi atas persoalannya, bukan pemberi solusi atas persoalan yang dihadapi konseli. Kita mau konseli diberdayakan untuk mandiri dan dewasa dalam menemukan jalan terbaik atas masalahnya, jangan membangun hubungan ketergantungan antara konseli-konselor.
(3)   Godaan ketiga, comparing dan generalizing (membandingkan dan generalisasi). Kecenderungan ini terjadi dengan membandingkan kasus konseli yang sedang kita tangani dengan kasus lain yang serupa yang pernah kita tangani, atau pernah kita dengar. Alhasil, kita terjebak dalam pemahaman yang menyamaratakan kasus atau persoalan yang dihadapi oleh konseli. Memang ada beberapa kesamaan kasus atau persoalan, tetapi ingatlah bahwa setiap orang memiliki keunikan sendiri dalam menanggapi dan menghadapi persoalannya, bahkan setiap kesempatan pendampingan pun memiliki kekhasannya masing-masing.
(4)   Godaan keempat, spiritualizing (merohanikan). Banyak konselor terjebak dalam hal spiritualisasi ini, dengan segera menghubungkan pergumulan konseli dengan teks-teks Alkitab (lebih banyak tentang hubungan antara pergumulan hidup dan dosa), siraman rohani (biasanya menasihati), dan doa (kadang-kadang doa bersifat manipulatif), padahal masih belum mengeksplorasi apa sesungguhnya persoalan yang sedang dihadapi oleh konseli. Dengarkan dengan penuh perhatian dan empati apa yang diceritakan oleh konseli, lakukan eksplorasi sesuai kebutuhan konseli, baru kemudian berikan pendampingan spiritual.

Klarifikasi dan Konfirmasi dalam Percakapan Pastoral
Kita sudah tahu bahwa "mendengarkan" merupakan hal yang sangat mendasar dan amat penting dalam percakapan pastoral, itulah yang kita kenal dengan istilah "the art of listening" (seni mendengarkan). Orang yang sulit "mendengarkan" orang lain akan mudah terjebak pada godaan-godaan yang umumnya terjadi dalam percakapan pastoral, yaitu berbicara terlalu banyak, menawarkan solusi, comparing & generalizing, serta spiritualizing.

Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kebiasaan kita mengartikan atau pun menafsir apa maksud dari konseli kita, kebiasaan mengambil kesimpulan atas pergumulan yang sedang dihadapinya menurut tafsiran kita sendiri. Hal ini memang tak terhindarkan mengingat para pendeta adalah para penafsir ulung yang sudah belajar dan berlatih melakukan tafsiran kitab suci ketika kuliah teologi. Masalahnya adalah kebiasaan untuk menafsir ini amat memengaruhi kita ketika mendengarkan orang lain, dan biasanya cenderung subjektif.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan menafsir ini, malah menurut Anton T. Boisen, konselor sebaiknya membaca (dan menafsirkan) manusia layaknya membaca (dan menafsirkan) dokumen tertulis, dengan istilah "the living human document" (dokumen manusia yang hidup). Tetapi, tafsiran kita atas diri manusia akan menjadi persoalan ketika kita menilai atau mengartikan pesan yang hendak disampaikan oleh konseli tanpa melakukan klarifikasi dan konfirmasi atas informasi yang kita dapatkan dari dia. Tanpa klarifikasi dan konfirmasi kepada konseli, maka akan muncul penilaian atau tafsiran subjektif. Itulah sebabnya, banyak konselor yang memiliki asumsi-asumsi yang kadang-kadang meleset dari maksud yang sebenarnya. Di sinilah pentingnya klarifikasi dan konfirmasi tadi sebelum kita menyimpulkan seperti apa pergumulan yang sedang dihadapi oleh konseli kita. Dengan klarifikasi dan konfirmasi seperti ini, kita akan terbuka terhadap koreksi yang mungkin saja disampaikan oleh orang lain, terhindar dari kesalahpahaman, sekaligus menolong kita untuk memahami lebih dalam pergumulan yang sedang dialaminya. Jadi, lakukanlah klarifikasi dan konfirmasi atas informasi atau situasi yang diungkapkan oleh konseli kita untuk memastikan bahwa kita sungguh-sungguh mendengarkan dia dengan empati pastoral yang luar biasa.

Doa dalam Percakapan Pastoral
Siapa sih yang tidak suka berdoa, apalagi hamba Tuhan (konselor Kristen)? Siapa sih yang tidak butuh didoakan? Intinya, kita butuh doa, dan orang lain (pasti) membutuhkannya juga.

Benarkah demikian? Benar, tetapi dalam rangka percakapan pastoral, kita harus memastikan bahwa konseli kita membutuhkannya saat itu. Doa memang “gratis” tetapi bukan sesuatu yang murahan, bukan sesuatu yang bisa diobral begitu saja. Doa merupakan komunikasi kita yang paling intim dengan Tuhan, baik secara pribadi maupun bersama dengan orang lain, dalam hal ini bersama dengan konseli. Apa yang sebaiknya kita lakukan sebelum berdoa bersama konseli kita?
(1)   Pastikan dulu bahwa kita sungguh-sungguh memahami pergumulan konseli melalui percakapan pastoral;
(2)   Berikan “kebebasan” atau “pilihan” kepada konseli apakah dia bersedia didoakan pada saat itu juga, atau didoakan di tempat kita nanti, atau malah tidak mau didoakan. Dalam beberapa kasus, ada konseli yang tidak mau didoakan oleh karena berbagai faktor, dan kita mesti menghargai pilihannya tersebut;
(3)   Kalau konseli mau didoakan, maka berikanlah kesempatan kepada konseli untuk memberitahukan apa saja pokok doa yang ingin dipanjatkan kepada Tuhan;
(4)   Kalau memungkinkan, berilah kesempatan kepada konseli untuk memulai berdoa, baru kemudian kita teruskan/akhiri.
(5)   Berdoalah bersama konseli sesuai dengan pokok-pokok doa yang dia minta, singkat tetapi penuh kesungguhan dan ketulusan hati.

Dengan demikian, kita sungguh-sungguh melakukan percakapan pastoral sekaligus doa yang empatik.

Berempati dengan Sistem Kepercayaan dan Teologi Konseli
Apa sih yang membedakan pendampingan pastoral dengan konseling umum lainnya? Cukup banyak, salah satunya yang terpenting adalah perihal teologi. Konselor Kristen (seharusnya) memiliki latar belakang pendidikan teologi tertentu, sebab ini merupakan modal dasar dalam melakukan pendampingan pastoral, sekaligus sebagai pembeda pendampingan yang kita lakukan dengan kegiatan konseling umum lainnya. Kita melaksanakan pendampingan pastoral dengan dasar dan orientasi teologi serta spirit teologi tertentu. Semakin sering kita melaksanakan pendampingan pastoral, semakin banyak juga pengetahuan dan pengalaman hidup yang akan memperkaya teologi kita.

Dalam faktanya, kita akan berjumpa dengan orang-orang (konseli) dengan sistem keyakinan atau kepercayaan yang beragam, bahkan dengan orang-orang yang mungkin saja memiliki latar belakang pendidikan teologi yang berbeda dengan kita. Tetapi, dengan modal dasar teologi yang kita miliki, (seharusnya) tidak sulit bagi kita untuk “mengakomodasi” berbagai sistem kepercayaan dan warna teologi orang-orang yang kita dampingi, sehingga kita dapat melakukan pendampingan pastoral secara efektif sesuai dengan sistem kepercayaan dan warna teologi mereka. Kita tidak dapat melayani konseli dengan efektif jika kita memberlakukan atau memaksakan sistem kepercayaan kita sendiri kepada mereka, sebaiknya kita menggunakan sistem kepercayaan mereka untuk melayani mereka.

Mengakomodasi sistem kepercayaan konseli dalam momennya sendiri tidak berarti bahwa kita mengkompromikan teologi kita, tetapi lebih sebagai cara yang cukup efektif bagi kita untuk membantu mereka melewati masa-masa sulit sesuai dengan sistem kepercayaan yang mereka miliki. Sebab, bagaimana mungkin kita berharap mereka menerima kita sebagaimana adanya kalau kita sendiri tidak bersedia menerima mereka sebagaimana adanya? Maka, hindarilah perdebatan teologi dengan konseli, sebab kita hadir dalam rangka pendampingan pastoral, bukan dalam rangka perdebatan teologi dan sistem kepercayaan. Berilah mereka pilihan, kesempatan, dan kebebasan untuk menghayati kehidupan dan kesulitannya sesuai dengan kapasitas mereka, bukan menurut kompetensi dan standar teologi yang kita miliki. Peganglah dengan kuat teologi kita masing-masing, tetapi tetaplah bersedia untuk membantu konseli kita dalam sistem kepercayaan dan teologinya sehingga mereka lebih mudah menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.

Perkataan Rasul Paulus kepada jemaat Korintus tentang bagaimana “memenangkan” orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi serta orang-orang lemah, akan sangat menolong kita untuk berempati dan berjalan bersama (journey) dengan konseli kita menurut sistem kepercayaan mereka sendiri (lih. 1 Kor. 9:20-23).

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...