Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Arti Kehadiran Konselor Pastoral bagi
Jemaat
Pendampingan pastoral
dilakukan atas dasar pemahaman teologis bahwa manusia diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah. Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita” (Kej. 1:26a). Kita percaya bahwa Allah begitu peduli
terhadap kebutuhan dan pergumulan umat manusia sejak dulu, seperti yang pernah
Dia sampaikan kepada Musa: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan
umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan
oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka” (Kel.
3:7).
Yesus pun telah
menunjukkan kepedulian-Nya terhadap kebutuhan dan pergumulan umat manusia, Dia digerakkan
oleh belas kasihan ilahi untuk melayani orang banyak. “Demikianlah Yesus
berkeliling ke semua kota dan desa; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan
memberitakan Injil Kerajaan Sorga serta melenyapkan segala penyakit dan
kelemahan. Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan
kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak
bergembala” (Mat. 9:35-36).
Kini, dalam ketidakhadiran
fisik Allah, Dia dapat hadir melalui orang-orang yang mengambil bagian dalam pendampingan
pastoral, melalui kita yang terus menyatakan kepedulian ilahi terhadap dunia
dan umat manusia yang membutuhkan pertolongan, dan saat ini sedang berada dalam
pergumulan atau kesakitan yang luar biasa. Dalam beberapa kasus, kehadiran kita
sebagai konselor Kristen, atau sebagai hamba Tuhan, amat berarti bagi jemaat,
walaupun mungkin kita tidak dapat berbuat banyak hal pada saat itu. Melalui kehadiran
kita pada saat-saat krisis tersebut, jemaat dapat merasakan kehadiran Allah, yaitu
bahwa dalam situasi sulit pun Allah tetap hadir bagi mereka. Itu sudah lebih
dari cukup, sebab mereka merasa bahwa ternyata Tuhan hadir bersama dengan
mereka pada masa-masa sulit.
Selain menunjukkan
kepedulian Tuhan, kehadiran konselor Kristen juga menunjukkan kepedulian
komunitas Kristen satu terhadap yang lain. Orang Kristen mula-mula dapat
bertahan dalam situasi yang amat sulit karena mereka saling mengasihi dan saling
menopang. Demikianlah juga jemaat yang sedang menghadapi berbagai persoalan
hidup, mereka membutuhkan kasih dan dukungan sesamanya, dan kehadiran kita
dapat menjadi tanda bahwa kita saling memperhatikan, saling peduli, sebagaimana
Tuhan sendiri amat memperhatikan dan peduli terhadap dunia dan umat manusia.
Dalam situasi
sulit saat ini karena pandemi Covid-19, kehadiran fisik amat dibatasi, maka
kita dapat hadir bersama jemaat secara virtual, tentu dengan tetap
mempertimbangkan situasi jemaat itu sendiri. Pada awal bulan Mei 2020 yang
lalu, ada beberapa warga jemaat yang berkata: “Kami sadar bahwa pertemuan fisik
sebisa mungkin jangan dilakukan, tetapi kami membutuhkan kehadiran gembala kami,
paling tidak gembala kami hadir dengan mengirimkan pesan-pesan yang meneguhkan kepada
kami melalui SMS/WA.” Jadi, kita dapat hadir di tengah-tengah jemaat baik secara
fisik, maupun secara virtual, bahkan melalui pesan/teks SMS/WA. Dengan melakukan
ini, kita menghadirkan Allah di tengah-tengah jemaat, bahwa Allah amat peduli
dengan kehidupan mereka.
Beberapa Godaan Mendasar dalam
Percakapan Pastoral
(1) Godaan pertama, konselor terlalu banyak berbicara, apalagi
konselor yang berlatar belakang pendeta, sudah terbiasa berkhotbah dengan
"keahlian" berbicaranya. Akibatnya, kesempatan untuk mendengarkan
konseli justru menjadi kesempatan untuk berbicara/berkhotbah. Oleh sebab itu,
belajar dan berlatihlah menahan diri dari kebiasaan berbicara banyak untuk dapat
mendengarkan dengan efektif. Berbicaralah atau bertanyalah ketika itu penting
dilakukan sesuai kebutuhan/pergumulan konseli, bukan berdasarkan selera
konselor.
(2) Godaan kedua, konselor menawarkan solusi, apalagi dalam
konteks di mana pendeta dianggap sebagai orang yang tahu segala-galanya, kalau
bisa "bernubuat/meramal". Konselor adalah pendamping yang mendampingi
konseli menemukan solusi atas persoalannya, bukan pemberi solusi atas persoalan yang dihadapi konseli. Kita mau konseli diberdayakan untuk mandiri dan dewasa dalam menemukan jalan terbaik atas masalahnya, jangan membangun hubungan ketergantungan antara konseli-konselor.
(3) Godaan ketiga, comparing dan generalizing (membandingkan dan generalisasi). Kecenderungan ini
terjadi dengan membandingkan kasus konseli yang sedang kita tangani dengan
kasus lain yang serupa yang pernah kita tangani, atau pernah kita dengar. Alhasil,
kita terjebak dalam pemahaman yang menyamaratakan kasus atau persoalan yang
dihadapi oleh konseli. Memang ada beberapa kesamaan kasus atau persoalan,
tetapi ingatlah bahwa setiap orang memiliki keunikan sendiri dalam menanggapi
dan menghadapi persoalannya, bahkan setiap kesempatan pendampingan pun memiliki
kekhasannya masing-masing.
(4) Godaan keempat, spiritualizing (merohanikan). Banyak konselor terjebak dalam hal
spiritualisasi ini, dengan segera menghubungkan pergumulan konseli dengan
teks-teks Alkitab (lebih banyak tentang hubungan antara pergumulan hidup dan
dosa), siraman rohani (biasanya menasihati), dan doa (kadang-kadang doa
bersifat manipulatif), padahal masih belum mengeksplorasi apa sesungguhnya
persoalan yang sedang dihadapi oleh konseli. Dengarkan dengan penuh perhatian
dan empati apa yang diceritakan oleh konseli, lakukan eksplorasi sesuai
kebutuhan konseli, baru kemudian berikan pendampingan spiritual.
Klarifikasi dan Konfirmasi dalam
Percakapan Pastoral
Kita sudah tahu bahwa
"mendengarkan" merupakan hal yang sangat mendasar dan amat penting
dalam percakapan pastoral, itulah yang kita kenal dengan istilah "the
art of listening" (seni mendengarkan). Orang yang sulit
"mendengarkan" orang lain akan mudah terjebak pada godaan-godaan yang
umumnya terjadi dalam percakapan pastoral, yaitu berbicara terlalu
banyak, menawarkan solusi, comparing & generalizing, serta spiritualizing.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah
kebiasaan kita mengartikan atau pun menafsir
apa maksud dari konseli kita, kebiasaan mengambil kesimpulan atas pergumulan yang sedang dihadapinya menurut
tafsiran kita sendiri. Hal ini memang tak
terhindarkan mengingat para pendeta adalah para penafsir ulung yang sudah belajar dan berlatih melakukan tafsiran kitab suci
ketika kuliah teologi. Masalahnya adalah kebiasaan untuk menafsir ini amat
memengaruhi kita ketika mendengarkan orang lain, dan biasanya cenderung subjektif.
Sebenarnya tidak ada yang
salah dengan menafsir ini, malah menurut Anton T. Boisen, konselor sebaiknya membaca (dan menafsirkan) manusia layaknya membaca (dan menafsirkan) dokumen tertulis, dengan istilah "the living human document" (dokumen manusia yang hidup). Tetapi, tafsiran kita atas diri manusia akan menjadi persoalan ketika kita menilai
atau mengartikan pesan yang hendak disampaikan oleh konseli tanpa melakukan
klarifikasi dan konfirmasi atas
informasi yang kita dapatkan dari dia. Tanpa klarifikasi dan konfirmasi kepada
konseli, maka akan muncul penilaian
atau tafsiran subjektif. Itulah sebabnya, banyak konselor yang memiliki asumsi-asumsi
yang kadang-kadang meleset dari maksud yang sebenarnya. Di sinilah pentingnya
klarifikasi dan konfirmasi tadi
sebelum kita menyimpulkan seperti apa pergumulan yang sedang
dihadapi oleh konseli kita. Dengan klarifikasi dan konfirmasi seperti
ini, kita akan terbuka terhadap koreksi yang mungkin saja disampaikan oleh
orang lain, terhindar dari kesalahpahaman, sekaligus menolong kita untuk
memahami lebih dalam pergumulan yang sedang dialaminya. Jadi, lakukanlah
klarifikasi dan konfirmasi atas informasi atau situasi yang diungkapkan oleh
konseli kita untuk memastikan bahwa kita sungguh-sungguh mendengarkan dia
dengan empati pastoral yang luar biasa.
Doa dalam Percakapan Pastoral
Siapa sih yang
tidak suka berdoa, apalagi hamba Tuhan (konselor Kristen)? Siapa sih yang tidak
butuh didoakan? Intinya, kita butuh doa, dan orang lain (pasti) membutuhkannya
juga.
Benarkah
demikian? Benar, tetapi dalam rangka percakapan pastoral, kita harus memastikan
bahwa konseli kita membutuhkannya saat itu. Doa memang “gratis” tetapi bukan
sesuatu yang murahan, bukan sesuatu yang bisa diobral begitu saja. Doa
merupakan komunikasi kita yang paling intim dengan Tuhan, baik secara pribadi
maupun bersama dengan orang lain, dalam hal ini bersama dengan konseli. Apa
yang sebaiknya kita lakukan sebelum berdoa bersama konseli kita?
(1)
Pastikan
dulu bahwa kita sungguh-sungguh memahami pergumulan konseli melalui percakapan
pastoral;
(2)
Berikan
“kebebasan” atau “pilihan” kepada konseli apakah dia bersedia didoakan pada
saat itu juga, atau didoakan di tempat kita nanti, atau malah tidak mau
didoakan. Dalam beberapa kasus, ada konseli yang tidak mau didoakan oleh karena
berbagai faktor, dan kita mesti menghargai pilihannya tersebut;
(3)
Kalau
konseli mau didoakan, maka berikanlah kesempatan kepada konseli untuk
memberitahukan apa saja pokok doa yang ingin dipanjatkan kepada Tuhan;
(4)
Kalau
memungkinkan, berilah kesempatan kepada konseli untuk memulai berdoa, baru kemudian
kita teruskan/akhiri.
(5)
Berdoalah
bersama konseli sesuai dengan pokok-pokok doa yang dia minta, singkat tetapi
penuh kesungguhan dan ketulusan hati.
Dengan
demikian, kita sungguh-sungguh melakukan percakapan pastoral sekaligus doa yang
empatik.
Berempati dengan Sistem Kepercayaan
dan Teologi Konseli
Apa sih yang
membedakan pendampingan pastoral dengan konseling umum lainnya? Cukup banyak,
salah satunya yang terpenting adalah perihal teologi. Konselor Kristen (seharusnya)
memiliki latar belakang pendidikan teologi tertentu, sebab ini merupakan modal dasar
dalam melakukan pendampingan pastoral, sekaligus sebagai pembeda pendampingan
yang kita lakukan dengan kegiatan konseling umum lainnya. Kita melaksanakan pendampingan
pastoral dengan dasar dan orientasi teologi serta spirit teologi tertentu. Semakin sering kita melaksanakan
pendampingan pastoral, semakin banyak juga pengetahuan dan pengalaman hidup yang
akan memperkaya teologi kita.
Dalam faktanya,
kita akan berjumpa dengan orang-orang (konseli) dengan sistem keyakinan atau
kepercayaan yang beragam, bahkan dengan orang-orang yang mungkin saja memiliki
latar belakang pendidikan teologi yang berbeda dengan kita. Tetapi, dengan modal dasar teologi
yang kita miliki, (seharusnya) tidak sulit bagi kita untuk “mengakomodasi”
berbagai sistem kepercayaan dan warna teologi orang-orang yang kita dampingi,
sehingga kita dapat melakukan pendampingan pastoral secara efektif sesuai
dengan sistem kepercayaan dan warna teologi mereka. Kita tidak dapat melayani konseli
dengan efektif jika kita memberlakukan atau memaksakan sistem kepercayaan kita sendiri
kepada mereka, sebaiknya kita menggunakan sistem kepercayaan mereka untuk
melayani mereka.
Mengakomodasi
sistem kepercayaan konseli dalam momennya sendiri tidak berarti bahwa kita
mengkompromikan teologi kita, tetapi lebih sebagai cara yang cukup efektif bagi
kita untuk membantu mereka melewati masa-masa sulit sesuai dengan sistem
kepercayaan yang mereka miliki. Sebab, bagaimana mungkin kita berharap mereka
menerima kita sebagaimana adanya kalau kita sendiri tidak bersedia menerima
mereka sebagaimana adanya? Maka, hindarilah perdebatan teologi dengan konseli,
sebab kita hadir dalam rangka pendampingan pastoral, bukan dalam rangka perdebatan
teologi dan sistem kepercayaan. Berilah mereka pilihan, kesempatan, dan
kebebasan untuk menghayati kehidupan dan kesulitannya sesuai dengan kapasitas
mereka, bukan menurut kompetensi dan standar teologi yang kita miliki. Peganglah
dengan kuat teologi kita masing-masing, tetapi tetaplah bersedia untuk membantu
konseli kita dalam sistem kepercayaan dan teologinya sehingga mereka lebih
mudah menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.
Perkataan Rasul
Paulus kepada jemaat Korintus tentang bagaimana “memenangkan” orang-orang
Yahudi dan orang-orang non-Yahudi serta orang-orang lemah, akan sangat menolong
kita untuk berempati dan berjalan bersama (journey)
dengan konseli kita menurut sistem kepercayaan mereka sendiri (lih. 1 Kor.
9:20-23).
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?