Rancangan Khotbah Minggu, 05 Juli 2020
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo
1 Berfirmanlah TUHAN
kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah
bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu;
2 Aku akan membuat engkau menjadi
bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan
engkau akan menjadi berkat.
3 Aku akan memberkati orang-orang
yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan
olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”
4 Lalu pergilah Abram seperti
yang difirmankan TUHAN kepadanya, dan Lotpun ikut bersama-sama dengan dia;
Abram berumur tujuh puluh lima tahun, ketika ia berangkat dari Haran.
5 Abram membawa Sarai, isterinya,
dan Lot, anak saudaranya, dan segala harta benda yang didapat mereka dan
orang-orang yang diperoleh mereka di Haran; mereka berangkat ke tanah Kanaan,
lalu sampai di situ.
6 Abram berjalan melalui negeri
itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon tarbantin di More. Waktu
itu orang Kanaan diam di negeri itu.
7 Ketika itu TUHAN menampakkan diri
kepada Abram dan berfirman: “Aku akan memberikan negeri ini kepada
keturunanmu.” Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah
menampakkan diri kepadanya.
8 Kemudian ia pindah dari situ ke
pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang kemahnya dengan Betel di sebelah
barat dan Ai di sebelah timur, lalu ia mendirikan di situ mezbah bagi TUHAN dan
memanggil nama TUHAN.
9 Sesudah itu Abram berangkat dan
makin jauh ia berjalan ke Tanah Negeb.
Siapa yang
tidak mengenal Abram/Abraham? Ada tiga agama yang mengaku memiliki ikatan
dengan tokoh yang satu ini, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam kekristenan,
Abraham dianggap sebagai sosok ideal dalam kehidupan beriman, dialah bapa orang
beriman. Surat Ibrani mengulas bagaimana iman Abraham ini.
Pada teks
khotbah hari ini, diceritakan tentang bagaimana pada mulanya Abram disuruh
untuk memulai babak baru dalam kehidupannya, dengan meninggalkan kampung
halamannya. Kalau kita membaca Kejadian pasal 1-11 maka akan terlihat bagaimana
gambaran dunia yang begitu kacau, lalu Allah menatanya menjadi amat baik,
tetapi kemudian kekacauan muncul lagi melalui kejahatan-kejahatan umat manusia
sampai akhirnya Allah menghukum dunia melalui air bah. Tetapi apakah masalah
selesai? Tidak! Manusia, dengan nafsunya, saling menguasai dengan segala cara,
mencari nama dan berusaha untuk menutup dirinya, sampai kemudian Allah “menghukum”
mereka dengan mengacaubalukan bahasa dan menyerakkan mereka ke seluruh bumi
(lih. Kej. 11:1-9). Melalui peristiwa-peristiwa ini, Allah hendak memberi
pembelajaran bagi manusia bahwa segala rancangan dan usaha yang ditujukan untuk
kemuliaan sendiri dan mengesampingkan Allah, akan berakhir gagal.
Lalu, Allah
pun, demikian penulis kitab Kejadian menuturkannya, berinisiatif (kembali)
untuk “menata-ulang” kehidupan umat manusia, dengan “memilih” salah satu orang
biasa pada waktu itu, yakni Abram, yang kemudian berubah nama menjadi Abraham. Itulah
yang diceritakan dalam teks khotbah ini, bagaimana Allah memanggil dan menyuruh
Abram pergi dari kampung halamannya ke negeri yang akan ditunjukkan Allah kepadanya,
dan dari sana nanti dia akan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Dia memilih
Abraham untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, seperti yang dikatakan dalam
pasal 12:3: “dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” Abraham
menjadi sarana yang olehnya tujuan utama Allah untuk keselamatan semua orang
akan terwujud.
Subjek
utama dari peristiwa ini adalah Allah, Dialah yang mengambil keputusan secara
subjektif untuk memanggil dan menyuruh pergi Abram. Kita tidak tahu apa dasar
pemanggilan ini, itu adalah hak prerogatif-Nya yang tidak bisa diganggu gugat
oleh siapa pun. Penekanan tentang hak dan wewenang Allah seperti ini diteruskan
pada ayat 2 dan 3, yaitu sumber kesuksesan Abram adalah Allah: menjadi bangsa
yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan
menjadi berkat. Demikian juga ditekankan bahwa (hanya) Allah yang dapat
memberkati dan atau sebaliknya mengutuk orang-orang yang menurut-Nya patut
menerimanya. Ini menunjukkan bahwa pemanggilan, pengutusan, dan keberhasilan
Abram, baik pada masanya maupun pada masa keturunannya, merupakan anugerah Allah
semata, bukan karena pertimbangan atas dirinya sendiri. Dalam teologia Kristen
hal ini dikenal dengan istilah “sola gratia”, kehidupan kita hanyalah kasih karunia
atau anugerah Allah semata.
Lalu,
apakah Abram hanya berlaku pasif saja? Tidak! Pada ayat-ayat selanjutnya
disebutkan bahwa Abram meresponi perintah Allah ini dengan ketaatan,
mengikutinya tanpa syarat. Sebenarnya, tidak mudah untuk meninggalkan kampung
halaman, kecuali karena situasi mendesak. Dari segi materi, Abram dapat
dikatakan sudah relatif aman dan mapan, dia memiliki keluarga yang mengasihinya
dengan segala sumber daya yang mereka miliki di Haran. Ketika ayahnya mati,
Abram akan mewarisi segala kekayaan yang mereka miliki di kampung halamannya,
dia akan mewarisi tanah yang masih cukup luas pada waktu itu. Jadi, sekali
lagi, tidak mudah sebenarnya bagi Abram mengikuti perintah Tuhan di sini untuk
pergi meninggalkan negeri dan sanak saudaranya itu. Dibutuhkan suatu komitmen
dan pengorbanan yang luar biasa untuk mengikuti perintah Allah, dan ternyata
Abram melakukannya. Walaupun tanah yang hendak dituju belum jelas, keturunan
yang dijanjikan juga belum lahir, dan nama besar - yang pada waktu itu dicari
bangsa-bangsa - belum terlihat, tetapi Abram mengikuti saja perintah Allah
tersebut. Pada kisah-kisah selanjutnya, kita juga dapat membaca bagaimana Abram
menunjukkan ketaatannya kepada Allah, termasuk mengorbankan anaknya Ishak
ketika Allah memintanya.
Respons positif
Abram ini berbuah baik, Allah (berjanji) membuat dia (dan keturunannya) menjadi
bangsa yang besar, dan memberkatinya serta membuat namanya masyhur; dan dia
akan menjadi berkat. Narasi tentang berkat-berkat yang (akan) diterima Abram
ini menarik sekali, sebab apa yang selama ini dicari oleh bangsa-bangsa dengan
segala cara, ternyata dapat diperoleh “dengan mudah” oleh Abram bukan dengan
usahanya sendiri, bukan juga dengan berdarah-darah (seperti dilakukan oleh
bangsa-bangsa), melainkan melalui pemberian Allah. Yang harus dilakukan Abram
hanyalah “taat” pada perintah Allah, berkomitmen dan tunduk pada apa pun perintah
Allah kepadanya. Allah pun kemudian menunjukkan tanah atau negeri yang akan
diberikan-Nya kepada Abram, itulah tanah dan negeri Kanaan (ay. 6-9).
Pengakuan bahwa
Allah adalah sumber segala berkat amat penting, bahkan kehidupan kita ini
sendiri adalah anugerah Allah. Kita memang bekerja, bahkan berkompetisi untuk
mendapatkan banyak kekayaan, tetapi kita harus sadar bahwa sumber berkat adalah
Allah. Pengakuan ini akan mengarahkan kita untuk bekerja atau berusaha
mendapatkan yang terbaik tanpa harus “membunuh” sesama, sebab kita percaya
bahwa Allah akan memberikan segala yang terbaik itu kepada kita masing-masing. Pengakuan
ini juga mendorong kita untuk takut akan Tuhan sebagai sumber berkat dan
kesuksesan, sehingga kita terhindar dari cara-cara yang tidak benar dalam
mencari kekayaan, nama, dan apa pun yang kita inginkan. Allah adalah sumber
berkat, sumber kesuksesan, sebaliknya Dia pun dapat mendatangkan “kutuk” atas
kita kalau Dia memang menghendakinya. Jadi, tidak perlu terlalu kuatir akan apa
yang orang lain lakukan terhadapmu, sebab kalau Allah memberkati kita, siapa
yang bisa menghalanginya? Kalau Allah pun membiarkan kita mengalami berbagai
cobaan bahkan malapetaka, siapa yang dapat menghentikan-Nya?
Panggilan kita
di dunia ini adalah menjadi berkat, bukan saja bagi diri kita sendiri,
melainkan bagi bangsa-bangsa, bagi orang lain, termasuk bagi orang-orang yang
tidak termasuk dalam kelompok kita. Kita dipanggil dan diperintahkan untuk meninggalkan
“zona nyaman” kita selama ini dan segera berbuat sesuatu untuk orang lain,
menjadi berkat bagi mereka. Maka, menyedihkan sekali kalau ada orang yang tidak
mau berbagi bagi orang lain, sulit sekali berbagi bagi gereja lain, sulit
sekali berbagi berkat bagi orang-orang yang berbeda dengan kelompoknya. Allah tidak
menghendaki kita menutup diri, Allah tidak menghendaki kita hanya memikirkan
dan mengusahakan kebutuhan kita sendiri. Sebaliknya, Allah menginginkan kita
membuka diri bagi yang lain, Allah menginginkan kita untuk hidup berbagi dengan
orang lain, Allah merindukan kita menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Percayalah,
semakin kita berbagi bagi orang lain, semakin kita menjadi berkat bagi
bangsa-bangsa, semakin melimpah juga berkat yang akan kita terima.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?