Rancangan Khotbah Minggu, 28 Juni 2020
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo
18 Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu,
sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
19 Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan
janganlah berlaku kasar terhadap dia.
20 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam
segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.
21 Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu,
supaya jangan tawar hatinya.
Catatan khusus bagi para bapak/ibu pengkhotbah:
Ada
satu hal penting yang mesti diperhatikan dengan cermat sebelum mengkhotbahkan teks
khotbah ini. Kita jangan terjebak dengan hanya membaca dan berfokus saja pada teks
ini, terutama ketika memberitakannya pada kebaktian minggu. Ada empat sikap dan
relasi yang disinggung dalam teks ini, yaitu istri-suami (ay. 18), suami-istri
(ay. 19), anak-orangtua (ay. 20), orangtua-anak (ay. 21). Persoalannya ialah
bagaimana kalau ada warga jemaat yang kebetulan belum mempunyai istri dan atau suami?
Bagaimana juga dengan pasangan suami-istri yang masih belum mempunyai anak? Bagaimana
dengan warga jemaat yang mungkin saja tidak mempunyai orangtua karena misalnya
telah meninggal dunia? Nah, pertanyaan-pertanyaan ini kiranya dapat membantu kita
supaya cermat dalam menyampaikan firman Tuhan berdasarkan teks ini. Di sinilah
pentingnya semacam sensitivitas sosial, atau empati sosial, dimana kita harus
peka terhadap situasi jemaat supaya sebisa mungkin khotbah kita tidak
mendiskreditkan mereka yang kebetulan belum memiliki anak misalnya, atau telah
kehilangan orangtua, dll.
Oleh
sebab itu, kita sebaiknya memahami nas khotbah ini dalam konteks tema besar
surat Kolose tentang “Keutamaan Kristus”, yang kemudian berimplikasi pada sikap
dan relasi orang-orang Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Tentang ini, ada
beberapa contoh lain yang sebenarnya terungkap dalam surat Kolose, tetapi untuk
hari ini contoh yang diberikan adalah sikap dan relasi dalam kehidupan keluarga.
Dengan demikian, kita tentu mengkhotbahkan bagian ini, tetapi kita juga bisa
memperluas implikasi praksisnya dengan penekanan pada “keutamaan Kristus” dalam
kehidupan kita.
Keutamaan Kristus sebagai Dasar Kesetaraan
Ajaran
tentang “keutamaan Kristus” dalam surat Kolose ini muncul sebagai tanggapan
atas menjamurnya pengajar-pengajar palsu yang hendak menggantikan Yesus Kristus
sebagai inti kepercayaan Kristen. Dalam upaya mereka memengaruhi jemaat untuk
beralih dari Kristus, para pengajar palsu ini mencampuradukkan ajaran Kristen
dengan tradisi-tradisi Yahudi tertentu serta filsafat gnostik. Dengan kata
lain, para pengajar palsu ini hendak mereduksi ke-Tuhan-an Kristus menjadi
setara dengan tradisi Yudaisme dan filsafat gnostik tersebut. Salah satu implikasi
dari pengajaran palsu ini adalah adanya kelompok yang memandang dirinya sebagai
kelompok dengan kelas yang lebih tinggi dari yang lain, sebab pengetahuan
mereka akan Allah lebih tinggi dan lebih dalam dari orang biasa. Tentu,
pandangan ini akan terus berimplikasi dalam kehidupan sehari-hari, salah
satunya adalah dalam kehidupan keluarga, dimana akan berkembang sikap dan
relasi dengan pola “superior-inferior”.
Oleh
sebab itu, jemaat dihimbau untuk hidup dengan tetap menempatkan Kristus sebagai
yang “Sulung” atau yang “Utama” dalam kehidupannya, yang kemudian harus tampak dalam sikap dan
relasi mereka satu dengan yang lain, yaitu bahwa pada prinsipnya semua orang setara
di dalam Kristus, satu-satunya yang “sulung” dan atau yang “utama” adalah
Kristus sendiri. Hal ini tidak serta merta menafikan adanya perbedaan; setiap
orang memiliki peran yang khas yang mesti dijalani dengan penuh tanggung jawab
di dalam Kristus, tetapi peran-peran tersebut tidak boleh dipahami dalam
paradigma “superior-inferior”. Hal itulah yang mendapat penekanan penting dalam
kehidupan keluarga, bahwa masing-masing anggota keluarga mempunyai peran/fungsi
yang harus dijalankan dalam kerangka saling melayani (Kol. 3:18 – 4:1).
Sikap dan Relasi yang Patut di dalam Kristus
Sekarang,
kita akan melihat bagaimana implikasi praktis dari keutamaan Kristus ini dalam
kehidupan keluarga, dengan catatan bahwa implikasi ini dapat juga diterapkan
dalam kehidupan yang lebih luas, misalnya kehidupan bergereja dan
bermasyarakat.
Pada
bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa ada empat sikap dan relasi yang disinggung
dalam teks khotbah ini, yaitu istri-suami (ay. 18), suami-istri (ay. 19),
anak-orangtua (ay. 20), orangtua-anak (ay. 21).
“Hai
isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan”
(ay. 18). Kata “tunduk” di sini dalam bahasa Yunani adalah “hupatassō”, yang
berarti “penyerahan diri” (submit). Pada
satu sisi, kata ini menunjukkan hubungan “superior-inferior”, atau hubungan “atasan-bawahan”,
tetapi pada sisi lain muncul kata-kata berikutnya pada ayat ini “sebagaimana
seharusnya di dalam Tuhan”. Artinya, patokan “ketundukan” istri di sini adalah
Tuhan, bukan suami; istri “tunduk” kepada suaminya sebagaimana seharusnya di
dalam Tuhan, bukan sebagaimana seharusnya di dalam suami. Jadi, ayat ini tidak
bisa dipakai oleh para suami untuk “menjajah” istrinya; sebaliknya para istri
juga jangan menyalahgunakan apalagi memutarbalikkan teks ini, dari “tunduk”
kepada suami menjadi “tanduk” suami. Teks ini (dalam bahasa Indonesia) dengan jelas
mengatakan “hai isteri-isteri, TUNDUKLAH
kepada suamimu …”, bukan “hai isteri-isteri, TANDUKLAH suamimu …”. Para istri yang berjalan bersama
Kristus, atau menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya, akan
lebih mudah untuk “tunduk” kepada suaminya, tentu sebagaimana seharusnya di
dalam Tuhan.
“Hai
suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia” (ay.
19). Melalui kata-kata ini, para suami dinasihati untuk “mengasihi”, itu sikap
yang seharusnya dimiliki oleh suami terhadap istrinya, dan berdasarkan sikap
itu suami membangun relasinya kepada istrinya. Kata “mengasihi” (Yun. agapaō) di sini sebenarnya masih
abstrak, maka disusul kemudian dengan konkretisasinya, yaitu “janganlah berlaku
kasar terhadap istri” (Yun. pikrainō).
Artinya, suami yang sungguh-sungguh mengasihi istrinya tidak boleh menyakiti
istrinya dengan alasan apa pun, baik secara verbal maupun non-verbal; suami tidak
boleh menyakiti hati istrinya misalnya dengan sindiran-sindiran tertentu (embitter) atau lelucon-lelucon tertentu
yang sebenarnya lebih sebagai sindirian yang menyakitkan atau sindirian yang
melecehkan; atau secara harfiah suami tidak boleh memberi “kepahitan” kepada
istrinya, tidak boleh berlaku kasar kepada istrinya. Para suami yang berjalan
bersama Kristus, atau menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya,
akan lebih mudah untuk “mengasihi” dan tidak berlaku kasar kepada istrinya.
“Hai
anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di
dalam Tuhan” (ay. 20). Di sini anak-anak diminta untuk taat kepada orangtuanya,
mematuhi orangtua, mendengarkan dan mengikuti sepenuh hati nasihat dan atau “perintah”
orangtuanya, bahkan dalam segala hal. Jadi, tidak boleh ada alasan bagi
anak-anak untuk tidak taat kepada orangtuanya, dengan sendirinya anak-anak
tidak boleh memperlakukan orangtuanya dengan cara-cara yang tidak baik. Nasihat
ketaatan anak-anak kepada orangtuanya di sini, apalagi dalam segala hal, dapat
menimbulkan persoalan, apalagi dalam masyarakat modern dewasa ini. Para pegiat
HAM akan mempersoalkan nasihat ini, karena terkesan tidak memberi ruang atau
kebebasan bagi anak-anak untuk menikmati masa kanak-kanak mereka, dan terkesan
orangtua dapat bertindak otoriter terhadap anak-anaknya. Tetapi, perhatikanlah
kata-kata berikutnya “karena itulah yang indah di dalam Tuhan”. Sama seperti “ketundukan”
istri tadi kepada suaminya (ay. 18), ketaatan anak-anak kepada orangtua di sini
juga harus dalam kerangka “menyenangkan/memuaskan” Tuhan, bukan sekadar
menyenangkan/memuaskan orangtua. Bahasa Yunani yang dipakai adalah “euarestos”,
yang dapat diartikan menyenangkan, memuaskan, atau berterima/disetujui. Nah,
ukurannya di sini adalah Tuhan sebagai yang Utama, bukan orangtua. Jadi,
orangtua tidak boleh menyalahgunakan teks ini untuk menyenangkan atau memuaskan
keinginannya dengan bersikap dan berlaku otoriter terhadap anak-anaknya. Hal ini
lebih jelas nanti pada ayat berikutnya (ay. 21). Anak-anak yang berjalan
bersama Kristus, atau menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya,
akan lebih mudah untuk “taat” kepada orangtuanya dalam segala hal, tentu untuk
menyenangkan hati Tuhan.
“Hai
bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (ay. 21).
Setelah menasihati anak-anak untuk taat dalam segala hal kepada orangtuanya,
dan supaya orangtua tidak menyalahgunakan posisinya terhadap anak-anaknya, maka
langsung saja penulis surat Kolose ini meminta “bapa-bapa” untuk tidak
menyakiti hati anak-anaknya. Kita kurang tahu mengapa dalam nasihat ini hanya
disebutkan “bapa-bapa”, seolah-olah “ibu-ibu” tidak termasuk di dalamnya. Tampaknya,
hal ini ada kaitannya dengan budaya patriarkat, dimana bapa-bapa lebih dominan ketimbang
ibu-ibu. Tetapi, hal ini tidak berarti para ibu boleh bebas menyakiti
anak-anaknya, menurut saya, nasihat ini juga berlaku untuk para ibu, kecuali
ibu-ibu tidak mengakui kalau anak tersebut sebagai anaknya. Lalu, apa maksudnya “janganlah
sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” dalam teks ini? Kata Yunani
yang dipakai untuk “menyakiti hati” di sini adalah erethizō, yang secara harfiah berarti memprovokasi, membangkitkan
amarah, menghasut, memancing supaya marah atau memberontak, atau dalam bahasa
Nias “böi mi’andrö wönu ndraonomi”. Mengapa orangtua tidak boleh “menyakiti”
hati anak-anaknya, dalam pengertian tidak boleh “memancing amarah”
anak-anaknya? “Supaya jangan tawar hatinya”, “fa böi ada’uda’u ira”. Kata
Yunani yang dipakai adalah athumeō, yang
berarti patah semangat, tidak bersemangat, berkecil hati, kecut hatinya. Nah,
berapa kali kita, orangtua, menyakiti hati anak-anak kita dengan nasihat atau
teguran yang sebenarnya justru kasar, keras, dan mematahkan semangat anak-anak
kita? Kalau kita jujur, kita akan mengakui bahwa – sadar atau tidak sadar –
kita seringkali tidak mendengarkan anak-anak, kita menasihati atau menegur
mereka dengan cara dan dengan kata-kata yang justru memancing pemberontakan
mereka, atau yang justru membuat mereka menjadi anak-anak yang kehilangan rasa
percaya dirinya. Bapa-bapa, orangtua yang berjalan bersama Kristus, atau yang
menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya, tidak akan menyakiti
hati anak-anaknya, sebaliknya dia akan menjadi pemberi semangat hidup bagi anak-anaknya,
meluangkan waktu untuk mendengarkan anak-anaknya, berdoa bersama mereka,
membantu mereka mengembangkan keterampilan atau potensi mereka dan menjadikan
rumah sebagai tempat paling bahagia dan terbaik di dunia.
Demikian
juga halnya dengan kehidupan kita di bidang yang lain, kalau Kristus yang utama
dalam kehidupan kita, maka akan lebih mudah bagi kita untuk saling melayani,
bukan saling mendominasi atau saling menguasai. Memang, keegoisan kita
seringkali membawa perpecahan dan atau konflik di dalam keluarga, di gereja, di
tempat kerja, dan di mana saja. Dengan menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupan kita, maka akan lebih mudah bagi kita untuk bersikap dan berelasi dengan siapa pun sebagaimana layaknya di dalam Tuhan.